Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

The Fear of The Other Shoe Dropping, Perasaan Takut untuk Bahagia

Ilustrasi the fear of the other shoe dropping, perasaan takut bahagia. (Pinterest/Aifusionart)
Ilustrasi the fear of the other shoe dropping, perasaan takut bahagia. (Pinterest/Aifusionart)

Hidup stabil, tenang, dan bahagia adalah impian banyak orang. Namun, paradoksnya, begitu kita mulai merasakan rutinitas yang nyaman dan stabil, sebagian dari kita justru dilanda rasa cemas. Ada rasa takut bahwa kebahagiaan ini terlalu rapuh, terlalu baik untuk bertahan lama.

Kamu pun gelisah, seolah menanti sesuatu yang buruk akan terjadi untuk “mengimbangi” kebahagiaan yang kamu rasakan. Fenomena ini sering disebut the fear of the other shoe dropping, yaitu ketakutan bahwa kebahagiaan pasti diikuti oleh bencana.

Ketakutan terhadap rutinitas bahagia bukan hanya sekadar rasa khawatir. Ia berakar pada pengalaman masa lalu, trauma, atau keyakinan bahwa kamu tidak pantas merasakan kebahagiaan yang stabil.

Dalam artikel ini, penulis akan mengupas mengapa banyak orang sulit mempercayai kebahagiaan yang berjalan biasa saja, bagaimana dampaknya, dan bagaimana kamu bisa belajar merasa aman dalam kebahagiaan yang konsisten.

Berikut pembahasan tentang mengenal the fear of the other shoe dropping, yaitu ketakutan pada rutinitas bahagia.

1. Mengapa sebagian orang sulit percaya kalau rasa bahagia bisa stabil?

Ilustrasi ciri self-talk yang menyabotase kesehatan mentalmu. (Pinterest/Women’s Health Magazine)
Ilustrasi ciri self-talk yang menyabotase kesehatan mentalmu. (Pinterest/Women’s Health Magazine)

Banyak orang dibesarkan dengan pola pikir bahwa hidup itu penuh naik-turun, dan kebahagiaan hanyalah fase singkat yang pasti digantikan kesedihan. Ini sering tertanam sejak kecil lewat pengalaman atau pengajaran orang tua. Akibatnya, saat hidup berjalan mulus, kamu justru curiga. Otak manusia selalu siaga mencari tanda-tanda ancaman, bahkan ketika tidak ada masalah nyata.

Fenomena ini juga diperkuat oleh bias kognitif bernama negativity bias, yaitu kecenderungan otak untuk lebih peka terhadap hal negatif dibandingkan positif. Otak manusia dirancang untuk bertahan hidup, bukan untuk bahagia. Maka, ketika keadaan stabil, alarm kewaspadaan tetap berbunyi. Kamu sulit percaya bahwa bahagia bisa berlangsung lama tanpa “bayarannya”.

2. Pengalaman trauma dan kebahagiaan yang membingungkan

Ilustrasi the fear of the other shoe dropping, perasaan takut bahagia. (Pinterest/Aifusionart)
Ilustrasi the fear of the other shoe dropping, perasaan takut bahagia. (Pinterest/Aifusionart)

Orang yang pernah mengalami trauma, entah dalam bentuk kekerasan, kehilangan mendadak, atau pengkhianatan, sering merasa kebahagiaan adalah sesuatu yang tidak aman. Mereka terbiasa hidup dalam keadaan “siap siaga” sehingga rasa damai justru terasa asing.

Kebahagiaan bahkan bisa memicu kecemasan karena mengingatkan pada momen sebelum trauma terjadi, yaitu saat semuanya tampak baik-baik saja sebelum hancur.

Inilah mengapa banyak orang yang hidup dalam pola self-sabotage. Begitu kebahagiaan datang, secara tidak sadar mereka melakukan hal-hal yang merusaknya. Misalnya, menciptakan konflik kecil, menarik diri dari hubungan, atau menolak peluang baik.

