Cerita Kutu Busuk di Beras JPS Kota Mataram

Penyaluran bantuan JPS 2020 ternyata banyak masalah

Mataram, IDN Times - SEPINTAS saja, matanya tahu beras yang ia dapat tak bagus. Jelas itu bukan C4 Super. Dia mengetahuinya bukan karena jeli. Tapi berkat pengalaman.

“Saya kan penjual nasi. Saya tahu mana beras bagus atau tidak,” ujarnya pada Kamis, 16 September 2021.

Kepada IDN Times, warga Kelurahan Karang Taliwang, Kota Mataram di Nusa Tenggara Barat (NTB) yang enggan namanya ditulis ini menceritakan kembali peristiwa pada 25 Juni 2020 lalu.

Ketika ia menerima bantuan beras dalam program Jaring Pengaman Sosial (JPS) tahun 2020 dari Kelurahan Karang Taliwang. Pihak kelurahan menyalurkan bantuan yang berasal dari Dinas Sosial Kota Mataram. 

Dia menuturkan, warga sempat mengeluhkan soal kualitas beras JPS ini. Tetapi mereka akhirnya tetap memanfaatkannya. 

“Namanya sumbangan, ya kita terima,” ujarnya.

Dalam kesempatan itu, pemilik warung makan di Gomong Mataram ini memperoleh bantuan beras JPS tahap kedua. Bersama dengan dia, terdapat sebanyak 19 ribu kepala keluarga di Mataram yang mengantre memperoleh bantuan beras JPS. 

Bantuan yang bersumber dari anggaran pemerintah pusat itu dimaksudkan Pemkot Mataram untuk mengurangi dampak ekonomi akibat wabah COVID-19.

1. Telan anggaran Rp43 miliar

Cerita Kutu Busuk di Beras JPS Kota MataramShutterstock

Pemkot Mataram membagi penyaluran JPS tahun 2020 ke dalam lima tahap. Pada tahap 1 dan 2 jumlah penerima bantuan sebanyak 19.803 kepala keluarga. Pada tahap 3 sampai 5 jumlah penerima bantuan menjadi 32.548 kepala keluarga.

Total anggaran JPS Pemkot Mataram senilai Rp43 miliar. Bantuan itu berupa beras, biskuit, sabun antiseptik, minyak goreng, abon, hingga gula setara Rp250 ribu per paket. 

Seperti ramai diberitakan media massa waktu itu, muncul sejumlah masalah dalam penyaluran bantuan tersebut. Berikut ini daftarnya: ada beras yang di bawah standar, gula yang kurang takaran, abon yang kedaluwarsa, kemasan tak layak, hingga proses pengadaan yang tidak transparan. 

Pemkot mendapatkan rekanan yang kurang kredibel dan diduga terkait dengan pejabat Kota Mataram.

Mitra rekanan pengadaan barang dipegang CV  Bangil Persada dan CV Surya Jaya Mandiri Putra.

Tetapi tim asistensi dari kejaksaan, kepolisian, inspektorat, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan OPD teknis beranggapan permasalahan takaran ini masih dalam batas kewajaran.   

Pada bantuan tahap 2 antara Juni hingga Juli 2020, kualitas bantuan bertambah buruk di mana kualitas beras di bawah standar. Pihak distributor yakni CV Ujung Langit dan CV Niaga Jaya Mandiri Kota Mataram. 

Semestinya, masyarakat memperoleh bantuan beras kualitas C4 Super seharga Rp67 ribu per 5 kilogram. Tetapi sejumlah warga mengeluhkan kondisinya yang sudah berkutu. 

Meskipun memang masih bisa untuk dikonsumsi. 

Memasuki penyaluran bantuan tahap 3, tim asistensi mendapati permasalahan kutu dalam beras ini. Pemerintah sudah terlanjur mendatangkan delapan ton beras. 

Jika tidak situasinya bisa jauh lebih gawat. Soalnya, jumlah penerima bantuan tahap 3 bertambah hampir dua kali lipat.

Karena volume bantuan pada tahap ini bertambah, penyalur pun ditambah.

