Penampakan Sirkuit Mandalika dari Udara tepat di tikungan ke 16 dan 17. (dok. Kemenparekraf)
Menurut Widodo, persoalan sengketa lahan di Sirkuit Mandalika yang menjadi kebanggaan baru negara Indonesia itu seharusnya tak hanya menggunakan perspektif hukum semata.
Dia mengaku sengketa lahan di Mandalika sangat kompleks dan cukup panjang sejak PT Lombok Indonesia Tourism Development (LTDC) mencoba menguasai lahan tahun 1991 hingga berubah menjadi PT Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC) sekitar 2010 silam.
"Nah, sebenarnya tidak etis ketika para pejabat misalnya ramai-ramai datang ke Mandalika menikmati perhelatan internasional dengan karcis, biaya atau tiket yang sangat tinggi. Sementara masih ada rakyat di area sirkuit itu belum selesai lahannya," tegas Widodo.
Beberapa kasus lahan yang masih bersengketa di Area Sirkuit Mandalika ialah milik Amak Sibawaih dengan total 4,3 hektare, Amak Bengkok 1,8 hektare, Amak Dirate 60 are dan masih banyak kasus-kasus lahan di luar area sirkuit MotoGP yang masuk dalam area KEK Mandalika.
Menurutnya, khusus untuk kasus lahan Sibawaih agaknya paling aneh. Widodo menyebutkan bahwa PT ITDC salah kaprah dalam memahami putusan pengadilan.
Pasalnya dalam putusan pengadilan, PT ITDC mengklaim bahwa lahan di HPL 222 itu diklaim dimenangkan PT ITDC dengan Amak Semin, bapak dari Sibawaih. Pada faktanya, lahan sebenarnya milik Sibawaih itu berada dan masuk dalam persil 263 dan persil 269, bukan HPL nomor 222 yang dituduhkan PT ITDC.
"Jadi jangan kemudian lahan itu diklaim menjadi HPL lokasi Sibawaih sekarang tinggal," kata Widodo.
Selama ini, pendekatan kasus sengketa lahan masih berkutat pendekatan formal. Misalnya pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
"Ada indikasi konstruksi pengadaan sebenarnya. Sekaligus kalau dipahami ini ada dugaan peniadaan hak di sana," katanya.