Nelayan di Pantai Mapak Indah Kota Mataram usai pulang melaut. (IDN Times/Muhammad Nasir)
Ia menyebutkan dari data Izin Usaha Pertambangan per November 2021, tercatat 2.919.870,93 hektare atau sebanyak 1.405 IUP di wilayah pesisir, dan 687.909,01 hektare atau 324 IUP di wilayah laut. Dengan persentase pertambangan timah 373.265,58 hektare (13%), batubara 446.215,40 hektare (14%), biji dan pasir besi 538.769,99 hektare (18%), nikel 568.169,85 hektare (20%), emas 583.161,86 Ha (20%), granit dan marmer 5.999,80 hektare (0,2%), gamping dan tanah liat 35.121,66 hektare (1%), mangan 37.599,88 hektare (1%), tembaga 80.489,39 hektare (3%), pasir dan batu 81.814,974 hektare (3%), lain-lain 169.262,54 hektare (6%).
Walhi mencatat sebanyak 35 ribu keluarga nelayan terdampak proyek tambang. Dalam jangka panjang, pemberian izin usaha pertambangan, mendorong penurunan jumlah nelayan yang sangat signifikan. Selain dampak pertambangan, proyek reklamasi di tahun 2019 dengan luasan 79.348 hektare telah mengakibatkan 747.363 orang nelayan kehilangan wilayah tambatan perahu dan wilayah tangkapan di pesisir laut.
Sementara total luasan reklamasi yang direncanakan sampai 2040 yang tertuang dalam 22 RZWP3K seluas 2.698.734,04 hektare. Selain itu, sektor pariwisata dan kawasan konservasi laut yang juga merupakan rangkaian proyek strategis nasional berkontribusi terhadap hilangnya wilayah tangkapan nelayan.
Pemerintah menargetkan 32 juta hektar pada 2030 kawasan konservasi laut. Ada 88 KSPN sampai tahun 2025, mayoritas di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Serta ada ratusan Kawasan Pengembangan Pariwisata Nasional (KPPN) dan Kawasan Destinasi Pariwisata Nasional (KDPN).
Diungkapkan, sepanjang 2010 - 2019, telah terjadi penurunan jumlah nelayan. Pada tahun 2010 tercatat sebanyak 2,16 juta orang nelayan. Namun pada tahun 2019, jumlahnya tinggal 1,83 juta orang. Dalam satu dekade terakhir, 330.000 orang nelayan di Indonesia telah berkurang. Penyebab utamanya diakibatkan oleh industri ekstraktif, seperti tambang pasir di laut yang merusak wilayah tangkap nelayan.
Dikatakan, kebijakan pembangunan di Indonesia belum memperlihatkan arah pada jalur yang tepat dalam upaya memenuhi target Perjanjian Paris untuk menjaga suhu bumi tidak melewati ambang batas 1,5 derajat celcius. Seperti yang disampaikan Presiden Indonesia dalam pidatonya di pertemuan COP 26 yang berlangsung di Glasgow.
Berdasarkan Laporan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) Februari 2022, peningkatan suhu akan memaksa ikan berpindah dari wilayah tropis. Sehingga akan mengurangi pendapatan nelayan tradisional di Indonesia sebesar 24 persen.
Di mana, 95 persen akan mencapai kategori level ancaman tertinggi, berdampak pada perikanan yang bergantung dengan karang. Di Asia Tenggara, 99 persen terumbu karang akan mengalami pemutihan dan mati dikarenakan krisis iklim pada tahun 2030.
Masyarakat yang berada di 3.658 desa pesisir di Banusramapa akan merasakan dampak dari kebijakan proyek strategis nasional. Terutama penggunaan energi fosil dalam pengembangan industri pertambangan di wilayah timur Indonesia yang semakin mempercepat laju degradasi lingkungan serta krisis iklim. Sehingga berdampak pada kerentanan pangan, ketidakpastian hasil tangkapan nelayan, hilangnya pulau-pulau kecil dan bencana ekologi.
"Walhi Region Banusramapa melihat rezim saat ini sepertinya melupakan bahwa Indonesia sangat rentan terhadap bencana alam karena dikelilingi oleh gunung berapi aktif yang tersebar di darat dan laut, 12 sesar aktif yang berpotensi terjadinya gempa dan tsunami," terangnya.