Jadi Ujung Tombak, Banyak TP3SR dan Bank Sampah di NTB Malah Gak Aktif

Ratusan bank sampah di NTB tak beroperasi lagi

Mataram, IDN Times - Persoalan sampah plastik makin memprihatinkan. Produksinya terus meningkat di Indonesia setiap tahun. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), jumlah sampah nasional mencapai 70 juta ton.

Dari total itu, sebanyak 69 persen sampah yang masuk ke TPA hanya 7 persen yang terdaur ulang dengan baik. Daur ulang pun hanya dilakukan pada kemasan plastik bening atau yang berjenis Polyethylene Terephthalate (PET).

Daur ulang menjadi hal krusial dalam pengelolaan sampah. Jika dilakukan dengan tepat, daur ulang menjadi fondasi ekonomi sirkular, karena mampu menghasilkan pendapatan, dan meminimalkan dampak lingkungan dari aktivitas manusia. Di beberapa tempat sudah menjalankan ekonomi sirkular dari usaha daur ulang melalui bank sampah.

Sebagai daerah yang menjadi Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP), Kementerian PUPR melalui Balai Prasarana Permukiman Wilayah (BPPW) NTB membangun puluhan Tempat Pengolahan Sampah Reduce Reuse Recycle (TPS3R). Sementara, Pemprov NTB lewat program zero waste telah mendorong pembangunan 522 Bank Sampah sejak 2018 lalu.

Dari puluhan TPS3R dan ratusan Bank Sampah yang sudah terbangun, sebagiannya kini sudah banyak yang vakum atau tidak beroperasi. Penanganan sampah di NTB menjadi kembang kempis dengan berbagai kendala yang dihadapi pengelola TPS3R dan Bank Sampah.

1. Sebagian TPS3R tak beroperasi

Jadi Ujung Tombak, Banyak TP3SR dan Bank Sampah di NTB Malah Gak AktifKepala Dinas LHK NTB Julmansyah (IDN Times/Muhammad Nasir)

Kepala Dinas LHK Provinsi NTB Julmansyah didampingi Kepala Bidang Pengelolaan Sampah dan Pengendalian Pencemaran Firmansyah menyebutkan jumlah TPS3R yang terbangun di NTB sebanyak 45 unit. Saat ini, TPS3R tersebut sebagian tidak aktif atau tak beroperasi.

"Karena pengelolaan TPST agak report juga. Makanya kita melakukan reaktivasi TPS3R untuk mengantifkan TPS3R yang mangkrak. Sebagian sudah mulai hidup kayak di Plampang Sumbawa. Tapi gak bisa sekaligus, harapannya dikelola Bank Sampah, " kata Julmansyah.

Julmansyah mengatakan pihaknya melakukan revitalisasi TPS3R yang tidak aktif. Dengan melakukan pembinaan dan penguatan kelembagaan. Karena persoalan kelembagaan menjadi salah satu masalah yang dihadapi dalam operasional TPS3R.

Ia menyebut keberadaan TPS3R punya peran yang sangat strategis dalam pengelolaan dan penanganan sampah. Satu TPS3R bisa sampai punya kapasitas hingga 5 ton sampah per hari jika benar-benar dioptimalkan.

"Makanya kita harapkan pengelola TPS3R, koordinasi intens dengan pemerintah desa. Kita sudah bersurat ke Dinas LH kabupaten/kota menyampaikan langkah-langkah bagaimana reaktivasi TPS3R, kita siapkan juknisnya," terang Julmansyah.

Selain penguatan kelembagaan, TPS3R juga perlu dukungan anggaran dari pemerintah desa. Menurut Julmansyah, dana desa dimungkinkan untuk penanganan dan pengelolaan sampah di masing-masing desa. Regulasinya sudah ada, tinggal kemauan pemerintah desa untuk mengalokasikan dana desa untuk penanganan dan pengelolaan sampah.

