Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Kepala Dinas Dikbud NTB Aidy Furqon. (IDN Times/Muhammad Nasir)
Kepala Dinas Dikbud NTB Aidy Furqon. (IDN Times/Muhammad Nasir)

Mataram, IDN Times - Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) Nusa Tenggara Barat (NTB) memperkuat keberadaan Satgas Anti Kekerasan di sekolah-sekolah untuk mencegah kriminalisasi terhadap guru. Langkah ini diambil setelah beberapa kasus kriminalisasi guru terjadi, termasuk kasus pada tahun 2023 di SMKN 1 Taliwang, Kabupaten Sumbawa Barat, yang melibatkan seorang guru agama bernama Akbar Soerasa.

"Kami berharap insiden serupa tidak terulang lagi di NTB. Kami belajar dari peristiwa di SMKN 1 Taliwang dan juga dari kasus yang terjadi di Konawe Selatan," ujar Kepala Dinas Dikbud NTB, Aidy Furqon, saat dikonfirmasi di Mataram, Sabtu (2/11/2024).

1. Perkuat Satgas Anti Kekerasan di sekolah

Ilustrasi. Sejumlah siswa membawa bendera Merah Putih saat akan menyambut kegiatan rapat kerja Presiden Prabowo Subianto dan retret Kabinet Merah Putih 2024-2029. (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)

Aidy menekankan pentingnya komunikasi yang baik antara guru dan wali murid. Ia menyarankan agar setiap kekerasan yang dilakukan untuk mendisiplinkan siswa tidak langsung dibawa ke ranah hukum, tetapi diselesaikan melalui dialog antara guru dan orang tua.

"Banyak orang tua yang berharap anaknya disiplin, namun dalam mendidik, guru tidak boleh menggunakan kekerasan," kata Aidy.

"Jika ada kekerasan fisik, itu bukan pendidikan, melainkan hukuman. Dalam pendidikan, yang ada adalah mengajar dan mendidik, bukan menghukum," jelasnya.

Meski demikian, Aidy mengakui bahwa ada kasus di mana guru melakukan tindakan fisik secara spontan, terutama setelah mengajar dalam waktu lama. Oleh karena itu, Satgas Anti Kekerasan dan Bullying di setiap sekolah diperkuat untuk mengatasi kasus seperti ini.

"Satgas Anti Bullying dan Kekerasan sudah terbentuk, dan kami berharap bisa meminimalisir kekerasan. Namun, yang sering terjadi adalah tindakan spontan yang dilakukan guru," jelas Aidy.

2. Guru di NTB khawatir dikriminalisasi

Ilustrasi guru mengajar (unsplash.com/Syahrul Alamsyah Wahid)

Kasus kriminalisasi guru di Konawe Selatan turut membuat para guru di NTB merasa khawatir. Aidy meminta para guru di NTB tetap tenang dan tidak melakukan tindakan yang dapat memicu reaksi negatif saat menjalankan tugas.

Menurut Aidy, ada berbagai cara menangani siswa yang bermasalah tanpa harus menggunakan kekerasan. Salah satunya adalah memberikan perhatian khusus dan intens berkomunikasi, termasuk melakukan kunjungan ke rumah siswa (home visit) jika siswa kerap absen tanpa keterangan.

"Jika siswa tiga kali tidak hadir tanpa keterangan, lakukan home visit. Biasanya ada masalah di rumahnya, dan orang tua pun merasa diperhatikan dengan cara ini," ujar Aidy.

Kasus yang dialami Akbar Soerasa di SMKN 1 Taliwang, pada tahun 2023, menjadi pembelajaran penting bagi seluruh guru di NTB. Akbar divonis bersalah oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Sumbawa pada 22 November 2023, karena terbukti melakukan penganiayaan terhadap salah satu muridnya. Akbar dihukum tiga bulan penjara dengan masa percobaan selama setahun dan dikenai denda Rp 2,5 juta, subsidair dua bulan kurungan.

3. Perlu dibuat UU Perlindungan Guru

ilustrasi guru (pexels.com/Gustavo Fring)

Salah seorang guru SMA di Lombok Timur, Husnul Asyriati, menyatakan perlunya undang-undang perlindungan bagi guru untuk mengurangi risiko kriminalisasi dalam tugas. Meski demikian, Husnul mengaku tidak pernah menghadapi kesulitan berarti dalam mengajar, berkat pendekatan yang memperlakukan siswa seperti teman.

"Mereka semua baik. Tidak ada yang nakal berlebihan, hanya minat belajarnya saja yang masih kurang," kata Husnul.

Husnul menekankan pentingnya komunikasi dan kesabaran dalam menghadapi siswa, terutama di kalangan Gen Z. Ia percaya bahwa pendekatan yang tepat dapat membantu guru menciptakan hubungan positif dengan murid.

"Bagaimana kita bersikap dan berbicara kepada mereka sangat berpengaruh," tutup Husnul.

Editorial Team