Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IMG-20250814-WA0028.jpg
Ilustrasi hotel di Senggigi Lombok Barat. (IDN Times/Muhammad Nasir)

Mataram, IDN Times - Pengusaha hotel dan restoran di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) memprotes kebijakan terkait pembayaran royalti pemutaran lagu. Penetapan besaran tarif royalti lagu yang diputar di hotel dan restoran oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dinilai belum jelas.

Pengusaha hotel dan restoran di NTB juga mempertanyakan transparansi penyaluran royalti yang telah dibayarkan. Apakah royalti yang dibayarkan disalurkan tepat sasaran oleh LMKN kepada para musisi yang lagunya diputar. Mereka juga mendesak agar dilakukan uji materi atau judicial review Undang-Undang No. 8 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

"Intinya kami sebenarnya memohon untuk meninjau ulang UU-nya. Karena aturannya harus lebih jelas terutama aturan dasarnya pembayaran royalti. Kalau di hotel berdasarkan jumlah kamar itu dari mana dasarnya," kata General Manager Aruna Senggigi Resort & Convention, Yeyen Heryawan, Kamis (14/8/2025).

1. Bayar royalti lagu Rp6 juta per tahun

General Manager Aruna Senggigi Resort & Convention, Yeyen Heryawan. (IDN Times/Muhammad Nasir)

Yeyen mengungkapkan selama ini belum ada sosialisasi yang dilakukan LMKN kepada pengusaha hotel dan restoran di NTB terkait penarikan royalti. Tiba-tiba, pengusaha hotel dan restoran dikagetkan dengan kasus Mie Gacoan yang kena pidana karena tak membayar royalti lagu.

Dia meminta LMKN memberikan daftar lagu-lagu yang harus berbayar. Karena selama ini, belum ada sosialisasi terkait hal itu. "Selama ini belum ada sosialisasi, hanya kita dikejar UU. Tiba-tiba kena pidana orang," keluhnya.

Hotel Aruna Senggigi, kata Yeyen, harus membayar royalti lagu sekitar Rp6 juta per tahun. Penetapan besaran royalti itu berdasarkan jumlah kamar yang dimiliki sebanyak 136. Yeyen mengaku pihaknya tidak keberatan atas pengenaan royalti lagu, asalkan perhitungannya harus jelas.

"Gak apa-apa bayar royalti, kita juga apresiasi musisi asalkan royalti itu benar-benar disalurkan. Perhitungannya juga harus atas dasar yang jelas juga. Dasar penetapan harga, penyaluran dananya, tepat sasaran kah. Karena kita dengar musisi juga banyak yang pro dan kontra karena ada yang tidak menerima royalti," tambahnya.

Dia berharap penarikan royalti lagu jangan sampai memberatkan industri hotel dan restoran. Apalagi dengan kondisi saat ini, industri hotel dan restoran terdampak efisiensi anggaran yang dilakukan pemerintah.

2. Pengusaha hotel di Mataram kaget tiba-tiba muncul tagihan bayar royalti

Geliat investasi di KEK Mandalika dengan hadirnya hotel baru. (IDN Times/Muhammad Nasir)

Sementara, pengusaha hotel di Kota Mataram mengaku kaget tiba-tiba muncul tagihan untuk pembayaran royalti lagu. Sekretaris Asosiasi Hotel Mataram Rega Fajar Firdaus mengatakan bahwa penarikan royalti lagu baru disosialisasikan di Mataram.

Tetapi yang membuat kaget, tiba-tiba pengusaha hotel mendapatkan tagihan untuk membayar royalti lagu. "Cuma entah kenapa, kok baru sekarang disosiasikan, terus langsung muncul tagihan," kata General Manager Hotel Grand Madani Kota Mataram ini.

Hotel Grand Madani sendiri mendapatkan tagihan royalti sekitar Rp4 juta yang harus dibayar. Jika pengusaha hotel tidak kooperatif, akan dikenakan sanksi pidana selama 10 tahun atau denda Rp4 miliar.

"Nah di situlah yang membuat para pengusaha hotel ini gusar karena ada pemidanaan ini, kenapa harus ada pidana," tanyanya.

Fajar mengungkapkan ada hotel di Mataram yangvsudah disomasi oleh LMKN. Kemungkinan karena menolak membayar atau keberatan dengan penarikan royalti lagu sehingga menyampaikan keberatan ke LMKN.

"Dari 30 anggota AHM, kami saya rasa hampir setengahnya itu sudah disurati dan mungkin sekitar belasan hotel sudah ditagih," katanya.

Dengan kondisi ekonomi saat ini, Fajar mengatakan cukup berat bagi industri perhotelan di Kota Mataram untuk membayar royalti lagu. Hotel-hotel di Kota Mataram terdampak cukup besar kebijakan efisiensi anggaran pemerintah.

"Dengan angka segitu bagi kami pengusaha dengan suasana ekonomi yang sedang menurun agak berat, terus terang saja agak berat," ungkapnya.

3. Terpaksa bayar royalti karena ada ancaman pidana

ilustrasi kamar hotel dengan kasur (pexels.com/Max Vakhtbovycn)

Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) NTB Ni Ketut Wolini mengatakan pihaknya pernah diajak bicara terkait penarikan royalti lagu yang diputar di hotel dan restoran. Seharusnya, LMKN memberikan sosialisasi kepada pengusaha hotel dan restoran di daerah.

"Ini tidak pernah diajak bicara, sosialisasi belum pernah ke PHRI. Jadinya kalau PHRI pusat, okelah. Tapi secara teknis di lapangan kita langsung, agak sulit juga kita tidak bisa koordinasi," kata Wolini.

Wolini mengatakan penarikan royalti memberatkan industri hotel dan restoran di NTB. Meski demikian, pengusaha hotel dan restoran tetap membayar royalti dengan terpaksa karena adanya ancaman hukuman pidana.

Dia mengungkapkan selama ini industri hotel dan restoran sudah kena pajak yang cukup tinggi. Hampir 30 persen pendapatan digunakan untuk membayar pajak, baik pajak daerah maupun pusat. "Kalau dihitung hampir 30 persen kita bayar pajak dari total semua pajak," ungkapnya.

Dia mengatakan industri hotel dan restoran di NTB menghadapi tantangan yang semakin berat. Industri hotel dan restoran terkena dampak gempa Lombok 2018. Belum pulih dari dampak gempa, muncul pandemik COVID-19 dan sekarang kebijakan efisiensi anggaran yang dilakukan pemerintah.

"Gimana bisa bangkit. Ini baru bangkit kita diterpa bencana, sekarang efisiensi dan royalti," tandasnya.

Editorial Team