Walhi NTB Serukan Ormas Keagamaan Tolak Kelola Tambang

Ormas Keagamaan harus menjaga dan merawat alam

Mataram, IDN Times - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nusa Tenggara Barat (NTB) menegaskan menolak pemberian izin pengelolaan tambang oleh organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan.

Direktur Walhi NTB Amry Nuryadin mengatakan sebagai organisasi yang fokus menjaga dan menyebarluaskan ajaran agama yang membawa keselamatan bagi semesta, yang perlu dilakukan ormas keagamaan adalah menawarkan solusi terhadap persolan yang dihadapi umat.

"Walhi NTB menyerukan kepada seluruh Ormas Keagamaan untuk bersama-sama menolak izin kelola tambang," kata Amry di Mataram, Selasa (11/6/2024).

Penolakan ini didasarkan pada keyakinan bahwa aktivitas pertambangan tidak hanya merusak lingkungan tetapi juga bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan yang mengajarkan untuk menjaga dan melindungi alam.

Walhi NTB berkomitmen untuk terus mengadvokasi isu ini melalui berbagai aksi damai, diskusi, dan pertemuan dengan jaringan Ormas Keagamaan di NTB.

Dengan demikian, kata Amry, langkah Walhi NTB ini merupakan upaya nyata untuk menjaga kelestarian lingkungan. Serta memastikan bahwa kegiatan ekonomi yang dilakukan tidak merusak ekosistem dan kehidupan masyarakat.

"Mari kita dukung bersama gerakan ini demi masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan," ajak Amry.

1. Pertambangan dan pembangunan infrastruktur merusak lingkungan di NTB

Walhi NTB Serukan Ormas Keagamaan Tolak Kelola TambangPinterest

Amry menyebutkan Provinsi NTB terdiri dari 403 pulau-pulau kecil baik yang berpenghuni ataupun tidak berpenghuni dengan luas kawasan hutan mencapai 1.071.722 juta hektare.  Kawasan berhutan, baik hutan daratan maupun mangrove adalah benteng yang menjaga kelangsungan ekologis pulau pulau kecil.

Benteng inilah yang terus mengalami kerusakan, baik oleh pertambangan maupun pembangunan infrastruktur untuk mendukung pariwisata. Walhi NTB mencatat laju kerusakan hutan telah mencapai 60% dari luas kawasan hutan yang ada atau sekitar 650,000 hektare dari 1,1 juta hektare kawasan hutan di NTB.

Ia menyebutkan jumlah Izin Usaha Pertambangan (IUP) di NTB sebanyak 355 dengan total luasan sebesar 136.642 hektare. Belum lagi maraknya pertambangan illegal di Pulau Lombok dan Sumbawa.

Adapun sektor pariwisata di kawasan pesisir salah satunya di KEK Mandalika seluas 1.250 hektare, rencana pembangunan Global Hub Bandar Kayangan di Kabupaten Lombok Utara seluas 7.030 hektare juga akan mengancam terjadinya kerusakan ekologi pesisir Lombok Utara dan rencana pembangunan kereta gantung di kawasan hutan Rinjani seluas 500 hektare.

Hasil investigasi Walhi NTB menemukan beberapa pembangunan yang berdampak penting bagi lingkungan hidup sehingga terjadinya kerusakan ekologi dan kehancuran ekosistem.

Antara lain pertambangan PT AMNT yang berada di kawasan hutan (IPPKH) seluas 7000 hektare, pertambangan PT STM memegang izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) di Hu’u dompu dengan luas 19.260 hektare yang merupakan wilayah Kawasan hutan di Hu’u Dompu dan pertambangan PT AMG di pesisir Dedalpak Lombok Timur seluas 1.348 hektare.

Menurutnya, operasi tambang dan alih fungsi lahan dalam skala besar adalah ancaman nyata kelangsungan lingkungan dan sumber-sumber kehidupan masyarakat yang mediami pulau-pulau kecil di NTB.

