General Manager Aruna Senggigi Resort & Convention, Yeyen Heryawan. (IDN Times/Muhammad Nasir)
Royalti musik diberlakukan bagi pelaku usaha yang memutar lagu di ruang publik, termasuk hotel dan restoran. Namun, sebagian pengusaha menilai kewajiban tersebut tidak sepenuhnya relevan, terutama jika musik yang diputar tidak memiliki tujuan komersial.
Pengusaha hotel dan restoran di Lombok memprotes kebijakan terkait pembayaran royalti pemutaran lagu. Penetapan besaran tarif royalti musik yang diputar di hotel dan restoran oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dinilai belum jelas.
Pengusaha hotel dan restoran di NTB juga mempertanyakan transparansi penyaluran royalti yang telah dibayarkan. Apakah royalti yang dibayarkan disalurkan tepat sasaran oleh LMKN kepada para musisi yang lagunya diputar. Mereka juga mendesak agar dilakukan uji materi atau judicial review Undang-Undang No. 8 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
"Intinya kami sebenarnya memohon untuk meninjau ulang UU-nya. Karena aturannya harus lebih jelas terutama aturan dasarnya pembayaran royalti. Kalau di hotel berdasarkan jumlah kamar itu dari mana dasarnya," kata General Manager Aruna Senggigi Resort & Convention, Yeyen Heryawan.
Selama ini belum ada sosialisasi yang dilakukan LMKN kepada pengusaha hotel dan restoran di NTB terkait penarikan royalti. Tiba-tiba, pengusaha hotel dan restoran dikagetkan dengan kasus Mie Gacoan yang kena pidana karena tak membayar royalti lagu.
Dia juga meminta LMKN memberikan daftar lagu-lagu yang harus berbayar. Karena selama ini, belum ada sosialisasi terkait hal itu. "Selama ini belum ada sosialisasi, hanya kita dikejar UU. Tiba-tiba kena pidana orang," keluhnya.
Hotel Aruna Senggigi, kata Yeyen, harus membayar royalti lagu sekitar Rp6 juta per tahun. Penetapan besaran royalti itu berdasarkan jumlah kamar yang dimiliki sebanyak 136. Yeyen mengaku pihaknya tidak keberatan atas pengenaan royalti lagu, asalkan perhitungannya harus jelas.