Masuk CV Karya Putra Bangil. Namun harga paketnya per penerima masih sama, senilai Rp250 ribu. Paket tersebut berisi beras 10 kilogram, sarden, kerupuk, kue kering, satu kilogram minyak goreng, gula, sabun cair, dan sabun batangan.

Penelusuran IDN Times menemukan ada sejumlah mala dalam program JPS Kota Mataram 2020 ini. Di antaranya pengadaannya tak ada dalam SPSE (Sistem Pengadaan Secara Elektronik) yang dikelola Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Kota Mataram (lpse.mataramkota.go.id).

Juga tak ada di LPSE Provinsi NTB dan pusat.

Padahal, sistem e-procurement (pengadaan secara elektronik) ini tidak saja dimaksudkan untuk mendukung proses pengadaan barang atau jasa yang lebih efisien dan efektif, namun juga transparan serta akuntabel.

Soal Pemkot Mataram yang kurang transparan juga sempat mengganjal penelusuran IDN Times ketika mencari dokumen perusahaan. Dicoba melalui berbagai saluran, termasuk meminta langsung kepada Kepala Dinas Sosial Baiq Asnayati, dokumen tersebut tak juga didapat. Upaya terakhir, yakni mengikuti prosedur untuk mendapatkannya melalui Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) di Dinas Kominfotik Kota Mataram, juga mental. 

“Kewenangan CV ada di Dinas Sosial, karena dia yang punya program,” ujar salah satu pegawai PPID Kota Mataram.

Profil perusahaan baru diperoleh atas petunjuk Indonesia Corruption Watch (ICW). Di laman resmi Sistem Informasi Konstruksi Indonesia (https://siki.pu.go.id/) yang diakses pada 5 Desember 2021 disebutkan, perusahaan yang menjadi rekanan dalam program JPS ternyata perusahaan yang biasa membikin jembatan, mengurus besi, dan mengecor jalan.

CV Bangil Persada, misalnya, terdaftar sebagai penyedia jasa pelaksana untuk konstruksi bangunan pendidikan dan gedung lainnya.

Sama halnya dengan CV Ujung Langit,  pada laman SIKI PU memiliki klasifikasi empat bidang usaha, yaitu jasa pelaksana untuk konstruksi bangunan gedung lainnya, jasa pelaksana untuk konstruksi saluran air, pelabuhan, dam, dan prasarana sumber daya air lainnya, jasa pelaksana konstruksi instalasi pengolahan air minum dan air limbah serta bangunan pengolahan sampah, dan jasa pelaksana untuk konstruksi jalan raya (kecuali jalan layang), jalan, rel kereta api, dan landas pacu bandara.

Masih menurut SIKI PU, Direktur CV Ujung Langit adalah Irma Erpiana, Direktur CV Bangil Persada adalah Yosi Jorghi, dan Direktur CV Niaga Jaya Mandiri adalah Suryo Buwono. Satu CV lainnya, CV Surya Jaya Mandiri Putra, belum diketahui nama pemiliknya.

Nah, dalam data Ujung Langit di SIKI PU, selain nama Irma Erpiana, ada nama Khairul Anwar.

Khairul adalah suami Irma dan adik Ahyar Abduh, Wali Kota Mataram ketika program bantuan JPS ini dijalankan.

Informasi soal pemilik Ujung Langit ini klop dengan cerita seorang sumber yang pernah bekerja di perusahaan itu. Dia menyebutkan keterkaitan mantan direktur di perusahaannya dengan mantan Wali Kota Mataram.

Baca Juga: Lagi, Empat Peti Mati Buruh Migran NTB Dipulangkan dari Malaysia

2. Menabrak Aturan

Cerita Kutu Busuk di Beras JPS Kota MataramIlustrasi hukum (IDN Times/Arief Rahmat)

Menanggapi temuan IDN Times, Direktur Fitra NTB Ramli Ernanda menyatakan, penyaluran JPS Kota Mataram 2020 diduga menabrak sejumlah aturan. Di antaranya melanggar Instruksi Presiden Republik Indonesia nomor 4 tahun 2020.

