Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ketua Divisi Pelayanan Penanganan Kasus LPA NTB Joko Jumadi (IDN Times/Muhammad Nasir)
Ketua Divisi Pelayanan Penanganan Kasus LPA NTB Joko Jumadi (IDN Times/Muhammad Nasir)

Mataram, IDN Times - Lembaga Perlindungan Anak (LPA) NTB menyebut kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak masih cukup tinggi. Meskipun NTB sudah menyandang predikat sebagai provinsi layak anak dan 10 kabupaten/kota sudah berstatus kabupaten/kota layak anak (KLA), namun kekerasan terhadap perempuan dan anak mencapai 976 kasus pada 2023.

Pada 2023, sebanyak 9 kasus kekerasan seksual ditemukan di lingkungan pondok pesantren (ponpes) dengan jumlah korban yang cukup banyak. Berikut wawancara khusus (WANSUS) IDN Times bersama Ketua Divisi Pelayanan Penanganan Kasus LPA NTB sekaligus Direktur Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH) Universitas Mataram, Joko Jumadi, Minggu (31/12/2023).

Bagaimana tren kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di NTB sepanjang 2023?

ilustrasi tindakan kekerasan seksual. (pexels.com/Karolina Grabowska)

Berdasarkan data Kementerian PPPA selama tahun 2023, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di NTB ada 976 kasus. Terbanyak di Kabupaten Lombok Timur, ada 204 kasus.

Kalau berdasarkan tempat kejadian paling banyak di rumah sekitar 500 kasus. Dari jumlah kasus tersebut, kekerasan seksual sebanyak 390 kasus. Kemudian kekerasan fisik 285 kasus, sisanya kekerasan psikis dan penelantaran anak.

Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak tidak ada tanda-tanda penurunan, angkanya tetap tinggi. Saya khawatir bahwa kita lebih fokus untuk menyediakan ember ketika ada atap yang bocor. Tetapi tidak fokus untuk memperbaiki kebocorannya.

Umpamanya di Bima dan Dompu ada kasus panahan yang dilakukan remaja. Yang dilakukan hanya patroli dan pemberlakuan jam malam. Tetapi tak pernah dilihat apa yang menjadi faktor penyebab dari kejadian itu.

Kasus panahan itu hanya gejala. Tapi tak pernah dilihat sumber masalahnya. Misalnya ada orang sakit panas atau demam, itu hanya dikasih paracetamol, selesai.
Tapi tidak pernah tahu, demam itu penyebabnya apa. Apakah infeksi atau faktor lainnya. Itu yang tak pernah dilihat. Tidak pernah menyentuh akar penyebab masalahnya.

Mengapa kasus kekerasan perempuan dan anak masih tinggi padahal berstatus KLA?

Mahsiswa demo menuntut penanganan kasus kekerasan seksual di NTB dituntaskan (IDN Times/Muhammad Nasir)

Tergantung niatnya apa. Kalau niatnya hanya dapat penghargaan mungkin kayak sekarang ini terjadi. Tapi kalau niatnya membangun sistem perlindungan anak, membuat kabupaten/kota yang betul-betul menjadi layak anak, mungkin akan berbeda.

Tapi kalau tujuannya hanya mendapatkan penghargaan, semua disulap. Indikatornya sekolah ramah anak, dibuat tim sekolah ramah anak. Ada SK sekolah ramah anak. Tapi apakah betul sekolah itu ramah anak urusan nanti. Yang penting secara administratif sudah terpenuhi.

Bagaimana melihat implementasi kabupaten/kota layak anak di NTB?

Kalau memang betul-betul menjadi kabupaten/kota layak anak, iya laksanakan. Jangan hanya sekedar mendapatkan penghargaan. Penghargaan itu adalah bonus.
Tetapi yang harus dikejar pemerintah kabupaten/kota adalah betul-betul mewujudkan kabupaten/kota yang layak anak secara riil. Bukan hanya secara administratif tetapi secara riil.

Kalau indikatornya sekolah ramah anak, jadikan sekolah ramah anak di kabupaten/kota yang memenuhi indikator. Bukan hanya sekadar ada plangnya sekolah ramah anak, ada SK sekokah ramah anak. Tetapi realitasnya warga sekolah tak paham tentang sekolah ramah anak.

Apakah Pemda belum menjadikan perlindungan perempuan dan anak jadi program prioritas?

Hampir seluruh daerah di NTB, urusan perlindungan perempuan dan anak itu adalah urusan yang tidak terlalu prioritas. Kita bisa cek anggaran Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A), gak ada yang anggaran programnya melebihi anggaran 1 kilometer jalan.

