Korban Kekerasan Seksual di Lombok Malah Jadi Tersangka Kasus ITE

CCTV yang merekam pelecehan seksual dinyatakan rusak

Mataram, IDN Times - Seorang mahasiswa Praktik Kerja Lapangan (PKL) Universitas Mataram asal wilayah Bayan Lombok Utara inisial CM menjadi korban kekerasan seksual. Meski menjadi korban, dia justru dijadikan tersangka kasus pelanggaran UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Pada 31 Maret 2023, korban melaporkan ke Polres Lombok Utara didampingi UPTD PPA dan LPA Lombok Utara atas dugaan tindak pidana kekerasan seksual yang dialaminya.

Korban melaporkan manajer hotel tempat korban melakukan PKL inisial AK (33) yang diduga melakukan tindak pidana kekerasan seksual terhadapnya. Namun, pada 4 Mei 2023, korban menerima Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP), yang pada pokoknya laporan korban belum cukup bukti.

Ketua Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) Universitas Mataram Joko Jumadi di Mataram, Rabu (8/5/2024) menjelaskan pada 5 Desember 2023, korban justru ditetapkan menjadi tersangka kasus pelanggaran UU ITE oleh Ditreskrimsus Polda NTB.

Korban dilaporkan oleh AK karena membuat status di akun media sosial Facebook miliknya karena kesal dengan bantahan terlapor.

1. Kronologi dugaan pelecehan seksual yang dialami korban

Korban Kekerasan Seksual di Lombok Malah Jadi Tersangka Kasus ITEKetua Satgas PPKS Universitas Mataram Joko Jumadi. (IDN Times/Muhammad Nasir)

Joko menjelaskan korban merupakan mahasiswa Universitas Mataram semester akhir dan sedang melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) bersama dengan dua rekannya dari 1 Februari 2023 sampai dengan 1 Mei 2023. Dengan jam kerja dua shift pagi dari 07.00 - 14.00 WITA dan sore dari pukul 14.00 - 20.00 WITA di hotel yang lokasinya berdekatan dengan rumah korban.

Sekitar Februari 2023, bertempat di hotel tempat PKL, korban beberapa kali mengalami kekerasan seksual secara verbal dan fisik. Pada 11 Februari 2023, ketika korban sedang beristirahat saat tamu hotel sedang sepi.

Salah satu karyawan senior bagian dapur berinisal M (perempuan) mengajak Korban untuk berbaring di atas etalase tempat keluar masuknya makanan pesanan tamu hotel. Korban mengaku etalase tersebut sudah biasa digunakan bagi anak PKL dan pegawai hotel untuk beristirahat saat tamu hotel sedang sepi.

Saat itu, korban berbaring di atas paha M sambil mencarikan kutu korban. Saat korban sedang berbaring, kemudian datang terlapor menyentuh paha korban dua kali yang sedang dalam keadaan berbaring membelakangi terlapor. Karena terkejut, korban menghindar dan kepalanya terbentur etalase.

Terlapor kemudian meminta maaf kepada korban, bukan karena tindakannya memegang paha korban tetapi karena kepala korban terbentur. Namun nampak M dan terlapor seperti menganggap biasa terkait perilaku tersebut.

Tempat kejadian perkara sebenarnya ada kamera CCTV dan harusnya kejadian terlapor memegang paha korban terekam, namun manajer hotel menyatakan CCTV rusak.

"Patutnya pernyataan CCTV rusak tidak diterima begitu saja oleh penyidik namun dilakukan pemeriksaan lebih mendalam. Bila perlu dengan diajukan ke Laboratorium Forensik Bukti Elektronik untuk memastikan apakah CCTV benar rusak dari sebelum kejadian atau sengaja dirusak setelah kejadian untuk menghilangkan bukti," kata Joko.

Pada 8 Februari 2023 pagi, terlapor mengajak korban untuk mandi bersama dengan dilihat oleh saksi M. Pada siang harinya, terlapor juga membandingkan payudara korban dengan rekannya.

Selanjutnya, pada 14 Februari 2023, saat korban sedang bekerja di dapur, terlapor datang dan menaruh roti di depan korban. Kemudian terlapor membandingkan ukuran roti dengan payudara korban.

