[WANSUS] Perjuangan Perempuan Disabilitas di NTB Merebut Kursi Dewan

Tak berkecil hati meski dapat stigma negatif

Mataram, IDN Times - Keterbatasan fisik tak menyurutkan semangat Fitri Nugrahaningrum memperjuangkan penyandang disabilitas di Nusa Tenggara Barat (NTB). Perempuan penyandang disabilitas netra ini ikut maju dalam kontestasi pemilihan legislatif (Pileg) 2024.

Fitri maju sebagai Caleg DPRD Lombok Barat daerah pemilihan (dapil) Kediri dan Lombok Barat. Fitri Nugrahaningrum merupakan satu-satunya perempuan penyandang disabilitas yang maju di Pileg 2024 di NTB

Lalu, apa saja yang mendorong mantan Ketua Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) NTB ini ikut berkompetisi menuju kursi dewan/parlemen 2024? Berikut wawancara khusus IDN Times bersama Fitri Nugrahaningrum.

Apa yang mendorong Fitri maju sebagai Caleg?

Saya perempuan dan penyandang disabilitas netra, jadi dobel stigma. Banyak yang mengatakan masa kita diwakilkan perempuan yang tuna netra. Tapi Bismillah, kita harus menghapus stigma itu dengan berjuang bersama-sama.

Itu yang sekarang digoreng 'perempuan dengan disabilitas'. Itu dari teman parpol lain, kampanye hitam. Harapan saya, marilah perempuan dan disabilitas itu maju bersama.
Kita harus bisa menjadi subjek pembangunan, kita harus berperan mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga monitoring pembangunan itu sendiri. Karena kita pun bagian penting dalam pembangunan.

Perempuan dan disabilitas sangat dibutuhkan negara. Siapa lagi yang mengerti dengan diri kita kalau bukan kita sendiri. Marilah kita aktif melibatkan diri, berpartisipasi dalam pembangunan.

Saya sudah lelah dengan kondisi yang kami alami sebagai penyandang disabilitas. Kemudian apa yang terjadi pada lansia, perempuan dan anak serta masyarakat umum lainnya ketika sampai sekarang tidak ada peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Seberapa penting keberadaan penyandang disabilitas di parlemen?

[WANSUS] Perjuangan Perempuan Disabilitas di NTB Merebut Kursi DewanSpanduk dukungan untuk Fitri Nugrahaningrum di Lombok Barat. (IDN Times/Muhammad Nasir)

Kalau kita hanya berkoar-koar di luar sistem, protes dan kritik terhadap pemerintahan, kita menitip harapan kepada anggota dewan, hasilnya lebih banyak kecewa. Karena kita sering di-PHP juga.

Ketika ada masalah yang sifatnya emergency, tidak bisa langsung tertangani. Misalnya BPJS, ada penyandang disabilitas yang sakit dan tidak punya uang. Ketika ke pemerintahan dibilangnya belum ada kuota bantuan. Itu sering terjadi di masyarakat.

Teman-teman disabilitas yang butuh tempat untuk bekerja, pendidikan belum bisa mereka dapatkan. Ini yang mendorong saya untuk nyaleg. Karena kalau berada di dalam sistem, kita bisa memperjuangkan masyarakat termarjinalkan tersebut.

Saya mencoba berjuang dalam sistem. Anggota dewan harus dilengkapi dengan mereka yang disabilitas. Kalau tidak ada keterwakilan, akan begini-begini saja penyandang disabilitas dan perempuan. Saya yakin anggota dewan yang sekarang, tidak semuanya paham tentang disabilitas.

Bagaimana pemenuhan hak disabilitas di NTB?

Banyak hak-hak disabilitas yang belum terpenuhi. Contoh PKH, penghidupan yang layak. Tidak merata PKH itu. Bahkan yang baru menikah, masih produktif banyak yang dapat. Sedangkan lansia dan disabilitas masih banyak juga yang belum dapat.

Padahal PKH itu ada empat indikator. Dua lainnya untuk lansia dan penyandang disabilitas. Tapi banyak lansia dan penyandang disabilitas yang gak dapat. Kemudian hak dalam pendidikan, semua sekolah harus inklusi.