Dalam Inpres Nomor 4 Tahun 2020 tentang refocussing kegiatan, realokasi anggaran, serta pengadaan barang dan jasa dalam rangka percepatan penanganan COVID-19, pengadaan barang dan jasa harus transparan.

“Artinya semua pengadaan barang dan jasa harus melalui Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Kota Mataram. Ini kan tidak masuk. Bagaimana masyarakat akan mengawasi?” katanya, Senin (20/12/2021).

Ihwal penunjukkan penyedia barang juga diduga offside. Soalnya, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018, syarat kualifikasi teknis untuk penyedia barang di antaranya memiliki pengalaman penyediaan barang pada divisi yang sama paling kurang satu pekerjaan dalam kurun waktu satu tahun terakhir, baik di lingkungan pemerintah maupun swasta.

Surat Edaran Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Jasa  Pemerintah (LKPP) Nomor 3 Tahun 2020 tentang percepatan penanganan COVID-19 kian menegaskan bahwa syarat kualifikasi di Perpres itu harus dipenuhi, bahkan untuk bantuan terkait COVID-19. Disebutkan, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) menunjuk penyedia yang antara lain pernah menyediakan barang/jasa sejenis di instansi pemerintah atau sebagai Penyedia dalam Katalog Elektronik.

PPK adalah pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pengadaan barang/jasa. PPK mewakili Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam membuat perikatan atau perjanjian dengan perusahaan yang mengadakan barang.

Masih ada peraturan lain yang ditabrak. Menurut Ramli, Surat Edaran LKPP Nomor 3 Tahun 2020 pada huruf E poin 3 bagian b mengatakan bahwa PPK wajib menerbitkan surat pesanan yang disetujui oleh penyedia barang. PPK juga harus meminta kepada penyedia barang menyiapkan bukti kewajaran harga barang.

Penyedia barang juga wajib melakukan pembayaran berdasarkan barang yang diterima. Aturan ini, ujar Ramli, diduga ikut ditabrak. “Seperti tidak ada berita acara terbuka serah terima barang secara terbuka. Artinya ada pelanggaran secara administrasi,” ujarnya.

Akibatnya, tidak ada jaminan atas kualitas barang yang disediakan. “Sehingga ditemukanlah ada beras berkutu dalam bantuan itu.”

Ramli juga menggarisbawahi soal penyedia barang yang memiliki hubungan keluarga dengan pejabat pemerintah. “Ini menabrak aturan pada SE KPK Nomor 8 tahun 2020,” ujarnya.

Pada poin 3 huruf e Surat Edaran Komisi Pemberantasan Korupsi RI Nomor 8 Tahun 2020 tentang Penggunaan Anggaran Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa dalam rangka Percepatan Penanganan COVID-19, KPK RI mengingatkan pengadaan barang dan jasa

“Tidak mengandung unsur adanya benturan kepentingan dalam pengadaan,” tuturnya. 

Misalnya, calon penyedia barang/jasa adalah kerabat/anggota keluarga dari pejabat yang berwenang, baik langsung maupun tidak langsung terhadap proses pengadaan tersebut.

Karena itu, Ramli menduga pengadaan JPS Kota Mataram tahun 2020 sarat kepentingan, baik pemilik CV sebagai penyedia barang, pemerintah, dan PPK. Misalnya, itu tadi, penyedia barang atau jasa adalah kerabat atau anggota keluarga atau teman dari pejabat publik yang berwenang memberikan tender. Bahkan berasnya disebut-sebut ada yang dipasok dari keluarga pejabat kota.

Demikian itulah informasi yang disampaikan sumber di Pemkot Mataram.

Ada pengadaan beras yang terkait dengan pejabat kota, seorang eselon III.

“Dugaannya yang bersangkutan menyuplai 80 ton beras. Beras ini diambil dari keluarganya yang merupakan pemilik penggilingan beras di Lombok Tengah,” kata sumber tersebut.

