TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Target Nol Tahun ini, Penduduk Miskin Ekstrem di NTB Masih 2,64 Persen

Tinggalkan sekat sektoral hapus kemiskinan ekstrem

Ilustrasi kemiskinan (IDN Times/Muhammad Nasir)

Mataram, IDN Times - Berdasarkan rilis Badan Pusat Statistik (BPS), persentase kemiskinan ekstrem di Nusa Tenggara Barat (NTB) pada 2023 mengalami penurunan sebesar 0,64 persen. Dari 3,29 persen pada 2022, turun menjadi 2,64 persen pada 2023.

"Artinya, pada tahun 2024, sesuai dengan target nasional, diperlukan upaya bersama dalam menghapuskan angka kemiskinan ekstrem menuju nol pada akhir tahun 2024," kata Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan NTB Sidi Purnomo pada kegiatan Diseminasi Hasil Pengawasan Percepatan Penurunan Stunting dan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem di Wilayah Provinsi NTB di Mataram, Kamis (1/2/2024).

1. Sebanyak 202.716 keluarga miskin masuk desil 1

Kepala BPKP Perwakilan NTB Sidi Purnomo. (IDN Times/Muhammad Nasir)

Sidi mengajak seluruh pihak terkait untuk bersatu padu dalam memerangi stunting dan kemiskinan ekstrem di Provinsi NTB. Ia meminta seluruh pihak meninggalkan sekat-sekat sektoral supaya target kemiskinan ekstrem nol persen di akhir 2024 ini tercapai.

"Mari kita tinggalkan sekat-sekat sektoral dan bekerja bersama menuju transformasi positif yang dapat memberikan dampak nyata bagi masyarakat kita,” pintanya.

Merujuk pada data Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE), jumlah keluarga yang masuk dalam desil 1 di Provinsi NTB sebanyak 202.716 keluarga. Dengan jumlah terbanyak di Kabupaten Lombok Timur yaitu 59.077 keluarga atau 29,14 persen dari total jumlah keluarga desil 1 di Provinsi NTB.

Baca Juga: BPS NTB Catat Wisatawan Menginap di Hotel Kurang dari 2 Juta Orang

2. Gap yang cukup tinggi terkait data stunting

Dok. Istimewa/IDN Times

Sementara angka prevalensi stunting di NTB pada 2022 berdasarkan data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) sebesar 32,7 persen. Persentasenya naik jika dibandingkan tahun 2021 sebesar 31,4 persen.

Meskipun menurut data Pemerintah Provinsi NTB melalui e-PPGBM, angka prevalensi stunting tahun 2023 telah mencapai 13,78 persen, tetapi terdapat gap yang cukup tinggi antara kedua data tersebut. Sementara, Pemerintah Pusat menggunakan acuan data SSGI atau Survei Kesehatan Indonesia (SKI) tahun 2023 yang belum dirilis hasilnya.

"Hal ini menunjukkan perlunya komitmen dan kerja keras semua pihak," ujar Sidi.

Koodinator Pengawasan Bidang Instansi Pemerintah Pusat (Korwas IPP) BPKP NTB, Moh. Fazlurrahman menyampaikan bahwa dari hasil pengawasan Perwakilan BPKP NTB di lapangan, masih ditemukan kelemahan-kelemahan penanganan stunting dan kemiskinan ekstrem dari sisi kebijakan, tata Kelola, akuntabilitas, kebermanfaatan yang perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah daerah di Provinsi NTB.

Terkait stunting, diperlukan penyempurnaan Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota agar selaras dengan Peraturan Presiden 72/2021, tagging dan konvergensi intervensi anggaran spesifik/sensitif yang lebih jelas dan juga keseriusan dalam implementasi intervensi yang telah direncanakan.

Selain itu, peran Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) sebagai playmaker kelembagaan penanganan stunting harus ditunjukkan secara nyata dan berkelanjutan. Terkait data pencatatan stunting, jumlah antropometri kit maupun USG yang ada belum sebanding dengan jumlah posyandu di kabupaten/kota, selain permasalahan SDM dan metodologinya.

Mengenai kemiskinan ekstrem, pemerintah daerah di Provinsi NTB perlu menyusun dan menyempurnakan Rencana Penanggulangan Kemiskinan Daerah agar memuat intervensi atas kemiskinan ekstrem maupun penggunaan data pensasaran yang telah diverifikasi dan divalidasi.

Kelembagaan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) harus berperan aktif untuk mendorong proses ini. Selain itu masih banyak intervensi program terkait kemiskinan ekstrem yang belum berdasarkan data P3KE.

“Masih kami jumpai, masyarakat yang masuk dalam desil 1 P3KE namun sama sekali belum pernah menerima intervensi, baik dari strategi penanganan beban pengeluaran tinggi maupun dari peningkatan produktivitas dan pendapatan," ungkap Fazlurrahman.

Menurutnya, diperlukan sinergi intens antara BPKP dengan APIP dan pemerintah daerah serta BKKBN dan Kementerian/Lembaga pusat lainnya dalam mengawal tercapainya penghapusan miskin ekstrem dan penurunan stunting di bawah 14 persen sesuai dengan target nasional pada tahun 2024.

Berita Terkini Lainnya