5 Alasan Mengapa Overthinking Dianggap Normal di Era Modern

Overthinking atau berpikir secara berlebihan adalah kondisi di mana seseorang terlalu banyak menganalisis suatu situasi hingga menimbulkan kecemasan atau keputusan yang tertunda. Meskipun dalam dunia psikologi hal ini sering dikaitkan dengan gangguan kecemasan atau stres kronis, di era modern overthinking justru kerap dianggap wajar dan bahkan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari yang normal.
Fenomena ini tak lepas dari kompleksitas zaman, tekanan sosial, serta ekspektasi yang semakin tinggi terhadap individu. Banyak orang muda dan dewasa mengaku mengalami overthinking, baik dalam kehidupan pribadi, pekerjaan, maupun hubungan sosial. Bahkan, istilah ini menjadi populer di media sosial sebagai bagian dari narasi sehari-hari.
Artikel ini akan mengulas 5 alasan utama mengapa overthinking sering dipandang sebagai hal yang biasa dalam kehidupan modern, serta bagaimana pandangan ini terbentuk dalam lanskap sosial dan psikologis saat ini.
1. Budaya produktivitas dan tekanan untuk selalu benar

Di tengah budaya hustle dan tuntutan untuk selalu produktif, banyak orang merasa harus memikirkan setiap langkah secara matang agar tidak melakukan kesalahan. Hal ini mendorong kebiasaan overthinking, karena setiap keputusan dianggap memiliki dampak besar terhadap masa depan. Rasa takut gagal atau dikritik membuat individu cenderung menimbang terlalu banyak kemungkinan sebelum bertindak.
Menurut Grant dan Schwartz dalam penelitiannya Too much of a good thing: The challenge and opportunity of the inverted U, tekanan untuk selalu membuat keputusan optimal bisa menyebabkan paralysis by analysis, yaitu situasi di mana seseorang tidak bisa bergerak karena terlalu banyak berpikir.
Dalam konteks ini, overthinking justru dipandang sebagai tanda keseriusan atau kehati-hatian, bukan sebagai masalah psikologis.
2. Normalisasi melalui media sosial

Media sosial memainkan peran besar dalam menormalisasi overthinking. Banyak konten di TikTok, Instagram, atau X (Twitter) yang membahas kebiasaan ini dengan nada humor atau relatable, membuat orang merasa tidak sendirian dalam kecemasan mereka. Hashtag seperti #overthinker atau #deepthoughts bahkan menjadi tren yang memperkuat identitas digital seseorang.
Namun, meskipun hal ini bisa membantu mengurangi stigma, normalisasi tanpa pemahaman yang mendalam juga bisa menjadi jebakan. Menurut studi dari Primack dan kawan-kawan pada tahun 2017 yang berjudul Social media use and perceived social isolation among young adults in the US, konsumsi media sosial yang tinggi berkorelasi dengan meningkatnya tingkat kecemasan dan depresi.
Ketika overthinking dijadikan bagian dari identitas kolektif, risiko pengabaian terhadap kesehatan mental justru meningkat.
3. Kompleksitas kehidupan modern dan informasi yang berlebihan

Era digital menawarkan akses tak terbatas terhadap informasi, namun hal ini juga memicu kebingungan dan ketidakpastian. Banyaknya pilihan dan opini membuat proses pengambilan keputusan menjadi lebih rumit. Akibatnya, orang cenderung memikirkan ulang keputusan mereka berkali-kali sebelum bertindak.
Schwartz dalam bukunya The Paradox of Choice: Why More Is Less menjelaskan bahwa terlalu banyak pilihan justru bisa menyebabkan ketidakpuasan dan kecemasan. Dalam dunia yang serba cepat dan penuh distraksi, overthinking sering kali muncul sebagai respons alami terhadap beban informasi yang berlebihan.
Di mata sebagian orang, ini dianggap sebagai adaptasi terhadap dunia yang kompleks, bukan gangguan.
4. Ketidakpastian masa depan dan krisis global

Kondisi dunia yang penuh ketidakpastian, mulai dari krisis ekonomi, perubahan iklim, hingga pandemi global membuat banyak orang merasa tidak aman. Rasa tidak aman ini menimbulkan dorongan untuk terus memikirkan masa depan dan memprediksi skenario terburuk, sebagai bentuk upaya mengendalikan hal-hal yang sebenarnya di luar kendali.
Menurut American Psychological Association, tingkat kecemasan masyarakat meningkat drastis selama pandemik COVID-19, dan overthinking menjadi salah satu respons mental yang paling umum. Dalam konteks ini, overthinking sering dilihat sebagai bentuk kewaspadaan yang masuk akal di tengah ketidakpastian, bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan.
5. Minimnya ruang refleksi dan keseimbangan emosional

Dalam dunia yang terus bergerak cepat, kesempatan untuk berhenti sejenak dan merefleksikan diri menjadi semakin langka. Banyak orang tidak memiliki waktu atau ruang yang cukup untuk memahami perasaan mereka sendiri, sehingga pikiran menjadi penuh dan berputar-putar. Overthinking pun menjadi pengganti refleksi yang sebenarnya dibutuhkan.
Brown dalam bukunya The Gifts of Imperfection menekankan pentingnya mindfulness dan self-compassion dalam menciptakan keseimbangan emosional. Namun, ketika keseimbangan ini tidak tercapai, orang cenderung terjebak dalam pola pikir berulang yang melelahkan. Karena hampir semua orang mengalaminya dalam bentuk tertentu, overthinking sering dianggap sebagai konsekuensi alami dari hidup modern yang sibuk dan padat tekanan.
Itulah 5 alasan utama mengapa overthinking sering dipandang sebagai hal yang biasa dalam kehidupan modern, serta bagaimana pandangan ini terbentuk dalam lanskap sosial dan psikologis saat ini.