Petugas memasuki ruang autopsi. IDN Times/ Bramanta Pamungkas
Syarif menjelaskan kasus kematian Brigadir Nurhadi awalnya ditangani Polres Lombok Utara. Namun, karena peristiwa tersebut menjadi perhatian dan sorotan publik, kemudian diambil alih Polda NTB. Selain itu, keluarga korban juga curiga mengenai penyebab kematian Brigadir Nurhadi.
Dari hasil pelimpahan perkara tersebut, Ditreskrimum Polda NTB melakukan penyelidikan dan penyidikan. Sejak awal, kata Syarif, pihaknya mendorong dilakukan autopsi jenazah korban. Namun, keluarga korban menolak dilakukan autopsi ditandatangani di atas materai.
"Karena ini bergulir terus, bahwa tanda-tanda kekerasan pada saat dimandikan keluarga korban, makanya kami memutuskan dinaikkan menjadi laporan polisi. Karena kami meminta visum itu harus ada laporan polisi terkait dugaan adanya penganiayaan itu karena almarhum meninggal," terangnya.
Setelah dinaikkan menjadi laporan polisi, penyidik mendatangi rumah korban untuk meminta dilakukan autopsi. Tetapi keluarga korban menolak dilakukan autopsi. "Ini terus bergulir banyak mempertanyakan kenapa tidak diusut. Padahal sebenarnya keluarga menolak jenazah korban diautopsi," jelasnya.
Pada akhirnya, penyidik melakukan gelar perkara dan jenazah korban wajib dilakukan autopsi. Penyidik mendatangi keluarga korban, dan menjelaskan bahwa autopsi penting dilakukan untuk mengusut kasus penganiayaan tersebut untuk mengetahui penyebab kematian Brigadir Nurhadi.
"Kita berikan pengertian kepada keluarga korban, akhirnya dengan sukarela memberikan kesempatan kepada penyidik melakukan ekshumasi jenazah. Dari hasil ekshumasi, kami berkeyakinan bahwa ini ada dugaan penganiayaan. Maka kita proses lebih lanjut ke proses penyidikan dan penetapan tersangka," tutur Syarif.
Hasil ekshumasi jenazah, korban mengalami kekerasan fisik. Kemudian dari keterangan ahli pidana, kasus ini memenuhi unsur pidana sehingga ditetapkan tiga orang tersangka. Mereka dijerat pasal 351 ayat 3, pasal 355 dan pasal 359.
"Dari gelar perkara, adalah hasil poligraf, ekshumasi jenazah, dan ahli pidana, disimpulkan bahwa pasal ditambah. Terkait pasal 351 ayat 3 masih kita dalami. Karena tersangka belum memberikan gambaran yang jelas terkait pengakuannya. Tetapi kita berdasarkan hasil ekshumasi jenazah, ahli pidana, dan ahli poligraf, kenapa kita menetapkan tersangka," tandasnya.
Sebelumnya, Polda NTB memberikan sanksi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) terhadap dua perwira polisi yakni Kompol IMYPU dan Ipda HC melalui sidang kode etik pada Selasa 27 Mei 2025 oleh Propam Polda NTB. Majelis etik menyatakan keduanya melanggar pasal kumulatif, yakni Pasal 11 ayat (2) huruf b dan Pasal 13 huruf e dan f Peraturan Kepolisian Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi Polri serta Pasal 13 ayat (1) PP Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Polri.