Budayawan NTB Dr. Lalu Ari Irawan (IDN Times/Muhammad Nasir)
Budayawan NTB, Dr. Lalu Ari Irawan mengatakan mengawinkan anak yang terlambat pulang bukan bersumber dari adat atau budaya. Ia mengatakan hal itu merupakan kesepakatan dari warga setempat.
"Kalau dibilang bersumber dari budaya mungkin nggak. Karena prinsipnya kenapa dia dipaksa kawin karena kesepakatan warga setempat. Bukan bersumber dari budaya mengawinkan anak yang pulang malam. Apalagi dari kita suci tidak ada itu," kata pria yang biasa disapa Mamiq Ari ini.
Akademisi Universitas Pendidikan Mandalika (Undikma) Mataram ini mengatakan sebenarnya tujuan masyarakat membuat kesepakatan tersebut agar tidak dilanggar. Jika dilanggar maka sanksinya seperti itu. Namun ia mengatakan seharusnya sanksi berkembang. Jika dianggap mengawinkan anak yang terlambat pulang sampai malam dianggap kurang bagus, maka harus ditinggalkan dan dicari sanksi lain.
"Adat itu prinsipnya untuk kebaikan. Kalau dianggap dampaknya lebih besar daripada manfaatnya perlu dipertimbangkan ulang, masyarakat membuat kesepakatan baru," kata Mamiq Ari.
Dalam adat Sasak, ada norma tentang perkawinan yang sejalan dengan semangat pencegahan perkawinan anak. Anak laki-laki dalam norma adat Suku Sasak sudah boleh menikah apabila mampu memikul alat pembajak sawah.
Begitu juga seorang perempuan Sasak, boleh menikah apabila mampu memikul beban di kepalanya kebutuhan orang saat membajak sawah tanpa jatuh. "Artinya sudah remaja usianya. Orang yang sudah berusia produktif 18 tahun ke atas," ungkapnya.
Mamiq Ari mengatakan tradisi menikahkan anak gara-gara terlambat pulang sampai malam kini sudah tidak kuat lagi di masyarakat. Pada 10 - 15 tahun sebelumnya, tradisi ini memang cukup kuat. Namun sekarang bisa dilihat di perkotaan maupun pedesaan, perempuan pulang malam sudah dianggap biasa dan tradisi itu sudah tidak kuat lagi.