Jadi sebagian besar pemerintah daerah tak memberikan alokasi anggaran yang cukup untuk DP3A. Kita punya masalah perkawinan anak, berapa anggaran yang dipersiapkan untuk pencegahan perkawinan anak?

Apakah perlu dicabut saja predikat kabupaten/kota layak anak?

Kalau saya bukan dicabut tapi lebih menekankan bahwa status kabupaten/kota layak anak sebagai pemacu. Kalau dapat predikat kabupaten/kota layak anak ternyata realitasnya belum, seharusnya menjadi cambukan untuk mewujudkan.

Predikat kabupaten/kota layak anak bukan hanya sekedar dapat penghargaan predikat KLA tapi betul-betul mewujudkan apa yang diharapkan dari penghargaan itu.

6. Kekerasan seksual merambah pondok pesantren banyak ditemukan tahun 2023. Apakah terjadi tren peningkatan kasus?

ilustrasi kekerasan seksual (IDN Times/Mardya Sakti)

Kalau dibilang peningkatan kasus kita belum bisa memastikan. Cuma persoalannya yang terlaporkan tahun ini ada 9 kasus di pondok pesantren. PR-nya masih ada yang belum naik ke pengadilan.

Dari 9 kasus itu, hanya 7 kasus yang dilaporkan. Yang sudah divonis 2 kasus yaitu Lombok Barat dan Lombok Timur. Sisanya masih di kepolisian dari 7 kasus dilaporkan.

7. Apa yang menyebabkan penanganan kasus kekerasan seksual lama?

Ilsutrasi palu sidang (unsplash.com/@sasun1990)

Memang kasus kekerasan seksual pembuktiannya susah. Apalagi beberapa kasus kejadiannya sudah lewat. Korban baru berani speak up. Itu menambah kesulitan dalam pembuktian.

Kemudian beberapa kasus ada campur tangan dari kepala daerah untuk menghentikan kasus itu, mendamaikan kasus itu. Karena mungkin dia punya agenda tersembunyi 2024.
Ada upaya menghentikan dan mendamaikan, itu menyimpang sebenarnya. Intimidasi kepada korban dan keluarganya bahkan kepada aparat penegak hukum.

Banyak korbannya, misalnya di Sumbawa dari 29 korban yang melapor 26 orang. Kemudian Lombok Timur, satu pondok itu ada 7 orang tapi yang kita naikkan hanya 2 orang.

Kemudian satu pondok lagi catatan teman-teman yang mendampingi korbannya 40 orang tapi dinaikkan hanya 1 orang. Jadi cukup banyak korbannya.

8. Apa akar masalah kasus kekerasan perempuan dan anak di NTB?

Demo mahasiswa menuntut penyelesaikan kasus kekerasan seksual di NTB. (IDN Times/Muhammad Nasir)

Pertama problemnya di keluarga ada pada pola pengasuhan. Hampir anak-anak yang bermasalah dari keluarga yang bermasalah juga. Ini yang kemudian menyebabkan masalah itu terus berulang.

Karena kita tidak memiliki pendidikan soal pengasuhan. Pemerintah abai soal pengasuhan. Tidak ada pendidikan bagaimana untuk menjadi orang tua. Lembaga layanannya sudah tak tersedia untuk penguatan keluarga. Akhirnya masalah anak cukup banyak.

Kekerasan terhadap perempuan juga lebih banyak KDRT (kekerasan dalam rumah tangga). Sehingga kembali lagi ke masalah keluarga. Tempat terbanyak terjadinya kasus kekerasan perempuan dan anak di rumah.

9. Apa masukan kepada Pemda untuk menekan kasus kekerasan perempuan dan anak di NTB?

Pemerintah harus mulai memikirkan bagaimana melakukan upaya pencegahan. Pencegahan itu menjadi sangat urgen dilakukan. Kemudian memperkuat layanan yang sudah ada. Jadi untuk penanganan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak, pemerintah sudah membentuk UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA).

Perlu semua daerah memberikan layanan yang standar. Karena di UPTD PPA, SDM belum lengkap, sarana prasarananya tidak memadai. Anggaran juga tidak sepenuhnya tersedia. Itu harus segera diperbaiki oleh pemerintah.

Jadi, pencegahannya dilakukan tapi penanganan ketika ada kasus, pemerintah juga menyediakan sarana dan prasarana layanan. Ini yang harus dilakukan secara simultan.
Ke depan saya berharap pencegahan dilakukan secara sistemik. Tidak hanya penyuluhan di satu desa ke desa lainnya. Tetap ada manfaatnya tapi dampaknya kurang efektif. Kemudian tidak menyeluruh, hanya segelintir orang yang mendapatkan edukasi.

Editorial Team