Ilustrasi Presiden Soekarno (Pinterest.com)
Sebagai reaksi penolakan isi perjanjian Linggarjati yang ditandatangani oleh Sutan Syahrir pada 23 Maret 1947, dan pembentukan Negara Indonesia Timur (NIT), Sultan Muhammad Salahudin bersama tokoh pemuda, pada 23 Maret 1948, mendirikan organisasi Ikatan Qaum Muslimin Indonesia (IQAM). Pada tahun 1949, pengurus IQAM menghadiri kongres Al Islami di Yogyakarta untuk memperjuangkan menolak pembentukan negara Republik Indonesia Serikat (RIS).
Pada 11 September 1949, permaisuri Sultan Muhammad Salahuddin, Siti Aisyah merintis organisasi Rukun Wanita (RW). Organisasi lokal ini diketahui oleh SBS Yulianche, ketua muda putri Siti Maryam Binti Muhammad Salahudin, Sekretaris I Nurbani Abidin Ishak, Sekretaris II Siti Maryam guru sekolah rakyat Raba dan Siti Aisyah Nasruddin sebagai bendahara.
Sejak awal pemerintahannya, Sultan Muhammad Salahuddin memperhatikan kepentingan perempuan. Karena itu, Sultan Muhammad Salahuddin juga mendukung organisasi perempuan Aisyah Bima yang dirintis oleh Sulastri. Secara resmi, Aisyah Bima berdiri pada 1938, dengan susunan pengurus yang diketuai oleh Ibu Jaenab AD Talu dan wakil ketua Oleh Ibu Kartini M. Amin.
Nahdatul Ulama yang semula merupakan organisasi keagamaan bergerak di bidang dakwah dan pendidikan pada tahun 1950, berubah statusnya menjadi organisasi politik, direstui oleh Sultan Muhammad Salahuddin. Begitu juga Partai Masyumi yang lahir pada 5 Januari 1950, mendapat dukungan dari Sultan Muhammad Salahudin. Meskipun semula dia mengharapkan agar tokoh-tokoh Islam tetap berada dalam IQAM.
Kehadiran organisasi yang tidak berazaskan Islam, seperti Parindra tahun 1939, PIR tahun 1949 dan PNI pada era yang sama, tetap disambut baik oleh Sultan Muhammad Salahuddin. Meski secara pribadi , dia adalah seorang tokoh nasional Islam yang berjiwa Demokrat. Sultan Muhammad Salahuddin tetap menghargai keragaman misi, selama visi kedepan tetap satu, yaitu merebut kembali kemerdekaan dari tangan penjajah.
Pada 22 November 1945, Sultan Muhammad Salahuddin mencetuskan pernyataan jiwa seluruh lapisan masyarakat Bima, yang sangat mencintai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang telah diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945. Pernyataan setia kepada NKRI dikeluarkan pada 22 November 1945 yang terkenal dengan Maklumat 22 November 1945.
Maklumat 22 November 2025 isinya sebagai berikut:
Pemerintah kerajaan Bima, adalah suatu daerah istimewa dari negara Republik Indonesia dan berdiri di belakang pemerintahan Negara Republik Indonesia.
Kami menyatakan, bahwa pada dasarnya segala kekuasaan dalam pemerintahan kerajaan Bima terletak di tangan kami, oleh karena itu sehubungan dengan suasana dewasa ini, maka kekuasaan-kekuasaan yang sampai sekarang ini tidak ditangan kami, maka dengan sendirinya kembali ke tangan kami.
Kami menyatakan dengan sepenuhnya, bahwa perhubungan dengan pemerintahan dalam lingkungan kerajaan Bima bersifat langsung dengan pusat Negara Republik Indonesia.
Kami memerintahkan dan percaya kepada sekalian penduduk dalam seluruh kerajaan Bima, mereka akan bersifat sesuai dengan sabda kami yang ternyata di atas.
Maklumat 22 November 1945, semakin mempersulit posisi Jepang. Karena sesuai dengan perjanjian sekutu pada 14 Agustus 1945, semua masalah di daerah bekas jajahan Jepang akan ditangani oleh sekutu. Hal ini sudah berkali-kali diperingatkan oleh Mayor Jenderal Tanaka, namun Sultan Muhammad Salahuddin bersama KNI, TKR dan API tidak pernah mengindahkannya.
Sebulan kemudian, yaitu pada 17 Desember 1945, di halaman depan Istana Bima dilangsungkan upacara hari peringatan kemerdekaan. Pernyataan hari kemerdekaan Republik Indonesia, idealnya berlangsung pada setiap tanggal 17 Agustus. Namun untuk menunjukkan kesetiaan terhadap NKRI, upacara dilaksanakan pada 17 Desember 1945.
Setelah upacara, diadakan pawai keliling kota, dan dilanjutkan dengan pertandingan “sempa raga” atau sepak raga yang merupakan salah satu jenis olahraga tradisional di Bima. Pada malam hari di sekolah pertanian Lewi Rato dipergelarkan seni pertunjukan sandiwara.
Presiden RI Soekarno tercatat dalam sejarah Bima sebanyak dua kali. Kunjungan pertama dilakukan sebelum Indonesia merdeka, pada saat pembuangannya di Ende NTT. Dalam perjalanannya di Ende itulah Soekarno pernah singgah di Bima dan menginap di Istana Bima.
Ruangan dan tempat tidur sang proklamator masih ada di Istana Bima di lantai dua bangunan bersejarah itu. Sedangkan kunjungan yang kedua dilakukan pada 3 November 1950 atau lima tahun setelah Indonesia merdeka.
Kecintaan Sultan muhammad Salahuddin terhadap negara dan bangsa tidak pernah pudar dan hilang. Jiwa nasionalis dapat dilihat dari getaran sukma dan sikap jiwanya ketika menyampaikan pidato resmi di hadapan Presiden Soekarno yang berkunjung ke Bima.
Akibat dari sikap tersebut, Jepang menekan Sultan Muhammad Salahuddin agar mengubah sikapnya. Menurut Pemerintah Jepang, nasib bangsa Indonesia tergantung dari hasil keputusan sekutu, karena berdasarkan isi perjanjian antara Jepang dan sekutu pada 14 Agustus 1945, segala masalah yang berhubungan dengan masalah jajahan Jepang akan ditangani oleh sekutu.
Tetapi penekanan ini tidak digubris oleh Sultan Muhammad Salahuddin. Atas dukungan para pejuang dan rakyat, perlawanan terhadap penjajah terus dilakukan sampai Indonesia merdeka.