Setelah beberapa kejadian tersebut, korban merasa takut, trauma, badan demam dan akhirnya memutuskan untuk tidak masuk kerja dari 20 Februari 2023.

Sekitar tanggal 25 Februari 2023, terlapor sempat mencari keberadaan korban yang tidak pernah masuk kerja dan pindah tempat PKL di Senggigi Lombok Barat sampai 1 Mei 2023.

"Karena tidak masuk kerja beberapa hari, terlapor kemudian menghubungi korban dan ibunya menanyakan alasan korban tidak masuk kerja. Saat itu ibu dan keluarga dari korban belum mengetahui kejadian yang dialami oleh korban dan mengapa korban tidak masuk kerja beberapa hari hotel tempatnya PKL," tutur Joko.

Karena sudah tidak tahan, korban kemudian bercerita ke temannya inisial T yang datang berkunjung ke rumah menanyakan alasan korban tidak masuk kerja. Korban berani menceritakan pelecehan seksual yang dialaminya. Kemudian tanpa disangka, teman korban pun menceritakan pelecehan seksual yang dialaminya di tempat dan oleh terduga pelaku yang sama.

"Dalam kasus ini, belum ada satu pun barang yang disita untuk dijadikan barang bukti, seperti CCTV karena alasan rusak, video yang ada suara pengakuan dari terlapor untuk memperkuat keterangan korban," terang Joko.

Baca Juga: Tersangka Kasus TPPO, Polda NTB Tangkap Artis Jebolan KDI Asal Lombok

2. Proses pencarian keadilan oleh korban

Korban Kekerasan Seksual di Lombok Malah Jadi Tersangka Kasus ITEIlustrasi hukum. (dok. IDN Times)

Direktur Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH) Universitas Mataram ini menjelaskan proses pencarian keadilan oleh korban. Pada 25 Februari 2023 sekitar pukul 20.47 WITA, korban bersama orangtuanya mendatangi hotel tempat korban PKL untuk mengklarifikasi dan meminta pertanggungjawaban terlapor dan pemilik hotel. Di mana, sebelumnya terlapor mengirim pesan lewat WA kepada korban, bahwa terlapor ingin bertemu korban.

Ketika bertemu, ada pengakuan dari terlapor bahwa telah 2 kali melakukan pelecehan seksual ke korban dan meminta maaf. Pengakuan terlapor tersebut sempat direkam oleh kakak korban inisial DJ yang saat itu berada di Australia sambil melakukan video call dengan korban menggunakan HP merk Iphone XR warna hitam.

Pemilik hotel inisial M bukannya memberikan sanksi kepada terlapor yang merupakan manajer di hotel miliknya yang telah melakukan kekerasan seksual kepada korban. Namun justru menyatakan bahwa tidak pernah ada kejadian pelecehan seksual dan menuduh korban telah melakukan perbuatan fitnah dengan alasan sakit hati karena dipecat tidak melanjutkan PKL di hotel miliknya.

Selanjutnya, pada 28 Maret 2023, korban dan keluarganya pergi ke kantor UTPD PPA dengan didampingi oleh Konselor dan LPA Lombok Utara. Tanggal 31 Maret 2023, korban melaporkan ke Polres Lombok Utara dengan didampingi oleh UPTD PPA dan LPA Lombok Utara atas dugaan tindak pidana kekerasan seksual yang dialaminya. Tanggal 4 April 2023, rekan korban inisial T diperiksa sebagai saksi untuk laporan korban di Polres Lombok Utara.

Pada 10 April 2023, korban mendapat pesan WA dari Kanit PPA Polres Lombok Utara menerima surat SP2HP yang menerangkan bahwa laporan tanggal 31 Maret 2023 dugaan pelecehan seksua telah diterima dan dilakukan penyelidikan. Tanggal 11 April 2023 Polres Lombok Utara melakukan rekonstruksi di hotel tempat kejadian perkara.

Kemudian pada 4 Mei 2023, korban melalui chat WA dari Anggota Unit PPA Polres Lombok Utara menerima SP2HP yang pada pokoknya laporan korban belum cukup bukti. Dalam SP2HP dijelaskan bahwa Penyidik atas laporan korban telah melakukan pemeriksaan terhadap pelapor, saksi M, saksi inisial T, saksi inisial S dan terlapor.

