Menambah Beban Pekerja, Gen Z di NTB Tolak Potong Gaji untuk Tapera

Pekerja tuntut ada tunjangan perumahan

Mataram, IDN Times - Generasi Z (Gen Z) di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) menolak rencana program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) dengan pemotongan gaji sebesar 3 persen setiap bulan.

Para Gen Z di NTB menilai program Tapera akan menambah beban pekerja, meskipun gaji sudah sesuai Upah Minimum Regional (UMR).
Salah satu karyawan swasta di Kota Mataram, Ratna (25), mengatakan setiap orang memiliki prioritas yang berbeda-beda terkait perumahan.

"Karena saya masih umur 25 tahun, menurut saya rumah itu memang perlu. Cuma saat ini belum penting karena saya masih bisa mengontrak rumah," kata Ratna saat berbincang dengan IDN Times, Sabtu (8/6/2024).

1. Gaji tak cukup memenuhi kebutuhan jika dipotong untuk Tapera

Menambah Beban Pekerja, Gen Z di NTB Tolak Potong Gaji untuk TaperaBuruh demo Tapera di Bundaran Patung Kuda, Jakarta Pusat. (IDN Times/Amir Faisol)

Ratna mengatakan gaji pekerja sesuai UMR di Kota Mataram sebesar Rp2,4 juta. Namun, jika dipotong sebesar 3 persen untuk Tapera, maka gaji tak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari selama sebulan.

Sehingga dia tak setuju pemotongan gaji untuk program Tapera. Kecuali, kata Ratna, ada tunjangan perumahan yang diterima pekerja dari perusahaan seperti aparatur sipil negara (ASN).

"Perlu ada tunjangan perumahan untuk pegawai swasta. Masa gaji dipotong lagi 3 persen, dong berapa sisa gaji kita untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari," protesnya.

Menurut Ratna, apabila gaji dipotong sebesar 3 persen untuk program Tapera, itu terlalu berat. Daripada memotong gaji pekerja untuk program Tapera, Ratna meminta pemerintah memperbanyak dan mempermudah akses masyarakat mendapatkan rumah subsidi.

Sehingga anak muda juga bisa memiliki rumah. Selain itu, Ratna mengatakan tidak semua orang membutuhkan rumah melalui Tapera, karena ada juga yang sudah mempunyai rumah. Jika program Tapera benar-benar direalisasikan pemerintah, Ratna khawatir, para pekerja tambah stres.

Karena uang yang biasanya disiapkan untuk healing setiap bulan akan tersedot untuk Tapera."Padahal healing bisa bikin kerja makin semangat. Kalau tidak healing maka pekerja akan stres, produktivitas kita juga akn berkurang," kata gadis asal Lombok Timur ini.

Baca Juga: Kekurangan 4.167 Dokter, NTB Dukung PTS Buka Fakultas Kedokteran 

2. Pekerja sudah terbebani iuran BPJS

Menambah Beban Pekerja, Gen Z di NTB Tolak Potong Gaji untuk TaperaSuasana pelayanan di kantor BPJS Kesehatan Tulungagung. IDN Times/ Bramanta Pamungkas

Hal senada dikatakan Humaera (22), karyawan swasta di Kota Mataram. Humaera mengatakan meskipun gaji sudah sesuai UMR, tetapi dinilai masih kurang karena biaya hidup yang mahal di Kota Mataram.

Menurutnya, beban pekerja semakin bertambah dengan adanya program Tapera. Saat ini, pekerja harus membayar iuran BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan setiap bulan, yang dipotong dari gaji.

"Menurut saya sebagai seorang cewek, rumah itu bukan prioritas buat aku sendiri. Gak setuju banget program Tapera ini kecuali ada tunjangan perumahan kita dapat," kata Humaera.

Selain Gen Z, program Tapera juga ditolak milenial. Buniamin (30), seorang pekerja swasta di Kota Mataram lebih memilih membangun rumah sendiri ketimbang gaji dipotong untuk Tapera. Buniamin mengatakan program Tapera menambah beban pekerja.

"Karena saya punya tanah, ngapain beli rumah lewat program Tapera. Masa' gaji dipotong setiap bulan. Saya gak suka gaji dipotong-potong lagi. Karena gaji sudah dipotong untuk BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan," kata gadis asal Sembung, Lombok Barat ini.

Menurutnya, biaya hidup saat ini semakin mahal sementara gaji masih pas-pasan meskipun sesuai UMR. Apalagi, pekerja juga punya cicilan selain BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.