Menurut Ramli, indikasi kolusi antara penyelenggara negara atau pejabat publik dengan penyedia barang dalam pengadaan JPS 2020 sudah jelas terlihat.

“Jika tidak dievaluasi atau tidak dimitigasi maka dapat berpotensi terjadinya tindak pidana korupsi,” katanya.

3. Pengadaan darurat

Cerita Kutu Busuk di Beras JPS Kota Mataramilustrasi seorang pasien COVID-19. (ANTARA FOTO/REUTERS/Marko Djurica)

Hingga laporan ini ditulis, pihak perusahaan yang mengikuti pengadaan JPS 2020 belum dapat dimintai tanggapannya. Irma belum dapat dihubungi. Nomor telepon, yang diperoleh dari mantan pegawai CV Ujung Langit tidak aktif. 

Upaya dengan mendatangi kantornya juga tak membuahkan hasil. Bangunan kantor berada di Kompleks Pertokoan Sayang-Sayang dalam kondisi tertutup dan tertulis DIJUAL/DIKONTRAKKAN.

Demikian pun kantor resminya sesuai SIKI PU juga tak ketemu. Lokasi berada di Jalan Bambu Runcing No 34 RT 02 RW 01 Peruk Ampenan. 

Seorang warga setempat bernama Surya malah balik bertanya kepada wartawan. 

“Mana ada ada nama CV Ujung Langit di sini. Tidak ada,” katanya, Rabu (22/12/2021).

Ada informasi menyebutkan aktivitas perusahaan berhenti, bersamaan dengan berakhirnya program JPS di Mataram. 

Hanya Direktur CV Bangil Persada Yosi Jorghi yang bisa dikontak. Tapi hanya berupa jawaban pesan singkat yang pendek. “Saya sedang di luar daerah, iya,” ujarnya, Senin (13/12/2021).

Adapun Direktur CV. Niaga Jaya Mandiri Suryo Buwono belum berhasil diwawancara.

Kepala Dinas Sosial Kota Mataram Baiq Asnayati juga hanya berujar pendek soal hubungan pemilik CV dengan pejabat di Kota Mataram ini. “Kita tidak melihat siapa dia. Siapa yang sanggup silakan,” katanya pada Kamis (2/12) lalu.

“Jangan ditanya itu (lagi). Kalau sudah selesai, ya sudah. Sekarang kita regulasinya sudah selesai, kita sudah tidak darurat lagi,” dia menambahkan.

Sebelumnya Asisten II Setda Kota Mataram, Ir. H. Mahmuddin Tura juga membantah soal main mata pemilik CV dan pejabat kota. Menurutnya, pihaknya telah mengingatkan pejabat pembuat komitmen (PPK) serta OPD teknis agar tidak bermain-main dalam program ini, karena aparat penegak hukum baik itu kepolisian, kejaksaan serta KPK mengawasi secara langsung.

Namun mantan Wali Kota Mataram Ahyar Abduh mau ditemui. Ia membenarkan jika pemilik CV Ujung Langit adalah saudaranya. “Tidak bisa lepas (juga) isu itu,” ujarnya soal keterkaitan ia dengan pemilik perusahaan itu.

Menurut Ahyar, waktu itu pengadaannya terbuka untuk perusahaan mana pun. “Siapa pun diberikan. Ya kan terbuka saja. Semua kan lewat prosedur. Semua ada ketentuan. Ada tim di sana,” ujarnya.

“Siapa yang bisa ngambil peran, siapa yang memproses juga sudah jelas ada ketentuannya. Jadi orang bekerja secara profesional.”

Ia juga tak membantah temuan mengenai bidang usaha perusahaan yang ternyata adalah perusahaan konstruksi. “CV konstruksi kenapa dibiarkan memberikan bantuan sosial karena kan kebutuhan masyarakat,” ujarnya.

“Bergantung kemampuan saja. Yang penting bisa memberikan bantuan ke masyarakat. Kembali ke situ,” kata dia.

