[WANSUS] Di Balik Pacuan Kuda Joki Cilik: Eksploitasi dan Hedonisme! 

Koalisi Stop Joki Anak dan Peneliti di NTB

Mataram, IDN Times - Perlombaan pacuan kuda menggunakan joki cilik atau anak di bawah umur masih lazim terjadi di Nusa Tenggara Barat (NTB). Koalisi Stop Joki Anak pun sudah melaporkan tuduhan eksploitasi anak sekaligus perjudian ini ke Kepolisian Daerah NTB (Polda NTB). 

Terutama dalam penyelenggaraan lomba pacuan kuda di Desa Penyaring Kecamatan Moyo Utara Kabupaten Sumbawa pada 15 - 22 Juni 2022 lalu. Kasusnya sempat masuk proses penyelidikan di Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda NTB hingga dihentikan pada 30 November 2022.

Polisi berdalih, event pacuan kuda Penyaring Sumbawa merupakan tradisi lisan masyarakat lokal Sumbawa dan pihak joki anak pun tidak merasa dirugikan. Selain itu, Ketua Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) NTB selaku pihak terlapor tidak melakukan interaksi dengan para joki dan tidak memperoleh keuntungan dari penyelenggaraannya.  

Hal ini tidak menyurutkan perjuangan Koalisi Stop Joki Anak yang akan melapor ke Mabes Polri tentang praktik joki anak yang dianggap sarat dengan hedonisme di masyarakat. 

Berikut ini wawancara wartawan IDN Times Muhammad Nasir dengan Koordinator Koalisi Stop Joki Anak Yan Mangandar Putra dan Peneliti Joki Cilik dari PKBH UIN Mataram Aisyah Wardatun, Kamis (29/12/2022). 

1. Sejak kapan koalisi mengawal dugaan eksploitasi anak pada lomba pacuan kuda?

[WANSUS] Di Balik Pacuan Kuda Joki Cilik: Eksploitasi dan Hedonisme! Yan Mangandar Putra dan Aisyah Wardatun. (IDN Times/Muhammad Nasir)

Gerakan Stop Joki Anak ini sudah mulai bergerak sejak 2019. Pada waktu itu, ada seorang anak yang meninggal di arena pacuan kuda di Kota Bima. Gerakan saat itu cukup besar, kami melaporkan panitianya (acara) Dandim Bima. Karena gak ada tanggung jawab sama sekali terhadap korban.

Kami laporkan ke Polisi Militer. Tapi beliau memohon agar laporan tak dilanjutkan dan siap membuat pernyataan. TNI di Bima tidak akan terlibat dalam pacuan kuda anak sebagai joki. Kami menerima tawaran itu dan selesai sampai di situ.

2. Apa yang dilakukan pemerintah daerah pascainsiden meninggalnya joki cilik di Bima?

[WANSUS] Di Balik Pacuan Kuda Joki Cilik: Eksploitasi dan Hedonisme! Pacuan Kuda. (Dok. Pordasi).

Sempat meminta kami memfasilitasi pertemuan untuk membahas rancangan peraturan gubernur (Pergub) terkait keberadaan joki anak di pacuan kuda. Walaupun judul rancangan pergub terkait pekerja anak, Tapi di situ diatur salah satu poinnya tidak diperbolehkannya anak menjadi joki pada lomba pacuan kuda.

Pertemuan itu difasilitasi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) di Hotel Aston In. Tetapi setelah pertemuan itu, tidak ada lagi pertemuan. Dan penyelenggaraan lomba pacuan kuda hampir berhenti yang menggunakan nama pemerintah sejak 2019.

Kemudian pada Maret 2022, ada lagi joki anak yang meninggal. Memang dia tidak meninggal dalam lomba pacuan kuda, tetapi meninggal saat latihan. Tetapi latihannya kayak lomba pacuan kuda.

Dari dua kejadian joki anak yang meninggal, bukan diumumkan oleh pemerintah daerah atau panitia penyelenggara. Tetapi rata-rata kami dapatkan informasi dari tetangga tempat anak ini meninggal.