Akan tetapi yang terjadi, tidak semua sekolah bisa menerima disabilitas. Jadi sekolah yang ditunjuk menjadi pilot project yang menerima siswa disabilitas. Itu pun fasilitasnya juga belum sempurna untuk melayani disabilitas.

Pemerintah sudah membuat program sekolah inklusi, bagaimana menurut Fitri?

Sekolah inklusi itu bukan hanya infrastrukturnya. Infrastruktur kadang tak sesuai kebutuhan penyandang disabilitas. Mereka menerima siswa penyandang disabilitas tapi belum siap.

Jadi teman-teman disabilitas harus bekerja keras berinteraksi dengan temannya, memahami dosennya yang sedang mengajar. Kalau tak dikondisikan kelasnya, mereka terdiskriminasi. Sehingga tak bisa menyerap ilmu secara maksimal. Apalagi bagi mereka penyandang disabilitas intelektual. Belum semua terakomodir.

Baca Juga: Kaesang Pangarep Respons Santai soal Spanduk "Solo Bukan Gibran" 

Apa tanggapan Fitri soal politik uang yang marak terjadi setiap Pileg?

[WANSUS] Perjuangan Perempuan Disabilitas di NTB Merebut Kursi DewanIlustrasi uang rupiah (pexels.com/@ahsanjaya)

Saya sampaikan ke masyarakat jangan pernah tergiur dengan money politics (politik uang). Sekarang kita dapat Rp100 ribu. Dalam waktu 5 tahun dapat berapa? Harga kita hanya ratusan rupiah. Kok lebih mahal dengan harga tahu yang kita beli. Masa sebagai manusia kita mau dihargakan seperti itu.

Yang seperti ini tidak dipahami masyarakat. Ada juga masyarakat berpikiran daripada tidak menerima uang, lebih baik saya ambil. Makanya kita pendekatan pelan-pelan. Saya yakin 2024, saya bisa lolos menjadi dewan

Bagaimana cara menarik pemilih?

Kalau saya mengedukasi masyarakat. Bagaimana pemilu itu bisa mengubah kehidupan masyarakat. Karena pemilu itu bukan hanya nyoblos tiga menit terus selesai. Padahal itu dampaknya 5 tahun.

Seberapa penting pemilu itu. Kemudian apa peran kita bagi masyarakat. Apa fungsi dewan itu, pemerintah posisinya dimana. Sehingga masyarakat jangan hanya menjadi objek penderita dalam pemilu.

Selama saya sosialisasi, ketika mereka tahu semangat untuk melakukan perubahan yang sama. Tapi banyak juga tantangan saya alami.

Mengapa belum banyak perempuan yang terpilih meski sudah ada kuota 30 persen?

Yang menarik bagi saya, perempuan ini sakti. Karena ketika partainya mendaftarkan calon legislatif jika tak memenuhi kuota 30 persen perempuan maka parpol akan gugur.

Tetapi kenapa itu tak didorong menjadi 30 persen perempuan yang duduk di parlemen. Provinsi saja hanya satu anggota dewan perempuan, Lombok Barat cuma 4 orang.
Disabilitas selama ini stigmaya negatif, makhluk lemah yang perlu dibantu. Kenapa tidak diubah, disabilitas itu setara dengan warga negara yang lainnya ketika diberikan ruang dan peluang yang sama.

Menurut saya, walaupun sudah banyak bergerak emansipasi perempuan dan kesetaraan gender, tapi dalam politik masih ada stigma. Apalagi masyarakat masih mempertanyakan kenapa kita dipimpin perempuan.

Itu yang membuat tidak banyak perempuan menjadi anggota dewan. Bahkan perempuan merasa dirinya lemah, ketika menjadi caleg menganggap dirinya lemah. Perempuan perlu edukasi terkait politik. Ketika nyaleg dan jadi bisa berbuat yang lebih luas. Pemahaman perempuan tentang politik masih minim. Kemudian pesimis akan jadi atau terpilih duduk bersama laki-laki di parlemen.

Baca Juga: Konsolidasi PSI di NTB Tertutup, Kader Dilarang Rekam Pidato Kaesang

Topik:

  • Linggauni

Berita Terkini Lainnya