"Kalau sudah punya rumah, kapan uang kita balik yang sudah dipotong. Karena banyak ASN yang belum dikasih Taperanya. Menurut saya, kasih kebebasan kepada masyarakat. Mau punya rumah, mau ngontrak, terserah mereka," ujar Buniamin.

3. Ekonomi tak akan bergairah

Menambah Beban Pekerja, Gen Z di NTB Tolak Potong Gaji untuk TaperaPengamat Ekonomi Universitas Mataram Dr. Firmansyah. (dok. Istimewa)

Pengamat Ekonomi Universitas Mataram Dr. Firmansyah mengatakan pemotongan gaji pekerja sebesar 3 persen untuk program Tapera akan berdampak terhadap tidak bergairahnya ekonomi. Menurutnya, program Tapera akan membuat konsumsi rumah tangga akan menurun.

Dikatakan, pekerja adalah kelompok kelas menengah yang selama ini berperan penting dalam menggerakkan perekonomian. Jika program Tapera direalisasikan, maka pekerja akan mengurangi konsumsi. Karena dana yang biasanya dialokasikan untuk belanja di UMKM otomatis akan dialihkan untuk program Tapera.

"Saya khawatir belanja sehari-harinya akan terbatas atau berkurang. Sementara kita ingin menggairahkan perekonomian lewat konsumsi masyarakat. Ini akan berdampak pada perekonomian. Apalagi daerah industri yang memang ekonominya ditopang oleh belanja rumah tangga. Karena belanja berkurang dengan pemotongan Tapera," terang Firmansyah.

Gaji yang seharusnya teralokasi untuk belanja di UMKM, tempat makan, rekreasi dan lainnya tidak akan tersalur lagi. Sehingga uang yang beredar juga berkurang akibat pemotongan gaji untuk Tapera.

"Pekerja ini masuk kategori kalangan menengah. Kalangan menengah inilah yang banyak berbelanja di luar. Mereka menggerakkan ekonomi. Sehingga, kalau Tapera ini berjalan maka yang merasakan juga UMKM," tandasnya.

Berdasarkan data Dinas Perumahan dan Permukiman (Disperkim) Provinsi NTB, sebanyak 203 ribu rumah tangga atau kepala keluarga (KK) belum punya rumah atau backlog. Rumah tangga yang belum punya rumah tersebar pada 10 kabupaten/kota di NTB.

Kepala Disperkim NTB Sadimin menjelaskan pemerintah pusat menargetkan tidak ada backlog dan rumah tidak layak huni pada 2045. Sehingga ada program yang sekarang menuai kontroversi di masyarakat yaitu Tapera.

"Program Tapera itu kan terkait sama program Indonesia Emas 2045, bahwa tidak ada backlog dan rumah tidak layak huni," kata Sadimin.

Program Tapera menjadi salah satu solusi agar masyarakat memiliki rumah. Melalui program Tapera, para pekerja yang tidak terakomodir dalam memperoleh rumah subsidi, harapannya dapat diakomodir.

"Kalau sekarang, program rumah subsidi hanya untuk orang yang bergaji saja, bisa ngambil rumah subsidi. Mudah-mudahan nanti dengan program Tapera bisa ngambil itu. Tapi kita lihat kebijakannya seperti apa. Kita belum tahu juga implementasinya di daerah," tutur Sadimin.

Sadimin mengungkapkan sebagian besar keluarga baru di NTB menumpang di rumah orang tua. Dengan adanya program Tapera, diharapkan mereka dapat memiliki rumah ke depannya.

Pemprov NTB sendiri, kata Sadimin, tidak memiliki program khusus untuk penanganan backlog. Programnya hanya berasal dari pemerintah pusat melalui pembangunan rumah susun (rusun) dan perumahan subsidi.

Tetapi program rumah subsidi pun hanya untuk pekerja yang punya gaji tetap. Jika bukan karyawan, persyaratan untuk memperoleh rumah subsidi sangat sulit. Berdasarkan data aplikasi e-RTLH Kementerian PUPR tahun 2023, jumlah rumah tidak layak huni di NTB sebanyak 202.903 unit.

Adapun sebaran warga yang masih tinggal di rumah tidak layak di 10 kabupaten/kota di NTB. Antara lain Kota Mataram 10.894 unit, Lombok Barat 12.150 unit, Lombok Tengah 26.763 unit, Lombok Timur 47.756 unit, Lombok Utara 5.179 unit, Sumbawa 23.823 unit, Sumbawa Barat 3.267 unit, Dompu 25.754 unit, Bima 36.172 unit dan Kota Bima 11.145 unit.

Baca Juga: Pimpinan Ponpes yang Cabuli 4 Santriwati Diringkus di Mataram  

Topik:

  • Sri Wibisono

Berita Terkini Lainnya