KPK dan Pemprov NTB Tutup Salah Satu Restoran di Gili Trawangan

Masyarakat dan investor berkonflik

Mataram, IDN Times - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pemprov Nusa Tenggara Barat (NTB) menutup salah satu restoran yang berdiri di atas lahan milik daerah di Gili Trawangan, Desa Gili Indah, Kecamatan Pemenang, Lombok Utara. Penutupan restoran itu lantaran terjadi konflik antara masyarakat dengan investor.

"Cuma satu yang ditutup. Karena antara masyarakat dan penyewa (investor) belum menemukan titik temu. Sering konflik antara masyarakat dan penyewa. Kita tidak mau, satu orang yang bermasalah menjadi merembet se-Gili Trawangan ada masalah," kata Kepala UPTD Gili Tramena Dinas Pariwisata NTB Mawardi dikonfirmasi IDN Times, Selasa (20/8/2024).

1. Baru 100 dari 700 wajib pajak menandatangani PKS dengan Pemprov NTB

KPK dan Pemprov NTB Tutup Salah Satu Restoran di Gili Trawanganilustrasi memberikan keterangan untuk tanda tangan berkas (unsplash.com/Van Tay Media)

Mawardi mengatakan baru sekitar 100 dari 700 Wajib Pajak (WP) yang telah menandatangani Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan Pemprov NTB terkait pemanfaatan aset daerah di Gili Trawangan. Dengan nilai Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang masuk sebesar Rp1,6 miliar hingga bulan Juli 2024. Targetnya, PAD dari kawasan ini dapat mencapai Rp5 miliar di tahun ini.

Mawardi menjelaskan demi keamanan dan ketertiban di kawasan Gili Trawangan, apalagi sedang banyak wisatawan yang berkunjung maka tempat yang bersengketa ditutup.

"Tempat yang masih bersengketa antara masyarakat dan investor kita tutup dulu," terangnya.

Mawardi mengatakan pihaknya sedang fokus memproses masyarakat yang mau bekerja sama dengan Pemprov NTB terkait pemanfaatan aset di Gili Trawangan. Bagi oknum masyarakat yang tidak mau bekerja sama ditinggalkan dulu sampai menunggu keputusan bersama dari Pemda.

"Permasalahan utamanya apakah diberikan kepada penyewa atau yang menyewakan. Pertimbangannya banyak sekali. Yang jelas semua menyewakan adalah masyarakat. Kalau kita kasih kepada investor yang menempati sekarang ini, masyarakat nanti kehilangan mata pencaharian. Banyak sekali pertimbangan teknisnya," tutur Mawardi.

Baca Juga: Pemda NTB Buka 1.696 Lowongan CPNS, Cek Formasi dan Syaratnya!

2. Sudah berdiri hotel dan restoran

KPK dan Pemprov NTB Tutup Salah Satu Restoran di Gili TrawanganSuasana di Gili Trawangan. (IDN Times/Muhammad Nasir)

Mawardi menambahkan Pemda NTB masih mencari solusi yang tepat untuk menyelesaikan sengkarut pengelolaan aset daerah di Gili Trawangan. Karena pada aset Pemprov NTB itu, ada yang sudah disewakan masyarakat kepada investor dan telah berdiri bangunan seperti hotel dan restoran.

"Kecuali tanah kosong kan enak. Ini sudah ada hotel dan restoran yang tidak memungkinkan bagi dua hotelnya. Ini dicari dulu solusinya. Bangunan ini yang bikin kita repot. Karena masyarakat pernah membangun terus diperbaiki penyewa, repot kita siapa yang kita kasih," imbuhnya.

Namun benang kusut terkait sengkarut pengelolaan aset di Gili Trawangan sudah ditemukan masalah utamanya. Pihaknya akan menyampaikan ke pimpinan untuk mengambil solusi terbaik.

