Aktivis Perempuan NTB, Ira Apryanthi. (dok. Istimewa)
Gubernur NTB Lalu Muhamad Iqbal hanya merespons singkat terkait viralnya kasus perkawinan anak di Lombok Tengah. Dia mengatakan akan mendalami kasus pernikahan anak tersebut. "Saya lagi mendalami itu," katanya singkat.
Sebagaimana diketahui, NTB menempati peringkat pertama perkawinan anak secara nasional dengan presentase 17,32 persen. Terdapat tiga kabupaten di NTB dengan kasus perkawinan anak tertinggi yaitu Lombok Timur 21 persen, Lombok Tengah 29,9 persen dan Lombok Utara 19 persen.
Meski berbagai program pencegahan telah digulirkan dari edukasi ke sekolah hingga komitmen dari pemerintah daerah, kenyataannya praktik ini masih terus terjadi, bahkan cenderung dianggap sebagai hal yang lumrah oleh sebagian masyarakat NTB.
Padahal, perkawinan anak bukan sekadar peristiwa sosial, tetapi berisiko besar terhadap masa depan generasi muda, terutama anak perempuan. Dampaknya bisa mencakup putus sekolah, kehamilan di usia dini, kerentanan terhadap kekerasan dalam rumah tangga, hingga kemiskinan struktural antar generasi.
Aktivis Perempuan NTB, Ira Apryanthi menyuarakan keresahannya. Kasus viral perkawinan anak di Lombok Tengah ini bukan yang pertama, dan sayangnya mungkin bukan yang terakhir.
Berdasarkan data Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) NTB, jumlah perkawinan anak pada tahun 2024 sebanyak 581 kasus.
"Ini alarm keras bagi semua pemangku kepentingan pemerintah, tokoh agama, pendidik dan keluarga bahwa sistem perlindungan anak kita belum bekerja maksimal. Kita tidak bisa hanya reaktif ketika kasus viral, tapi harus mulai serius membangun sistem pencegahan dan pendampingan yang berkelanjutan," kata Ira.
Ira menggarisbawahi pentingnya keterlibatan anak muda dalam proses edukasi dan advokasi di komunitasnya.
"Kita harus libatkan remaja dan anak-anak sebagai agen perubahan. Mereka harus tahu hak-haknya, berani bicara dan punya ruang aman untuk tumbuh tanpa tekanan menikah dini. Jika tidak, kita akan terus mengulang lingkaran yang sama," ucapnya.
Dia mengatakan sudah saatnya NTB mengevaluasi ulang strategi perlindungan anak secara menyeluruh. Evaluasi ini harus melibatkan pendekatan lintas sektor, yaitu hukum, pendidikan, kesehatan, dan sosial budaya agar tidak hanya menyentuh permukaan. Tetapi menyasar akar persoalan norma sosial, tekanan ekonomi, dan ketimpangan gender.
Pemerintah, lembaga adat, serta tokoh agama diharapkan bersinergi menciptakan lingkungan yang benar-benar aman dan suportif bagi anak-anak. Karena masa depan NTB, dan Indonesia, ditentukan oleh bagaimana hari ini melindungi generasi muda.