Kehilangan Otoritas, Eksistensi Masyarakat Adat di NTB Makin Lemah

Peran masyarakat adat terhadap tanah ulayat sudah hilang

Mataram, IDN Times - Budayawan Nusa Tenggara Barat (NTB), Dr. Lalu Ari Irawan mengatakan eksistensi masyarakat adat di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) semakin lemah. Hal ini disebabkan masyarakat adat banyak kehilangan otoritas yang dimiliki.
Otoritas masyarakat adat banyak yang hilang karena diambilalih oleh pemerintah.

"Sehingga untuk memastikan marwah adat sama atau mendekati kekuatan dulu, agak sulit karena otoritasnya sudah hilang, banyak diambil oleh pemerintah atau lembaga negara," kata Irawan saat berbindang dengan IDN Times di Mataram, Minggu (10/4/2022).

Ia memberikan contoh, dulu peran masyarakat adat terkait dengan tanah ulayat dan warisan sangat kuat. Namun sekarang, peran-peran tersebut sudah banyak yang hilang.

"Itu yang membuat eksistensi masyarakat adat semakin lama semakin lemah posisinya," jelas Irawan.

1. Beberapa identitas kebudayaan masih bertahan

Kehilangan Otoritas, Eksistensi Masyarakat Adat di NTB Makin LemahBudayawan NTB, Dr. Lalu Ari Irawan (Dok. Istimewa)

Irawan mengatakan ada beberapa identitas masyarakat adat yang masih tetap bertahan. Seperti budaya perkawinan adat Suku Sasak yaitu Sorong Serah Ajikrama. Adat istiadat Sorong Serah Ajikrama relatif masih terjaga di etnis Suku Sasak di Pulau Lombok dibandingkan etnis lainnya.

"Adat istiadat sorong serah ajikrama yang paling dominan, membuat adat masih punya nama dan wibawa. Kalau ini hilang maka hilang sudah adat Sasak," katanya.

Pada prinsipnya, Wakil Sekretaris Majelis Adat Sasak (MAS) ini, adat berfungsi untuk mengikat individu yang ada di dalamnya. Ketika daya ikatnya lemah bahkan menghilang, maka tidak ada yang bisa diharapkan lagi ke depan.

Ia melihat, potensi suatu identitas adat hilang cukup besar. Sehingga perlu upaya untuk merekonstruksi atau merevitalisasi kembali identitas adat yang ada di masyarakat. Jangan sampai identitas adat menjadi konsep belaka yang tidak lagi dilihat.

"Karena kalau identitas semakin melemah dan ndak menjadi substansi. Maka ndak ada lagi identitas kultural yang menjadi perekat yang unik dan menjadi kekhasan dalam tatanan sosial, termasuk cara bergaul, berinteraksi dan dalam perkawinan. Kita hanya akan melihat itu sebagai konsep kalau kita kehilangan marwah adat yang sebenarnya sebagai tatanan adat," katanya.

Baca Juga: Dewan Sebut Kondisi APBD 2022 Gak Sehat karena Utang NTB Rp227 Miliar

2. Kawinkan kekuatan adat dan sistem demokrasi

Kehilangan Otoritas, Eksistensi Masyarakat Adat di NTB Makin LemahSejati Selabar pada adat Merarik/Instagram

Menurut Irawan, pemerintah harus punya keberpihakan yang serius terhadap isu pelestarian budaya, dan mengangkat harkat dan martabat adat. Pelestarian kebudayaan jangan hanya dijadikan program kerja yang menghabiskan dana APBN.

Tetapi, bagaimana peran kelembagaan adat direkonstruksi. Kelembagaan adat dibiarkan menjadi bagian yang penting di masyarakat. Irawan melihat pemerintah takut kehilangan legitimasi apabila adat menguat.

Tapi sebenarnya, dengan mengawinkan sistem demokrasi dengan kekuatan sosial adat akan menjadi kekuatan luar biasa yang akan menyulitkan pihak luar mengutak-atik nasionalisme di Indonesia. Masyarakat adat menjadi benteng terakhir untuk mencegah kehancuran suatu bangsa.

Karena Indonesia ini dibangun dari berbangsa suku dan adat istiadat. Indonesia ini dulunya orang berbeda-beda suku. Sehingga memperkuat mereka adalah suatu hal yang nasionalis. Karena mereka berangkat dari nasionalisme itu membangun Indonesia," tuturnya.

Menurut Irawan, Pemerintah perlu mengidentifikasi urusan-urusan apa yang bisa didistribusikan kembali ke ranah adat. Jika tidak bisa sepenuhnya, paling tidak ada otoritas yang penting menjadi kewenangan lembaga adat. Sehingga keberadaan lembaga adat atau masyarakat adat masih dinilai penting oleh masyarakat.

Ia memberikan contoh kasus perkawinan anak yang masih cukup tinggi di NTB. Sebelumnya, MAS sudah mendorong penyelesaiannya melalui pranata adat. Namun, di sisi yang lain ada pengenaan denda dengan besaran tertentu yang dikenakan pemerintah bagi yang melakukan perkawinan anak.

Seharusnya, jika penyelesaian menggunakan pranata adat, maka akan menimbulkan sikap malu dan kejadian serupa tidak terulang kembali. Tetapi dengan pengenaan denda, orang tidak akan merasa malu. Sehingga kejadian perkawinan anak akan tetap terjadi.

"Kalau adat itu mencegah bukan menghukum. Supaya hidup dengan pola yang disepakati bersama sesuai nilai-nilai luhur. Karena dicabutnya otoritas adat di beberapa hal menyebabkan hal itu," ungkapnya.

3. Laksanakan amanat Perda Pemajuan Kebudayaan

Kehilangan Otoritas, Eksistensi Masyarakat Adat di NTB Makin LemahGendang Beleq YouTube/Kemenpar

Irawan mengungkapkan Provinsi NTB telah memiliki Perda tentang Pemajuan Kebudayaan yang ditetapkan pada 2021. Pemerintah kabupaten/kota di NTB diharapkan menindaklanjuti regulasi turunan dari Perda tersebut baik berupa peraturan bupati (Perbup) atau peraturan walikota (Perwal).

Begitu juga Pemprov NTB perlu segera menindaklanjutinya dengan membentuk Peraturan Gubernur (Pergub). Salah satu amanat dalam Perda itu adalah pengarusutamaan kebudayaan di lingkungan pemerintah, swasta, dan ruang publik. Apabila amanat Perda ini dijalankan, Irawan mengatakan kekhawatiran mengenai adat istiadat yang akan hilang akan bisa dicegah.

"Kembalikan eksterior kebudayaan kita. Atmosfer yang dibangun di ruang-ruang publik adalah budaya daerah setempat, seperti gendang atau musik khas Sasak. Jangan sampai kita merasa bukan di Lombok. Ini akan mendukung sektor pariwisata menjadi sektor utama di NTB," tandasnya.

Baca Juga: Merekam Eksistensi Wetu Telu dan Tanah Ulayat Masyarakat Adat Bayan

Topik:

  • Linggauni

Berita Terkini Lainnya