Akhirnya, gerakan stop joki anak memuncak lagi pada 2022, hingga dilakukan pertemuan Pemprov NTB. Kami juga kumpulkan data terkait pacuan kuda di Penyaring Kabupaten Sumbawa yang merupakan side event MXGP di Sumbawa.

Tampak jelas eksploitasi anak di sana. Kami masuk, itu tidak terlihat seperti perlombaan profesional. Kami tidak menemukan umbul-umbul, panitia berseragam, bahkan spanduk siapa penyelenggara kegiatan, tidak ada. Justru yang kami temukan riak-riak kesenangan para penjudi.

Di sana orang lomba kecepatan kuda dan jokinya adalah anak-anak.

3. Bagaimana bentuk eksploitasi anak dalam lomba pacuan kuda?

[WANSUS] Di Balik Pacuan Kuda Joki Cilik: Eksploitasi dan Hedonisme! Penyidik saat memeriksa Yan Mangandar Putra. (dok. Yan Mangandar Putra)

Bentuk eksploitasinya, anak-anak seharusnya tak boleh ditempatkan di dalam arena lomba pacuan kuda karena nyawa anak taruhannya. Anak-anak yang menjadi joki pacuan kuda, dia mendapatkan upah Rp150 ribu sampai Rp300 ribu bahkan Rp500 ribu sekali main untuk satu kuda.

Satu anak dalam sehari, setidaknya dia bisa kumpulkan sampai Rp2 juta. Karena dia bisa mengendarai belasan kuda.

Temuan kita juga, antara pemilik kuda dengan joki anak sering kali tidak saling kenal. Karena joki anak ini rata-rata disuruh orang tuanya. Anak-anak ini diberikan tanggung jawab mencari nafkah padahal mereka ini masih tanggung jawab orangtua.

Rata-rata joki itu dari Bima dan Dompu berumur di kisaran 6 - 10 tahun. Kalau joki kuda di Lombok rata-rata umur belasan tahun. Jadi tidak begitu kami cemaskan kalau di Lombok kalaupun itu masih masuk eksploitasi anak.

4. Siapa sebenarnya pemilik kuda pacuan?

[WANSUS] Di Balik Pacuan Kuda Joki Cilik: Eksploitasi dan Hedonisme! Pelapor dari Koalisi #StopJokiAnak Yan Mangandar Putra saat diperiksa penyidik Unit PPA Ditreskrimum Polda NTB, Selasa (16/8/2022). (dok. Yan Mangandar Putra)

Joki anak di Bima dan Dompu diantar orangtua ke tempat pacuan kuda. Kemudian dia nanti akan berada di sekitar kandang kuda. Di sanalah mereka berderet, tinggal dipanggil siapa yang menunggangi kuda. Jadi antara pemilik kuda dan joki anak tidak saling kenal.

Bahkan bukan pemilik kuda yang menentukan siapa jokinya. Tapi yang menentukan adalah penjaga kuda atau anak buah pemilik kuda. Jadi benar-benar dibuat terkesan pemilik kuda tak akan bertanggungjawab kalau terjadi kecelakaan.

Hampir sebagian besar pejabat pemilik kuda ini. Karena memang untuk memelihara kuda pacuan itu tidak murah. Biaya pemeliharaan satu kuda saja paling murah yang kami temukan sebesar Rp3,5 juta per bulan. Ada kebanggaan pejabat apabila kudanya menang, harga kudanya juga naik.

5. Sudah dilaporkan ke Polda NTB tetapi penyelidikan dihentikan. Tanggapannya?

[WANSUS] Di Balik Pacuan Kuda Joki Cilik: Eksploitasi dan Hedonisme! Yan Mangandar Putra saat diperiksa penyidik Unit PPA Ditreskrimum Polda NTB. (dok. Yan Mangandar Putra)

Ini sangat mengecewakan sekali karena proses penyelidikan tak dapat dilanjutkan. Tapi yang tak bisa mereka mungkiri, eksploitasi anak ada. Karena joki anak ini terima bayaran dan di sana ada perjudian. Itu yang tak bisa dipungkiri. 

Alasan penghentian penyelidikan itu berdasarkan keterangan ahli bahwa ini tradisi. Tetapi ketika kami menanyakan lebih lanjut apa dasar tradisi pacuan kuda, ada tidak sejarah bahwa pacuan kuda menggunakan joki anak adalah tradisi.