KPK datang untuk melakukan pendampingan pada pemerintah daerah dalam penyelesaian masalah terkait status lahan di Gili Trawangan. KPK melakukan pendampingan lapangan pada Pemda KLU di Gili Air dan Gili Trawangan, Minggu (18/8/2024). Kepala Satgas Direktorat Koordinasi dan Supervisi Wilayah V KPK, Dian Patria menuturkan, sengketa pengelolaan lahan ini terjadi antara Pemprov NTB yang memiliki hak pengelolaan atas 75 hektare tanah di Gili Trawangan dengan oknum masyarakat yang merasa berhak atas tanah tersebut hingga menyewakannya tanpa adanya izin Pemprov NTB.

“Kalau tidak bisa akur dan main salah-salahan, kalian (oknum masyarakat) salah. Karena menyewakan tanah negara," tegas Dian.

Sesuai Perda Nomor 5 Tahun 2018, masyarakat hanya diberi izin sewa pemanfaatan lahan dengan melakukan perjanjian kerja sama (PKS), yang mana diwajibkan membayar Uang Wajib Tahunan (UWT) atau pajak sebesar Rp25.000/m2/tahun atau Rp2,5 juta per are per tahun. Nilai sewa ini merupakan harga terendah dalam Perda, yang dikenakan pada masayarakat yang belum memiliki usaha.

3. Oknum meraup untung

KPK dan Pemprov NTB Tutup Salah Satu Restoran di Gili Trawanganilustrasi mata uang rupiah (vecteezy.com/miftachul_huda)

Pemda bersama KPK juga sempat melakukan pemasangan plang di salah satu restoran di Gili Trawangan. Dalam plang tersebut tertulis, bahwa berdasarkan Sertifikat HPL no. 1 Tahun 1993, lahan seluas 750.000 m2 tersebut berdiri di atas tanah milik Pemprov NTB, dan belum memiliki izin.

Di sisi lain, ada oknum masyarakat yang malah menyewakan tanah Pemprov ke pelaku usaha dengan tarif keuntungan yang tidak main-main. Dalam setahun mereka bisa mengantongi setidaknya miliaran rupiah. Sementara itu, Pemprov NTB, selaku pemilik sah lahan, tidak menerima retribusi yang seharusnya menjadi Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Kepala Dinas Pariwisata NTB Jamaluddin Maladi mengatakan perputaran ekonomi di Gili sendiri bisa mencapai ratusan juta setiap harinya. Bahkan, pelaku usaha berani menyewa Rp300 juta per tahun, untuk lahan di jalanan utama.

Akibatnya, masalah ini tidak hanya merugikan pemerintah daerah, tetapi juga menciptakan ketidakpastian hukum yang menghalangi investasi dan pengembangan wilayah.

Padahal, tanah seluas 75 hektare tersebut diketahui sudah bersertifikat HPL serta sudah tercatat sebagai Barang Milik Daerah (BMD), yang harus dikelola dan dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat.

“Kita tadi bilang dari pemanfaatan lahan ini untungnya miliaran, mereka oknum masyarakat juga keceplosan katanya nilai sewa menyewanya ini triliunan, diduga sejak 1990-an. Tapi sedikit sekali pemasukan ke Pemprov NTB," tutur Dian.

Selama ini pemerintah memberikan izin terkait Hak Guna Bangunan (HGB) dengan masa berlaku mencapai 30 tahun untuk menempati lahan milik pemerintah di Gili Trawangan. Meski begitu, saat ini penerbitan HGB masih terhambat karena status lahan yang masih berada dalam kawasan konservasi hutan.

KPK juga mendorong Pemerintah Provinsi NTB untuk segera menyelesaikan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di kawasan Gili Trawangan serta dua gili lainnya, yakni Gili Meno dan Gili Air.

Dian menegaskan bahwa penyelesaian RTRW ini adalah kunci untuk membuka jalan bagi langkah-langkah selanjutnya, yang akan melibatkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Jika tidak segera diselesaikan, maka akan berdampak pada penarikan retribusi dan banyak kebocoran PAD di sana.

Baca Juga: Pj Gubernur NTB Kumpulkan Forkopimda Selesaikan Kasus Tambang Ilegal

Topik:

  • Linggauni

Berita Terkini Lainnya