Kemudian melakukan pengecekan dan observasi terhadap TKP dan melakukan pengecekan terhadap CCTV di bagian dapur hotel, yang mana CCTV tersebut sudah lama tidak berfungsi. Selanjutnya penyidik menyimpulkan belum menemukan alat bukti terkait dugaan tindak pidana pelecehan seksual. Serta diterangkan oleh saksi inisial T tidak pernah melihat kejadian pelecehan seksual yang dialami korban, melainkan dirinya juga adalah korban. Penyidik akan melanjutkan kembali proses jika ada saksi-saksi atau bukti-bukti lain yang mendukung laporan.

Joko mengatakan tidak diperiksanya beberapa orang yang berhubungan dengan kejadian kekerasan seksual yang dialami korban tampak janggal. Mereka adalah orangtua korban dan keluarga korban sebagai saksi padahal mengetahui keadaan korban sesaat setelah kejadian dan mendengar pengakuan dari terlapor dan bersesuaian dengan keterangan saksi lain.

Menurutnya, penyidik telah melanggar ketentuan Pasal 1 angka 16 UU TPKS terkait pengertian saksi, bahkan dalam Pasal 25 UU TPKS ditentukan bahwa keterangan seorang korban sebagai saksi disertai dengan satu alat bukti sah sudah cukup untuk membuktikan bahwa terlapor bersalah.

Selanjutnya ketentuan lain yang dilanggar penyidik yaitu tidak dipertimbangkannya video rekaman dari HP yang berisi suara pengakuan dari terlapor dan beberapa screenshot pesan singkat via WA sebagai informasi dan dokumen elektronik dan dijadikan barang bukti yang berhubungan dengan tindak pidana yang dilaporkan korban yang bersesuaian keterangan saksi lain.

Serta penyidik tidak mempertimbangkan untuk pemeriksaan korban sebagai saksi pada tahap penyidikan melalui perekaman elektronik yang dapat digunakan sebagai alat bukti tambahan sebagaimana ketentuan Pasal 24 ayat (1) huruf a, b dan c dan ayat (2) UU TPKS.

"Hal lainnya yang dilanggar Penyidik cukup fatal yaitu tidak merujuk psikolog klinis untuk memeriksa korban yang kemudian hasil pemeriksaan dituangkan dalam surat keterangan psikolog klinis sebagai alat bukti surat sebagaimana ketentuan Pasal 24 ayat (3) huruf a UU TPKS dan tidak dilakukannya pemeriksaan Ahli Pidana terkait tindak pidana kekerasan seksual," kata Dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram ini.

Pada 7 Juni 2023, korban membuat status di media sosial Facebook miliknya karena kesal dengan bantahan terlapor. Padahal sebelumnya di hotel dan dihadapan korban dan saksi lainnya terlapor mengaku dan meminta maaf. Selanjutnya, beberapa hari kemudian sekitar 13 Juni 2023 korban menghapus status di FB tersebut.

Tanggal 23 Agustus 2023, korban melalui pesan WA dari saksi i isial T yang didapat dari anggota PPA Polres Lombok Utara menerima Undangan Wawancara Klarifikasi Perkara tanggal 22 Agustus 2023. Pada pokoknya memanggil korban untuk diperiksa sebagai saksi tanggal 25 Agustus 2023 atas laporan saksi T yang juga mengalami kekerasan seksual dari terlapor dengan laporan tanggal 28 Juni 2023.

3. Korban ditetapkan sebagai tersangka kasus ITE

Korban Kekerasan Seksual di Lombok Malah Jadi Tersangka Kasus ITEKabid Humas Polda NTB Kombes Pol Rio Indra Lesmana. (IDN Times/Muhammad Nasir)

Joko menceritakan awal mula korban mengetahui dirinya ditetapkan sebagai tersangka kasus pelanggaran UU ITE. Pada 26 Maret 2024, korban didatangi Unit Cyber Crime Polda NTB di rumahnya. Mereka meminta korban diperiksa di Polsek Bayan Lombok Utara.