"Seharusnya ormas keagamaan mentikberatkan perhatiannya pada anacaman hidup umat, bukan menjadi bagian dari praktik pengelolaan sumber daya alam yang merusak dan mengancam kehidupan, seperti tambang," ujar Amry.

Baca Juga: 4 Tahun Dibina Pertamina, TCC Nipah Raih Penghargaan Kalpataru 2024

2. Pertambangan bukan tugas utama Ormas Keagamaan

Walhi NTB Serukan Ormas Keagamaan Tolak Kelola Tambangilustrasi area tambang (pexels.com/Vlad Chețan)

Amry menegaskan Ormas Keagamaan seharusnya memfokuskan peran mereka menjaga hubungan dan harmoni dalam masyarakat serta melindungi harta bersama seperti hutan, kawasan esensial, dan sumber daya laut.

Pertambangan, dengan segala dampak negatifnya terhadap lingkungan dan ekosistem, jelas tidak sejalan dengan tugas dan tanggung jawab yang diamanahkan semua agama sebagai pembawa pesan kebaikan untuk umat manusia.

Pandangan ini berdasarkan pada kenyataan bahwa pertambangan telah menyebabkan kerusakan yang signifikan pada lingkungan dan ekosistem. Misalnya, aktivitas pertambangan dapat mengakibatkan deforestasi, polusi air, dan hilangnya keanekaragaman hayati.

Kerusakan seperti ini bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut oleh Ormas Keagamaan, yang menekankan pentingnya menjaga dan merawat ciptaan Tuhan, termasuk alam dan lingkungan.

Oleh karena itu, memberikan izin pengelolaan tambang kepada Ormas Keagamaan dianggap tidak tepat. Tindakan ini keluar dari konteks peran sebenarnya yang seharusnya diemban oleh Ormas Keagamaan dalam masyarakat.

Sebaliknya, Amry menekankan perlunya mempertahankan fokus Ormas Keagamaan pada pelestarian lingkungan dan keberlanjutan sumber daya alam, sesuai dengan nilai-nilai agama yang mereka anut.

"Walhi NTB juga menggarisbawahi bahwa memberikan tanggung jawab pengelolaan tambang kepada Ormas Keagamaan bisa mengarah pada konflik kepentingan dan mengaburkan garis tanggung jawab mereka yang sebenarnya," terangnya.

3. Meningkatkan risiko tenggelamnya pulau-pulau kecil

Walhi NTB Serukan Ormas Keagamaan Tolak Kelola TambangGili Trawangan Lombok Utara. (IDN Times/Muhammad Nasir)

Amry menambahkan pertambangan di NTB juga memainkan peran penting dalam menyumbang emisi karbon yang memperburuk masalah perubahan iklim. NTB, yang terdiri dari sejumlah pulau kecil, memiliki risiko yang tinggi terhadap dampak perubahan iklim, terutama kenaikan permukaan air laut yang dapat mengancam eksistensi pulau-pulau tersebut.

"Dengan 403 pulau kecil, masyarakat NTB rentan terhadap potensi tenggelamnya pulau-pulau akibat kenaikan permukaan air laut, yang dapat mengakibatkan kehilangan tempat tinggal dan sumber daya penting," jelasnya.

Amry mengatakan aktivitas pertambangan yang tidak terkontrol di NTB menjadi salah satu faktor utama yang memperparah situasi ini. Emisi karbon yang dihasilkan dari pertambangan bukan hanya mempercepat pemanasan global, tetapi juga meningkatkan risiko tenggelamnya pulau-pulau kecil.

Hal ini menjadi ancaman serius bagi kelangsungan hidup masyarakat lokal, yang bergantung pada pulau-pulau tersebut untuk tempat tinggal dan sumber daya alam.

Oleh karena itu, penolakan oleh Walhi NTB terhadap pemberian izin pengelolaan tambang oleh Ormas Keagamaan juga mencerminkan kekhawatiran akan dampak lingkungan yang lebih luas, termasuk kontribusi pertambangan terhadap krisis iklim.

