Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Siswa SD di Banjarmasin makan siang bersama. (Istimewa)

Mataram, IDN Times - Program makan siang gratis mulai diuji coba di beberapa daerah sebagai bagian dari upaya mengatasi stunting atau gangguan pertumbuhan pada anak. Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) menekankan bahwa pencegahan stunting sebaiknya dimulai sejak usia remaja, bukan pada masa anak-anak.

Ketua Persagi Provinsi NTB Denny Apriyanto S.Gz, M.Gizi menjelaskan, upaya pencegahan stunting sejak usia remaja terutama efektif bagi remaja putri yang akan menjadi ibu rumah tangga di masa depan.

"Dalam bidang gizi, intervensi untuk mencegah stunting sebaiknya dimulai sejak usia remaja, yaitu pada jenjang SMP dan SMA. Ini terbukti cukup efektif, khususnya untuk remaja putri agar kelak menjadi ibu yang melahirkan anak dengan pertumbuhan yang optimal," kata Denny saat dihubungi oleh IDN Times pada Sabtu (9/3/2024).

1. Stunting tak bisa ditangani jika anak sudah berusia 2 tahun

Ketua Persagi Provinsi NTB Denny Apriyanto. (dok. Istimewa)

Denny menjelaskan bahwa dengan memperhatikan gizi sejak usia remaja, anak yang dilahirkan di masa depan memiliki kemungkinan lebih kecil untuk mengalami stunting.

Sementara mengenai program makan siang gratis yang ditujukan untuk anak-anak Taman Kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), dan Sekolah Menengah Pertama (SMP), Denny menyatakan bahwa tujuan utamanya bukanlah untuk mengatasi stunting.

Namun, ia menegaskan bahwa program makan siang gratis dapat menjadi bagian dari upaya pencegahan stunting. Denny menegaskan bahwa anak yang sudah berusia di atas 2 tahun dan mengalami stunting tidak akan dapat pulih lagi.

"Stunting pada anak yang sudah berusia di atas 2 tahun tidak dapat lagi diperbaiki. Stunting bukan hanya masalah tinggi badan, tapi juga berdampak pada perkembangan otak yang tidak optimal. Jika tidak ditangani sejak dini, perkembangan intelegensinya akan terhambat," jelas Denny.

Anak yang mengalami stunting dapat terdeteksi sejak lahir. Jika tinggi badannya kurang dari 48 sentimeter, maka bayi tersebut terindikasi mengalami stunting.

Untuk penanganannya, bayi perlu diberikan Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif, bukan susu formula. Setelah bayi mulai makan, pemberian gizi yang seimbang diperlukan untuk mencegah stunting.

2. Perlu kontrol kualitas komposisi menu makan siang gratis

Gizi seimbang (Alvin/google.com)

Denny menambahkan bahwa program makan siang gratis hanya dapat menjadi pendukung dalam pencegahan stunting, namun harus diperhatikan juga kualitas komposisi menu makanannya agar memenuhi kebutuhan gizi yang seimbang.

"Jadi, penting untuk memperhatikan komposisi menu makanan yang disajikan dalam program makan siang gratis, sesuai dengan kebutuhan gizi anak-anak dan remaja. Perempuan dan laki-laki memiliki kebutuhan gizi yang berbeda," tambahnya.

Untuk memastikan kualitas menu makanan dalam program makan siang gratis yang disediakan untuk anak-anak TK hingga SMP, Denny menyarankan melibatkan ahli gizi. Dia juga menekankan pentingnya adanya setidaknya satu petugas gizi di setiap desa atau kelurahan di NTB untuk memantau kualitas menu makanan.

"Di kalangan Persagi, kami melihat hal yang lebih penting dari sekadar menyelenggarakan program makan siang gratis, yaitu memastikan komposisi menu makanannya sesuai dengan prinsip gizi seimbang," jelasnya.

3. Perlu edukasi tentang gizi seimbang

ilustrasi makanan cepat saji (pixabay.com/Kalpesh Ajugia)

Selain itu, Denny menyatakan bahwa perlu terus menerus memberikan edukasi kepada remaja tentang pentingnya gizi seimbang. Di tengah tren konsumsi makanan cepat saji yang semakin meningkat di kalangan remaja, edukasi ini menjadi sangat penting.

"Pendidikan tentang gizi seimbang bagi remaja dan keluarga mereka sangat penting. Mengubah kebiasaan makan yang sudah terbentuk menjadi tantangan tersendiri. Saat ini, banyak remaja lebih memilih makanan cepat saji, padahal itu cenderung memiliki kandungan lemak yang tinggi," tambah Denny.

Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2022, tingkat stunting di NTB naik menjadi 32,7 persen. Kabupaten Lombok Tengah memiliki tingkat stunting tertinggi di NTB, yaitu 37 persen.

Diikuti oleh Lombok Utara 35,9 persen, Lombok Timur 35,6 persen, Dompu 34,5 persen, Lombok Barat 34 persen, Kota Bima 31,2 persen, Sumbawa 29,7 persen, Bima 29,5 persen, Kota Mataram 25,8 persen, dan Sumbawa Barat 13,9 persen.

Berdasarkan pendataan by name by address melalui aplikasi elektronik Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (e-PPGBM) per September 2023, tingkat stunting di NTB turun menjadi 13,78 persen.

Dari data e-PPBGM per September 2023, tingkat stunting tertinggi terjadi di Lombok Utara sebesar 18,03 persen, diikuti oleh Lombok Timur 17,24 persen, dan Kota Mataram 14,76 persen.

Selanjutnya, Lombok Tengah 13,34 persen, Kota Bima 12,39 persen, Lombok Barat 12,38 persen, Bima 11,78 persen, Dompu 10,89 persen, Sumbawa 8,47 persen, dan Sumbawa Barat 7,64 persen.

Editorial Team