Ilustrasi kekerasan pada jurnalis. (dok FJPI NTB)
Kronologi kejadian, pada Senin, 10 Februari 2025, akun Instagram Inside Lombok mengunggah laporan warga berupa kondisi banjir di wilayah Lombok Barat, dengan footage foto perumahan Meka Asia. Namun tidak ada narasi atau keterangan menyebutkan objek perumahan Meka Asia.
Lantaran pihak pengembang merasa narasi merugikan mereka, terjadi komunikasi antara redaksi Inside Lombok dan Meka Asia untuk take down atau hapus unggahan namun permintaan itu ditolak. Solusi yang ditawarkan adalah hak klarifikasi.
Namun, pihak developer Meka Asia menyatakan akan berkoordinasi internal terlebih dahulu. Pada hari yang sama, Inside Lombok tak kunjung mendapat kejelasan soal rencana hak klarifikasi.
Pada Selasa, 11 Februari 2025, jurnalis Inside Lombok YNQ yang sedang dalam kondisi hamil datang bersama beberapa wartawan lainnya untuk konfirmasi serta mengawal warga yang hendak meminta solusi terkait banjir ke pihak developer
Di tengah proses wawancara, pihak Meka Asia memprotes langsung soal postingan ke Inside Lombok kepada YNQ. Korban merasa tertekan karena cara bicara pihak developer yang dirasa memojokkan dengan mempertanyakan kredibilitas pribadinya.
Karena tidak tahan, YNQ memutuskan keluar dan saat itu dalam kondisi menangis. Ia kemudian dikejar oleh pihak pengembang inisial AG dan ditarik serta diremas bagian wajahnya. Akibat kejadian itu, korban pulang ke rumahnya dalam kondisi shock.
Atas kejadian ini, KKJ NTB menyesalkan sikap oknum pengembang yang melakukan tindak kekerasan dan intimidasi. Apalagi kejadian ini dialami jurnalis perempuan dalam kondisi hamil.
"Apapun alasannya, perbuatan ini tidak bisa dibenarkan,” kata Koordinator KKJ NTB Haris Mahtul.
Menurut Haris, seharusnya pengembang memanfaatkan ruang klarifikasi yang sudah disediakan oleh Redaksi Inside Lombok. Sikap redaksi Inside Lombok sudah sesuai dengan ketentuan Pasal 11 dan 12 UU Nomor 40 tahun 1999 tentang pers, serta sejalan dengan Pasal 7 ayat 2 tentang Kode Etik Jurnalistik poin 11.
Sayangnya,. yang dilakukan malah tindakan intimidasi dan kekerasan fisik. Perbuatan ini justru terindikasi memenuhi unsur Pasal 18 ayat 1 dan ayat 2 Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Bahwa setiap pelaku yang melakukan upaya menghalang halangi kerja jurnalistik, apalagi berujung kekerasan fisik, pelaku dapat dipidana 2 tahun penjara dan denda Rp500 juta.
Direktur LSBH NTB Badaruddin juga melakukan kajian untuk melakukan upaya hukum terhadap pelaku. Baik dari segi delik pidana UU Pers maupun kekerasan terhadap perempuan.
“Ada dua delik pidana yang memungkinkan untuk menjerat pelaku, baik itu UU Pers maupun Kekerasan terhadap perempuan,” kata Badaruddin.