Pelatihan Vertical Rescue di Gunung Rinjani Lombok Timur. (IDN Times/Muhammad Nasir)
Sistem keselamatan jalur pendakian gunung di Indonesia masih menghadapi tantangan. Minimnya personel, keterbatasan logistik, serta kondisi geografis yang sulit dijangkau, membuat proses penyelamatan pendaki kerap berlangsung lambat.
Dalam banyak kasus, upaya evakuasi lebih dulu dijalankan oleh jaringan relawan dan potensi SAR binaan Basarnas di kaki gunung. Salah satunya di jalur Lembanna yang menuju Gunung Bawakaraeng di Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan.
"Jalur Lembanna atau jalur Bulu Ballea itu sudah ada teman di bagian registrasi. Kita berikan materi untuk penanganan pertama dalam menangani korban mulai dari gejala hipotermia dan sebagainya untuk mempercepat proses evakuasi. Karena kalau kita dari sini (Makasar), butuh waktu 4 jam," kata Kepala Seksi Operasi dan Siaga Basarnas Makassar, Andi Sultan, saat diwawancarai IDN Times via telepon, Jumat (1/8/2025).
Dia menyebut, proses awal dimulai dari laporan masyarakat. Informasi yang masuk diverifikasi terlebih dahulu, termasuk posisi pendaki, jumlah korban, dan kronologi kejadian. Setelah itu, laporan diteruskan berjenjang mulai dari operator radio, kepala jaga, kepala kasi hingga kepala kantor, sebelum tim SAR dikerahkan ke lokasi.
Untuk mengatasi kendala waktu tempuh, Basarnas Makassar membentuk dan melatih potensi SAR di titik-titik strategis. Salah satunya di jalur pendakian Gunung Bawakaraeng melalui Lembanna dan Bulu Ballea, Kabupaten Gowa. Wilayah ini menjadi akses utama yang paling ramai digunakan pendaki, terutama saat momen 17 Agustus dan libur tahun baru.
Basarnas hanya memiliki 26 personel di kantor Makassar. Jumlah tersebut harus dibagi ke 8 pos SAR yang tersebar di seluruh wilayah provinsi Sulawesi Selatan. Dalam kondisi ideal pun, pengiriman tim ke medan pegunungan memakan waktu dan tenaga yang besar.
Basarnas Makassar juga tidak memiliki helikopter sendiri. Jika evakuasi udara diperlukan, maka mereka harus berkoordinasi dengan instansi lain seperti TNI AU atau TNI AL. Contohnya saat banjir bandang di Latimojong, Basarnas bekerja sama dengan militer untuk menjangkau korban.
Persoalan kesulitan Tim SAR ini tidak hanya dirasakan oleh Basarnas di Makassar. Hal ini juga dirasakan oleh Tim SAR Bandung di Jawa Barat. Kepala Seksi Operasi dan Siaga SAR Bandung, Moch Adip mengatakan terkait peralatan dalam pertolongan di kawasan pegunungan, Kantor SAR Bandung memiliki berbagai macam alat termasuk ketersediaan helikopter. Meski demikian, pencarian korban kecelakaan di pegunungan yang ada di Jawa Barat memang biasanya tidak mudah, karena tergantung kondisi kawasan dan cuaca sekitar.
Bisa saja area kecelakaan sulit diakses sehingga pencarian korban membutuhkan waktu. Kemudian cuaca pun harus mendukung karena ketika ada kabut atau angin kencang agar sulit melakukan evakuasi korban kecelakaan di area pegunungan.
"Sebenarnya kita juga sudah koordinasi dengan komunitas pencinta alam atau pendaki di area pegunungan sehingga ketika ada kejadian mereka juga bisa terjun lebih dulu karena sudah hapal medan," paparnya.
Kesulitan medan evakuasi dan kendala pada proses penyelamatan ini juga terjadi di Gunung Rinjani yang ada di Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR) mencatat sebanyak 32 pendaki yang mengalami kecelakaan sejak pembukaan pendakian awal April 2025. Pendaki yang kecelakaan sebanyak 12 orang merupakan warga negara asing (WNA), sisanya pendaki nusantara. Dari jumlah kecelakaan itu, dua pendaki WNA meninggal dunia dan dua orang dievakuasi pakai helikopter.