Kami mempertimbangkan untuk kasus ini kami laporkan ke Mabes Polri. Dengan harapan ini tetap dilanjutkan proses penyidikannya. Bahkan ini kami akan bawa menjadi isu internasional. Karena sudah jelas ini melanggar HAM. Kementerian PPPA, KPAI, dan Kemenkumham NTB mengatakan ini adalah pelanggaran.

Harapan kami pemilik kuda buka mata. Tempatkan anak-anak ini mendapatkan sekolah yang baik, dan tidak pada lomba yang berbahaya. Perlakukanlah anak ini seperti anak kita yang berhak mendapatkan pendidikan. Di NTB, ada Perda Perlindungan Anak dan Pergub (NTB). Tapi sayangnya itu tidak jalan. Anak hanya dieksploitasi saja untuk memuaskan hasrat pemilik kuda.

Baca Juga: Kabupaten Dompu, Sumbawa dan Sumbawa Barat Berstatus KLB Rabies

6. Bagaimana pendidikan anak yang jadi joki pacuan kuda?

[WANSUS] Di Balik Pacuan Kuda Joki Cilik: Eksploitasi dan Hedonisme! Pemilik lahan pacuan kuda foto bersama kuda pacuan. IDN Times/Muizzu Khaidir

Sering kali lomba pacuan kuda ini tidak memperhatikan musim anak sekolah atau tidak. Kalau terus kita biarkan, nonstop kegiatannya. Seperti hari ini, baru-baru dilaksanakan di Dompu, setelah itu Lombok Tengah dan dilanjutkan ke Penyaring Sumbawa.

Karena lomba pacuan kuda itu tak perlu persiapan banyak. Satu hal ada regulasi dalam pacuan kuda tradisional ini. Ternyata, aturannya kalau anak terjatuh, dia diskualifikasi kalau dibantu. Kalau jatuh dan naik lagi, bisa melanjutkan pacuan kuda.

Ini tidak manusiawi sekali. Makanya kita tidak heran anak meninggal karena tidak segera mendapatkan bantuan medis. Kalau ada anak yang terjatuh, tidak ada petugas medis yang bantu.

7. Apakah pacuan kuda joki cilik ini berkedok budaya?

[WANSUS] Di Balik Pacuan Kuda Joki Cilik: Eksploitasi dan Hedonisme! Koordinator Koalisi Stop Joki Anak, Yan Mangandar Putra. (IDN Times/Muhammad Nasir)

Iya, berkedok budaya dan anak dijadikan korban. Sekali lagi saya tegaskan kalau ini dibilang tradisi, ini bukan tradisi. Kalau dibilang mencari bibit berprestasi, tidak ada itu.

Tidak ada joki anak kemudian dilatih seperti cabang olahraga yang lain, ada masa depannya.

Tapi kalau joki anak, ujung-ujungnya dia akan menjadi penjaga kuda. Tidak ada kalau juara pacuan kuda di Dompu atau Bima, dia akan dilatih ke tingkat provinsi. Tidak ada sejarahnya Pordasi NTB mengutus atlet pacuan kuda ke tingkat nasional. Tidak ada pembinaan terhadap joki pacuan kuda.

8. Apakah ada itikad baik pemerintah membuat regulasi terkait joki cilik?

[WANSUS] Di Balik Pacuan Kuda Joki Cilik: Eksploitasi dan Hedonisme! ilustrasi dokumen-dokumen kertas (pexels.com/pixabay)

Sampai hari ini belum ada itikad baik pemerintah daerah. Pemerintah daerah hanya meredam sesaat. Sudah beberapa kali pertemuan dilaksanakan tapi tak pernah ada ketuntasan. Sekadar pertemuan, setelah itu tak ada kejelasan.

Kita berharap jangan lagi jadikan anak sebagai joki dalam lomba pacuan kuda karena sangat berbahaya. Mereka punya hak yang sama untuk tumbuh dan berkembang dengan baik seperti anak-anak pemilik kuda.

