TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Korban Banjir 2016 di Bima Belum Mendapatkan Aliran Air Bersih

Andalkan air payau untuk mencuci dan mandi

Pemukiman warga pesisir Kelurahan Ule yang tidak dialiri jaringan air PDAM (IDN Times/Juliadin)

Kota Bima, IDN Times - Sebagian masyarakat di Kota Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) mengalami krisis air bersih. Kondisi itu dirasakan sejak daerah dengan julukan Kota Tepian Air ini diterjang banjir bandang pada tahun 2016 silam.

Usai bencana alam tersebut, sebagian warga Kota Bima mulai merasakan kekurangan air bersih dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Sambungan dan jaringan pipa ke rumah-rumah warga telah hanyut terbawa arus banjir saat itu.

"Sejak 2016 kita itu gak nikmati lagi air PDAM. Kalau dihitung sudah 8 tahun kita gak nikmati air PDAM," kata Sudirman, warga Kelurahan Ule Kecamatan Asakota Kota Bima dikonfirmasi Jumat (1/3/2024).

1. Air terasa payau

Foto sumur air berbau di rumah milik mertua dari Candra Buana warga Kelurahan Melayu Kota Bima yang tidak dialiri air PDAM (IDN Times/Juliadin)

Untuk mencukupi kebutuhan dalam 8 tahun terakhir, keluarga dan warga sekitar hanya mengandalkan air dari sumur. Itu pun airnya sudah berbau dan payau. Air itu hanya bisa digunakan untuk mencuci dan mandi.

"Kadar garamnya tinggi, rasanya agak asin dan berbau. Jadi gak bisa digunakan untuk minum dan memasak," bebernya.

Jika menggunakan air payau itu untuk mandi dan mencuci, maka sabun tak berbuih. Hal ini juga yang membuat cucian warga setempat dinilai kurang bersih.

"Beda ketika kita cuci gunakan air bersih. Meskipun detergen yang kita pakai sedikit, buihnya pasti banyak," terangnya.

Baca Juga: Pembakaran Kotak Suara di Bima, Keluarga akan Ajukan Praperadilan

2. Untuk masak dan minum beli air galon

Foto Sudirman, warga Kelurahan Ule Kota Bima (IDN Times/Juliadin)

Sementara untuk kebutuhan memasak dan minum, selama ini ia terpaksa merogoh kantong untuk membeli air galon di warung-warung. Dalam sehari, uang yang dikeluarkan sebesar Rp10 ribu untuk membeli 2 galon air.

"Setiap hari kita keluarkan uang untuk beli air minum dan memasak. Tinggal dihitung aja pengeluaran itu, dalam setahun sudah jelas banyak," keluhnya.

Di balik keterbatasan air bersih bertahun-tahun ini, Sudirman mengaku pemukiman setempat jarang didatangi pemerintah yang melakukan distribusi air bersih. Padahal, hal itu sangat diharapkan oleh mereka sekadar menekan pengeluaran.

"Terakhir mereka bawa air ke sini pada tahun 2017, pas baru-baru Kota Bima diterjang banjir bandang," katanya.

3. Menampung air hujan untuk minum

ilustrasi hujan lebat (freepik.com/freepik)

Senada juga keluhkan, Candra Buana berusia 38 tahun. Warga Kelurahan Melayu Kota Bima ini mengaku rumahnya sempat dialiri air PDAM pascabanjir bandang 2016 lalu, namun tidak bertahan lama.

"Tahun 2017 masih jalan air PDAM di rumah, tapi saat itu susah mulai sering macet. Kemudian mulai 2018 sampai sekarang sudah mati total," katanya pada IDN Times.

Mencukupi kebutuhan air bersih selama ini, ia terpaksa menampung air hujan dan ambil gratis air di kelurahan lain yang jauh dari pesisir pantai. Air tersebut baru bisa digunakan untuk minum dan masak setelah dicampur dengan air galon yang dibeli.

"Kalau gak dicampur lalu diminum, anak-anak biasanya akan sakit perut. Kalau kita yang sudah dewasa sih tidak, mungkin karena sudah terbiasa," jelasnya.

Sementara untuk keperluan mandi dan mencuci, sejauh ini mengandalkan air sumur bor milik tetangga dan mertua. Lagi-lagi, rasa air tersebut berbau dan memiliki kadar garam yang tinggi.

"Sesuai kemampuan saya, sementara pakai dulu air sumur dari tetangga dan mertua," pungkasnya.

Berita Terkini Lainnya