Ia menggarisbawahi soal kemampuan perusahaan. Soalnya, bantuan dari pemerintah pusat terbatas, padahal masyarakat banyak yang terdampak dan belum menerima bantuan. Dari pendataan pihaknya, jumlahnya ada 33 ribu kepala keluarga.

“Maka kita ambil inisiatif program cepat,” ujarnya. “Siapa pun perusahaan yang mampu membantu, silakan. (Jadi) tidak bisa lihat dari satu sisi.”

Ahyar mengaku sudah menyiapkan perangkat untuk memastikan bantuan tak bermasalah. “Waktu itu pengawasan kita sangat ketat. Ada inspektorat. Yang lain ada tim pengawasan, mulai dari pendataan kemudian termasuk juga bagaimana perencanaannya,” kata Ahyar.

Dia mengklaim, program ini bisa dibilang sukses. “Masyarakat terbantu oleh bantuan kita. Kalau tidak salah itu 19 klaster yang kita bantu. Kondisi saat itu sangat terdampak. Termasuk ada PHK. Banyak sekali,” ujarnya.

4. Potensi kerugian negara

Cerita Kutu Busuk di Beras JPS Kota MataramIlustrasi Koruptor (IDN Times/Mardya Shakti)

Terlepas manfaatnya di masa pandemik COVID-19, Ramli berpendapat proyek JPS tahun 2020 rawan untuk dimainkan. Soalnya sembako yang dibagikan jumlahnya besar. Totalnya Rp43 miliar. Dari bermain bersih saja untungnya lumayan.

“Belum kita hitung jika ada pengurangan (permainan) harga (dan barang), kan,” katanya.

Padahal, bantuan non tunai rawan dimainkan. Bahkan sudah jadi modus korupsi yang umum. Bantuan macam ini bisa dimainkan lewat manipulasi spesifikasi, ukuran, hingga kualitas.

Sesuai data, harga beras di penggilingan berkisar Rp7.500 hingga Rp8.500 per kilogram. Sedangkan plafon harga beras JPS diperkirakan mencapai Rp13.400 per kilogram dengan margin sebesar Rp4.900 per kilogram. 

Periode penyaluran JPS tahap 2 saja disalurkan sebanyak 80 ton beras kepada masyarakat.  

Menerima pertanyaan IDN Times, Kasatreskrim Polresta Mataram Kompol Kadek Adi Budi Astawa membenarkan soal temuan beras berkutu ini.

“(Waktu itu) kami sudah minta segera diganti,” ujarnya Kamis (15/10/2021).

Polresta Mataram juga memanggil Kepala Dinas Sosial Kota Mataram untuk berkoordinasi pada 25 Maret 2021 lalu.

"Cuma koordinasi saja. Apa sudah dikembalikan beras yang kutuan itu,” ujar Kadek. Dari hasil pemanggilan itu, “Katanya sudah dikembalikan, diganti dengan beras baru,” ujarnya.

Selain temuan beras, ada juga temuan bungkus pengepakan bantuan yang dinilai tak memenuhi standar. Bungkusnya dari kardus bekas. Temuan ini telah dilaporkan ke Inspektorat Kota Mataram.

Sedangkan Kanit Tipikor Polresta Kota Mataram Ipda Komang Wilandra mengatakan sejumlah temuan dalam pelaksanaan JPS itu mengindikasikan adanya kerugian negara.

“Jumlahnya, tidak ingat. Hasil pemanggilan kemarin, kita berbicara kardus itu saja. Sudah dikembalikan. Disampaikan begitu,” ujarnya, Rabu (24/11/2021).

Kepala Dinas Sosial Kota Mataram menolak dimintai penjelasan soal tersebut. Dia bahkan membatalkan janji untuk bertemu di kantornya pada Kamis (2/12/2021). “Pertemuan kita batal, ya. Tidak ada data siapa penyalur JPS. Kita sudah diperiksa KPK, BPK. Jadi mohon maaf kami tidak bisa kasi,” ujar Kadis.

Baca Juga: Gubernur Resmikan Mini Pabrik Kosmetik di STIPark Provinsi NTB

Topik:

  • Sri Wibisono

Berita Terkini Lainnya