Walhi NTB menekankan pentingnya menjaga lingkungan dan mengurangi emisi karbon sebagai prioritas utama. Hal ini penting terutama di wilayah seperti NTB, yang rentan terhadap dampak perubahan iklim dan harus menghadapi tantangan besar untuk melindungi pulau-pulau kecil dan sumber daya alam mereka.

Upaya bersama dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, dan organisasi lingkungan diperlukan untuk mengatasi tantangan ini.

Langkah-langkah untuk mengurangi emisi karbon, membatasi aktivitas pertambangan yang merusak lingkungan, dan melindungi pulau-pulau kecil di NTB harus diambil secara serius untuk menjaga keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat lokal.

"Walhi NTB berharap, ormas keagamaan mengambil peran penting dalam memastikan adanya kebijakan yang mendukung pengurangan emisi karbon," katanya.

4. Bertentangan dengan nilai keagamaan

Walhi NTB Serukan Ormas Keagamaan Tolak Kelola Tambangilustrasi tambang marmer (pixabay.com/ELG21)

Amry menekankan bahwa pertambangan bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan yang dianut oleh Ormas Keagamaan. Ormas Keagamaan memiliki peran penting dalam menjaga bumi dan lingkungan hidup.

Ajaran agama, khususnya dalam Islam, menekankan pentingnya menjaga alam dari kerusakan yang diakibatkan oleh tangan manusia.
Ia menyebut ada enam prinsip utama yang harus dijaga oleh Ormas Keagamaan dalam konteks pelestarian lingkungan.

Pertama, menjaga kehidupan. Setiap bentuk kehidupan harus dilindungi dari ancaman kerusakan dan kepunahan akibat aktivitas manusia yang tidak bertanggung jawab.

Kedua, menjaga harta (hifzul mal). Harta bersama seperti hutan dan sumber air merupakan aset penting yang harus dilindungi. Eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya ini dapat mengakibatkan kerusakan permanen yang merugikan semua pihak.

Ketiga, menjaga kerukunan atau keadilan antar generasi. Sumber daya alam harus dikelola dengan bijak agar tetap tersedia bagi generasi mendatang. Pertambangan yang merusak lingkungan tidak hanya membahayakan generasi saat ini, tetapi juga mengancam keberlangsungan hidup generasi mendatang.

Keempat, menjaga akal dari ekstraktivisme. Aktivitas ekstraktif seperti pertambangan sering kali mendorong masyarakat untuk mengejar keuntungan jangka pendek tanpa memikirkan dampak jangka panjang terhadap lingkungan dan kesehatan mental.

Kelima, menjaga ajaran agama. Ajaran agama menitikberatkan pada kelestarian sumber hidup dan penghidupan umat. Merusak lingkungan sama saja dengan mengkhianati ajaran agama yang mengajarkan pentingnya menjaga alam sebagai anugerah dari Tuhan.

Keenam, menjaga lingkungan hidup. Pelestarian lingkungan hidup adalah tanggung jawab bersama yang harus dijunjung tinggi. Setiap tindakan yang merusak lingkungan bertentangan dengan prinsip dasar menjaga kelestarian bumi.

Dikatakan, pertambangan yang scara nyata telah merusak lingkungan, jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip tersebut. Oleh karena itu, Walhi NTB mengajak semua Ormas Keagamaan untuk menolak izin pengelolaan tambang sebagai bentuk komitmen mereka terhadap ajaran agama yang mengutamakan pelestarian lingkungan.

"Dengan bersatu dalam menolak izin tambang, Ormas Keagamaan dapat menunjukkan peran aktif mereka dalam menjaga bumi dan memastikan keberlanjutan hidup bagi semua makhluk," ujar Amry.

Baca Juga: Presiden Jokowi Beli Sapi Kurban Seberat 1,057 Ton di NTB

Topik:

  • Zumrotul Abidin

Berita Terkini Lainnya