Semua itu dilakukan karena lebih “aman” menjalani rasa sakit yang familiar daripada kebahagiaan yang tidak terduga.

3. Rutinitas bahagia dianggap membosankan

Ilustrasi tanda kamu tertular energi negatif orang lain. (Pinterest/Mary Goettelmann)
Ilustrasi tanda kamu tertular energi negatif orang lain. (Pinterest/Mary Goettelmann)

Ada pula orang yang merasa rutinitas bahagia itu terlalu biasa. Mereka terbiasa hidup dengan drama, ketegangan, atau tantangan besar. Ketika semuanya stabil, muncul rasa bosan. Hidup yang tenang dianggap kurang berarti, bahkan menjemukan. Akibatnya, mereka sengaja mencari kekacauan agar hidup terasa “berwarna” kembali.

Padahal, stabilitas tidak sama dengan kebosanan. Rutinitas bahagia justru memberi ruang bagi kedamaian batin, kreativitas, dan relasi yang lebih mendalam. Namun, untuk bisa menikmatinya, seseorang perlu belajar menikmati ritme hidup yang lambat, tanpa selalu mencari sensasi baru. Inilah tantangan besar bagi mereka yang kecanduan drama hidup.

4. Dampak psikologis takut bahagia

Ilustrasi tanda dirimu sedang mengalami krisis yang tidak terlihat. (Pinterest/30seconds.com)
Ilustrasi tanda dirimu sedang mengalami krisis yang tidak terlihat. (Pinterest/30seconds.com)

Ketakutan terhadap kebahagiaan yang stabil membuat kamu sulit merasakan kepuasan hidup. Kamu selalu merasa “ada yang kurang” meski semua berjalan baik. Riset yang dilakukan oleh Gilbert, McEwan, Matos, dan Rivis dalam jurnalnya yang berjudul Fears of compassion: Development of three self-report measures menunjukkan bahwa orang yang takut bahagia cenderung mengalami kecemasan kronis, kesulitan tidur, dan hubungan sosial yang renggang.

Selain itu, pola pikir ini bisa menimbulkan imposter syndrome. Seseorang merasa tidak pantas menikmati kebahagiaan atau kesuksesan, seolah suatu saat akan “ketahuan” bahwa ia tidak layak. Akhirnya, kebahagiaan menjadi hal yang dihindari, bukan dirayakan. Ini menciptakan siklus tak berujung di mana rasa aman dan bahagia selalu terasa sementara.

5. Membangun rasa aman dalam kebahagiaan

Ilustrasi tanda kalau kamu sudah memiliki karisma. (Pinterest/annhhy)
Ilustrasi tanda kalau kamu sudah memiliki karisma. (Pinterest/annhhy)

Untuk mengatasi ketakutan terhadap rutinitas bahagia, langkah pertama adalah menyadari bahwa kebahagiaan tidak selalu diikuti kesedihan. Ini bisa dilatih dengan mindfulness, yaitu hadir sepenuhnya dalam momen tanpa menghakimi. Saat kamu belajar menikmati detik-detik bahagia tanpa pikiran “bagaimana jika ini hilang?”, kebahagiaan menjadi lebih nyata dan tak terasa mengancam.

Selain itu, penting juga membangun rasa layak bahagia. Berlatih self-compassion membantu kamu menerima kebahagiaan tanpa rasa bersalah. Kamu belajar berkata pada diri sendiri, “Aku layak merasa tenang”, “Aku layak bahagia”.

Dengan kesadaran ini, kamu bisa menjalani rutinitas bahagia tanpa terus-menerus menunggu badai datang. Karena kebahagiaan tidak selalu harus dibayar dengan kesedihan, kadang ia hanya perlu diizinkan tinggal.

Itulah ulasan mengenai fenomena the fear of the other shoe dropping, yaitu ketakutan pada rutinitas bahagia.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Linggauni -
EditorLinggauni -
Follow Us