"Kejadian yang menimpa Juliana membuka mata semua pihak. Bukan pengelola TNGR saja, tapi pengunjung, termasuk pemerintah pusat juga. Selain evakuasi, pascakejadian perlu juga pembenahan dan mitigasi supaya bisa zero accident," kata pelaku wisata pendakian Trekking Organizer (TO) Rinjani Trekker, Soba dikonfirmasi IDN Times, Sabtu (2/8/2025).
Terpisah, Ketua Pokja World Class Mountaineering Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR) Budi Soesmardi mengatakan saat ini pihaknya sedang menyosialisasikan draf SOP pendakian Gunung Rinjani yang terbaru. Revisi SOP pendakian Gunung Rinjani merupakan tindak lanjut dari rekomendasi yang disampaikan pada saat rapat koordinasi dipimpin Kemenko Polkam.
Salah satu rekomendasinya adalah evaluasi tata kelola pendakian Gunung Rinjani yang di dalamnya ada satu item yaitu revisi SOP pendakian. "Saat ini kita sedang menjaring masukan atau usulan-usulan dari pelaku wisata terutama trekking organizer terkait dengan bagian-bagian yang perlu kita benahi bersama," kata Budi.
Beberapa catatan yang terdapat pada SOP pendakian Gunung Rinjani yang baru, kata Budi, mengenai masa berlaku surat keterangan sehat calon pendaki yang awalnya berlaku H-3, sekarang berlaku H-1. Kemudian, nantinya ada kesepakatan bersama terkait dengan rasio penggunaan guide untuk pengunjung yang awalnya satu berbanding 6.
"Tapi kita akan mencari masukan dari teman-teman pelaku wisata pendakian, praktisi dan stakeholder lain terkait rasio penggunaan guide," tambahnya.
Selain itu, dalam dalam draf SOP yang baru, menekankan tentang kompetensi guide. Dalam draf SOP itu, menekankan untuk seorang guide selain terdata sebagai guide di taman nasional juga harus tersertifikasi oleh Badan Sertifikasi Nasional Profesi. "Jadi semua guide sudah legal dan kompeten untuk melakukan pemanduan di TNGR," terangnya.
Untuk sarana dan prasarana, kata Budi, sudah selesai dilakukan perbaikan jalur dari Pelawangan Sembalun menuju Danau Segara Anak. Kemudian dilanjutkan perbaikan jalur dari Pelawangan Senaru menuju Danau Segara Anak dan jalur Torean.
Tak kalah pentingnya, kata Budi, ada penambahan satu unit shelter emergency di Pelawangan 4 Sembalun yang nantinya difungsikan sebagai tempat penyimpanan peralatan evakuasi. Jika terjadi kecelakaan, peralatan evakuasi tak perlu lagi didatangkan dari Sembalun tapi sudah standby di Pelawangan 4.
Sementara itu, sistem keselamatan di jalur pendakian ini juga menjadi sorotan di Gunung Lawu. Pengelola jalur resmi bersama BPBD dan Perhutani Lawu Selatan menekankan pentingnya prosedur keselamatan dan kepatuhan terhadap aturan.
“Gunung bukan tempat main-main, keselamatan dan etika harus jadi prioritas,” tegas Mulyadi, Asper/KBKPH Lawu Selatan, Rabu (30/7/2025).
Dari sisi kebencanaan, BPBD Magetan menyatakan mereka selalu siap terlibat dalam kegiatan berisiko tinggi. Meski tidak mengatur langsung SOP pendakian, BPBD rutin berkoordinasi dengan Perhutani dan SAR, terutama saat event-event besar seperti “Ring of Lawu”.
"Kami siaga penuh jika ada kegiatan massal atau jika situasi mendesak. Koordinasi lintas lembaga akan langsung digerakkan,” jelas Eka Wahyudi, Kasi Kedaruratan dan Logistik BPBD Magetan.
Gunung Lawu bukan hanya destinasi indah, tapi juga ujian tanggung jawab. Dari SOP ketat hingga edukasi lingkungan dan kesiapsiagaan evakuasi, semua pihak berkomitmen menjadikan pendakian tak hanya menyenangkan, tapi juga aman dan beretika.
“Jangan cuma siap fisik, pastikan juga siap aturan dan etika. Selamat mendaki dengan aman dan sadar risiko,” tutup Mulyadi.