Masjid di NTB Diminta Tak Ikuti Edaran Menteri Agama Soal Toa

Desak Presiden Jokowi pecat Menteri Agama

Mataram, IDN Times - Dewan Masjid Indonesia (DMI) Provinsi Nusa Tenggara Barat (DMI) meminta seluruh pengurus masjid dan musala tidak mengikuti surat edaran Menteri Agama tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala. Bahkan, DMI Provinsi NTB mendesak Presiden Joko Widodo memecat Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas karena beberapa kali membuat kegaduhan.

Sebelumnya, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menerbitkan surat edaran yang mengatur penggunaan pengeras suara di masjid dan musala. Aturan ini tertuang dalam Surat Edaran Menteri Agama No. SE. 05 tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala.

1. DMI Provinsi NTB instruksikan perbesar pengeras suara masjid

Masjid di NTB Diminta Tak Ikuti Edaran Menteri Agama Soal ToaMasjid Hubbul Wathan Islamic Center Kota Mataram, salah satu masjid terbesar di NTB (IDN Times/Muhammad Nasir)

Wakil Ketua DMI Provinsi NTB Lalu Winengan mengatakan NTB adalah Pulau Seribu Masjid. Selama ini, tidak ada yang merasa terganggu dengan pengeras suara masjid dan musala. Pengeras suara masjid dan musala menjadi pengingat bagi warga bukan saja untuk melaksanakan salat tetapi juga kegiatan sosial kemasyarakatan.

"NTB adalah Pulau Seribu Masjid, azannya di mana-mana kedengaran. Maka saya instruksikan semua masjid memperbesar suara azan. Apalagi menyambut bulan suci Ramadan," kata Winengan, Minggu (27/2/2022).

Baca Juga: Pengaspalan Ulang Sirkuit Mandalika Dimulai 4 Maret 2022

2. Tidak ada masyarakat komplain

Masjid di NTB Diminta Tak Ikuti Edaran Menteri Agama Soal ToaPengeras suara Musala di salah satu perumahan di Kecamatan Labuapi Lombok Barat (IDN Times/Muhammad Nasir)

Winengan mengatakan tidak ada masyarakat yang komplain soal pengeras suara masjid dan musala di NTB. Bahkan, pengeras suara masjid dan musala menjadi penanda waktunya mulai bekerja bagi umat non muslim di NTB, seperti suara azan subuh.
Hal yang membuat DMI NTB tidak terima, kata Winengan, pernyataan Menteri Agama yang mengibaratkan suara azan dengan gonggongan anjing. "Ini telah membuat gaduh. Sehingga kami minta Menteri Agama diganti," kata Tokoh Nahdlatul Ulama (NU) NTB ini.

Presiden Jokowi diminta bersikap atas kegaduhan yang dibuat Menteri Agama. Bahkan, DMI NTB akan menolak kedatangan Presiden Jokowi ke NTB yang direncanakan pekan depan jika tidak ada sikap kepada Menteri Agama.

"Presiden harus punya sikap kepada Gus Yaqut, kita menolak kedatangan Presiden pekan depan. Teman-teman agama lain tak pernah kita larang. Perumpamaannya sangat keliru," tandas Winengan.

3. Koreksi surat edaran Menteri Agama

Masjid di NTB Diminta Tak Ikuti Edaran Menteri Agama Soal ToaKetua OIAA Indonesia TGB. H. M.Zainul Majdi (IDN Times/Muhammad Nasir)

Sebelumnya, Ketua Organisasi Internasional Alumni Al Azhar (OIAA) Indonesia Tuan Guru Bajang (TGB) H.M. Zainul Majdi merespons surat edaran dari Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengenai pengeras suara masjid. Menurut TGB, niat Menteri Agama adalah baik, namun ada yang perlu dikoreksi dari surat edaran tersebut.

Menurut TGB, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai bahan untuk mengoreksi surat edaran Menteri Agama tersebut. Pertama, salah satu kaidah paling mendasar di dalam membuat suatu kebijakan publik adalah imparsialitas. Artinya rata, seimbang, adil tidak memihak. Karena itu, kalau ingin menciptakan pengaturan maka seharusnya yang diatur itu bukan hanya masjid dan musala.

Pengeras suara tidak hanya digunakan di masjid dan musala. Pengeras suara juga dipakai di tempat ibadah yang lain. Ada momen-momen di mana acara ritual keagamaan itu juga mengeluarkan suara yang cukup besar. Sehingga menurutnya, jika memang mau membuat satu surat edaran untuk mengatur penggunaan pengeras suara di rumah ibadah, jauh lebih baik tidak hanya menyangkut masjid dan musala.

Doktor ahli tafsir lulusan Universitas Kairo Mesir ini mengatakan supaya tidak menciptakan kesan bahwa seakan-akan yang berpotensi mengganggu ketenangan atau ketentraman itu hanya suara yang keluar dari masjid dan musala. Sementara, semua tahu, bahwa rumah ibadah non Islam juga mengeluarkan suara kidung-kidung, lagu-lagu pujian, dan lagu-lagu keagamaan.

Di banyak tempat di Indonesia, masjid tidak hanya tempat berkumpul untuk salat. Pengeras suara masjid juga tidak hanya fungsinya untuk digunakan azan dan iqamat saja atau mengaji. Banyak tempat di Indonesia juga Lombok, rata-rata masyarakat menjadikan masjid sebagai sentral kegiatan.

Sehingga dari pengeras suara di masjid digunakan untuk  mengumumkan ada kematian. Kemudian kalau ada kegiatan gotong royong, dan ada kegiatan kemasyarakatan lainnya. Pengeras suara masjid atau musala memiliki juga fungsi sosial budaya.

Jadi, menurut TGB, di daerah-daerah seperti misalnya  di NTB  justru pengeras suara masjid bukan mengganggu. Sebaliknya malah menjadi rujukan dari masyarakat di desa. Yang justru bermasalah, kata TGB adalah di masyarakat perkotaan. Di perkotaan tidak hanya satu agama. Seperti di Jakarta, penduduknya heterogen memungkinkan untuk diatur. 

Meski begitu, sambung TGB, pengaturan ini lebih baik diserahkan kepada kearifan bersama. Di Indonesia, ada Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Sesuai  namanya, forum ini kerja sama umat beragama. Untuk daerah-daerah tertentu, di mana masyarakatnya sangat heterogen diatur. Penggunaan pengeras suara di rumah ibadah disesuaikan tidak terlalu besar.

Dibandingkan surat edaran yang isinya berlaku untuk semua, padahal situasi  masing-masing daerah berbeda. Di NTB, yang dikenal dengan Pulau Seribu Masjid, suara dari masjid yang dirindukan. Suara yang justru menjadi penyejuk, tidak ada yang merasa terganggu. 

Baca Juga: Melihat Bagaimana Usaha Kampus Terbesar di NTB Patahkan Bias Gender

Topik:

  • Linggauni

Berita Terkini Lainnya