Kemudian korban lupa diperiksa sebagai saksi atau tersangka tanpa ada kesempatan mencari pengacara untuk mendampingi dan tidak diberikan salinan hasil pemeriksaan.

Pemeriksaan ini tanpa ada surat panggilan dan sempat ditunjukkan Surat Perintah Penyidikan tanggal 25 September 2023 dan Surat Perintah Tugas tanggal 25 September 2023 dengan masa berlaku sejak 25 September sampai dengan 24 Desember 2023 yang sempat difoto korban.

Yang diingat dari penjelasan penyidik bahwa korban diperiksa atas unggahan statusnya di Facebook disangkakan melakukan tindak pidana di bidang ITE dengan dugaan melanggar pasal 27 ayat (3) Jo. Pasal 45 ayat (3) UU RI No. 11 Tahun 2008 tentang ITE sebagaimana diubah dengan UU No. 19 Tahun 2016 berdasarkan hasil gelar perkara pada tanggal 24 November 2023.

Pada 28 April 2024, korban melalui ayahnya menerima surat panggilan tanggal 26 April 2024 untuk diperiksa sebagai tersangka pada 2 Mei 2024 dengan dilampiri suurat pemberitahuan penetapan tersangka tanggal 5 Desember 2023 atas laporan polisi pada 20 September 2023.

Joko mengatakan dalam Surat Perintah Penyidikan Nomor: SP.Sidik/141/IX/2023/Ditreskrimsus tanggal 25 September 2023 dan Surat Perintah Tugas Nomor: SP.Gas/142/IX/2023/Ditreskrimsus tanggal 25 September 2023 dengan masa berlaku sama-sama 25 September - 24 Desember 2023 tanpa adanya Surat Perintah Penyidikan Lanjutan.

Surat Perintah Penyidikan dan Surat Tugas tersebut berakhir tanggal 24 Desember 2023, penyidik tidak memiliki kewenangan melakukan tindakan penyidikan apapun termasuk pemeriksaan terhadap Tersangka yang dilakukan pada 26 Maret 2024 di Polsek Bayan. Serta penerbitan Surat Panggilan Nomor: S.Pgl/106/IV/2024/Ditreskrimsus tanggal 26 April 2024 untuk korban diperisksa sebagai tersangka tanggal 2 Mei 2024.

Selain itu, terkait Surat Pemberitahuan Penetapan Tersangka yang ditujukan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi NTB tanggal 5 Desember 2023, yang baru diterima tersangka pada 26 April 2024 bersama dengan surat panggilan yang salah satu rujukannya Surat Perintah Penyidikan yang berakhir tanggal 24 Desember 2023. Maka secara otomatis surat pemberitahuan penetapan tersangka tersebut tidak berlaku.

"Untuk itu, ketiga tindakan penyidik yaitu penetapan tersangka, pemeriksaan terhadap tersangka dan surat panggilan adalah cacat hukum," jelas Joko.

Ditambahkan, korban tidak pernah dipanggil untuk diperiksa sebagai saksi atau calon tersangka dan tidak pernah ada SPDP yang diserahkan penyidik ke tersangka sampai sekarang. Sehingga, hal itu melanggar kaidah hukum putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 April 2015.

Di mana, putusan tersebut menjelaskan penetapan tersangka harus berdasarkan minimal 2 alat bukti sebagaimana termuat dalam pasal 184 KUHAP; dan harus pula disertai dengan pemeriksaan calon tersangka.

Kabid Humas Polda NTB Kombes Pol Rio Indra Lesmana yang dikonfirmasi mengenai korban pelecehan seksual yang ditetapkan sebagai tersangka kasus ITE mengatakan pihaknya belum mendapatkan informasi dari Ditreskrimsus Polda NTB. Rio mengatakan akan menanyakan perihal kasus tersebut.

"Kalau belum dapat informasi dari Ditreskrimsus, saya belum bisa menyampaikan karena belum dapat informasi. Karena kalau penetapan tersangka dari Ditreskrimsus, saya belum dapat data," ucap Rio.

Baca Juga: Lakalantas Didominasi Gen Z, Pelajar NTB Dijadikan Pelopor Keselamatan

Topik:

  • Linggauni

Berita Terkini Lainnya