Temuan kita, setiap perlombaan, anak-anak ini tidur dekat kandang kuda, sementara pemilik kuda tidur di kasur yang empuk. Tidak ada yang layak di arena pacuan kuda, tidak ada WC umum. Makanya tidak heran kita menemukan joki anak yang koreng, kakinya luka-luka.

Saat perlombaan, kudanya diperiksa medis tapi joki anak cuma ditanya apakah sehat atau tidak.

9. Bagaimana hasil penelitiannya terkait joki cilik di NTB?

[WANSUS] Di Balik Pacuan Kuda Joki Cilik: Eksploitasi dan Hedonisme! Peneliti Joki Cilik dari PKBH UIN Mataram, Aisyah Wardatun. (IDN Times/Muhammad Nasir)

Kami melihat kalau berdasarkan teori dan regulasi, unsur eksploitasi anak terpenuhi. Misalnya dalam konteks kebutuhan materi orangtua, anak-anak yang berlaga di pacuan kuda bukan semata-mata karena hobi atau kebiasaan.

Tetapi ada purpose yang sifatnya materi. Sekitar 85 persen dari joki cilik ini, purpose menjadi joki sebenarnya untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Komunitas masyarakat yang terlibat dalam joki anak ini, mereka sebenarnya masyarakat terpinggirkan.

Mereka di luar masyarakat yang berpendidikan, religius dan bukan berasal dari darah biru. Sehingga mereka membentuk identitas sendiri. Sebenarnya mereka orang terpinggirkan, mereka ingin mendapatkan pengakuan.

Ketika mereka sudah mulai mengembangkan ini, menyatukan diri dengan praktik joki cilik ini, kemudian dimanfaatkan oleh situasi tertentu. Situasi tertentu ini adalah kepentingan orang-orang yang ada di atas sebagai bentuk pemenuhan hedonismenya orang-orang berduit. Ini adalah hipotesis sementara.

Kalaupun mereka eksis, sebenarnya merupakan dampak dari ketidakmampuan negara untuk membina dan memenuhi kebutuhan mereka. Sudah dipastikan joki cilik ini berasal dari keluarga tidak mampu.

10. Apa saja temuannya di lapangan saat melakukan penelitian?

[WANSUS] Di Balik Pacuan Kuda Joki Cilik: Eksploitasi dan Hedonisme! Peneliti Joki Cilik dari PKBH UIN Mataram, Aisyah Wardatun. (dok. Istimewa)

Saya sendiri melihat waktu turun meneliti, salah satunya joki cilik itu dari (Kecamatan) Sape usianya sekitar 7 tahun. Dia tinggal di rumah pekatik, atau orang yang memelihara kuda. Dia gak punya hubungan darah dengan pekatik, tetapi ada unsur kenalan. Dia datang ke sana pada saat event-event latihan dan pacuan kuda.

Setelah event selesai, dia pulang lagi ke Sape, menumpang angkutan sana- sini. Hasilnya dibawa pulang untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Ibunya lumpuh, bapaknya sudah tidak ada dan punya adik usia 3 tahun.

Intinya, kalau tidak menjadi joki cilik, dia mau melakukan apa? Kadang orang bilang eksploitasi anak bukan saja di joki cilik. Banyak kok kayak orang Sumbawa bawa anaknya panen bawang di lokasi tertentu sehingga anaknya tak sekolah berbulan-bulan.

Tapi kalau kita lihat risikonya, joki cilik benar-benar sangat besar. Kalau dalam bahasa akademisi, itu adalah hazard, artinya dampaknya sudah sangat besar pada cedera yang berat dan kematian.

Mereka dibilang putus sekolah tidak (juga), tapi jarang masuk sekolah. Mereka jadi introvert, nilai akademis terbelakang. Mereka tak bergaul seperti anak lainnya. Cara berpikirnya juga berbeda. Lagu Indonesia Raya saja tak hafal.

Saya bariskan 8 orang, kemudian suruh nyanyi Indonesia Raya, tapi gak ada yang hafal.

Baca Juga: Polda NTB Hentikan Penyelidikan Kasus Dugaan Eksploitasi Joki Cilik 

Topik:

  • Sri Wibisono
  • Linggauni

Berita Terkini Lainnya