Baca Juga: Wisata Pantai Senggigi Dipenuhi Sampah Plastik 

2. 522 bank sampah terbangun, hanya aktif 60 persen

Jadi Ujung Tombak, Banyak TP3SR dan Bank Sampah di NTB Malah Gak AktifKepala Bidang Pengelolaan Sampah dan Pengendalian Pencemaran Dinas LHK NTB Firmansyah. (IDN Times/Muhammad Nasir)

Sementara untuk Bank Sampah, Julmansyah menyebut sebanyak 522 unit terbangun di NTB. Baik Bank Sampah yang dibangun secara mandiri oleh kelompok masyarakat maupun difasilitasi pemerintah daerah. Tetapi, kata Julmansyah, hanya sekitar 60 persen Bank Sampah di NTB yang aktif atau masih beroperasi. Sisanya sekitar 40 persen Bank Sampah yang tidak aktif.

"Kalau data kita jumlahnya 522 bank sampah. Memang sekitar 60 persen yang aktif. Sisanya banyak kendala dihadapi," terangnya.

Ia menjelaskan tidak ada program khusus secara langsung kepada Bank Sampah dari Dinas LHK NTB. Dinas LHK NTB hanya melakukan pembinaan dan peningkatan kapasitas pengelola Bank Sampah.

"Kita hanya mentrigger seperti Bank Sampah di Desa Semparu Kopang, bisa menjadi juara 1 nasional. Tidak ada sampah yang dibuang ke TPA Pengengat Lombok Tengah. Mereka punya pengolahan Sampah untuk kompos, maggot, dan biogas dikelola di TPS3R," tuturnya.

3. Bank Sampah hidup mati karena kurang dukungan pemerintah daerah

Jadi Ujung Tombak, Banyak TP3SR dan Bank Sampah di NTB Malah Gak AktifPantai Senggigi Lombok Barat dipenuhi sampah plastik yang berserakan di bibir pantai, Sabtu (30/9/2023). (IDN Times/Muhammad Nasir)

Pengelola Bank Sampah Geger Girang Genem (3G) Desa Langko Kecamatan Lingsar Lombok Barat Zainuddin saat berbincang dengan IDN Times, Jumat (6/10/2023) mengatakan bank sampah yang dibangun pada 2019, sejak Maret 2022 sudah vakum atau tak beroperasi lagi. Hal ini disebabkan kurangnya dukungan dari pemerintah daerah maupun pemerintah desa.

"Sudah vakum sejak Maret 2022 karena terkendala suplai dana. Karena dulu kami dapat suplai dana dari provinsi. Ada program zero waste. Akhirnya berhenti karena kasus apa sehingga berhenti. Kami juga ikut berhenti di bawah," kata Zainuddin.

Saat ini, Zainuddin bersama pemuda-pemuda di Desa Langko membuat bank sampah mandiri yang diberi nama Bank Sampah Remaja Masjid. Pihaknya menggaet Karang Taruna dan Remaja Masjid di desa setempat. Bank sampah ini baru berdiri sekitar 6 bulan.

"Cuma tetap gak maksimal hasilnya karena kita butuh peran pemerintah untuk mensupport kami baik secara materil dan kebijakan. Support pemerintah desa tidak ada sama sekali. Seharusnya dana desa diarahkan juga untuk penanganan sampah. Padahal itu kami minta saat musrenbang, hanya dijanjikan saja," tuturnya.

4. Perlu kebijakan pilah sampah dari rumah

Jadi Ujung Tombak, Banyak TP3SR dan Bank Sampah di NTB Malah Gak AktifPantai Senggigi Lombok Barat dipenuhi sampah plastik yang berserakan di bibir pantai, Sabtu (30/9/2023). (IDN Times/Muhammad Nasir)

Zainuddin mengatakan kesadaran masyarakat terkait pengelolaan sampah masih kurang. Pihaknya berharap penanganan sampah dapat dilakukan dari rumah. Pemeintah desa perlu membuat kebijakan mulai dari tingkat RT sampai dusun supaya ada pemilahan sampah dari rumah.

Sehingga sampah yang dibuang masyarakat bukan sampah campuran. Menurutnya, salah satu faktor yang menjadi hambatan dalam penanganan sampah plastik adalah masyarakat dimanjakan dengan menyiapkan Tempat Pembuangan Sementara (TPS). Kemudian sampah yang tertimbun di TPS diangkut pemerintah desa menggunakan mobil pengangkut sampah ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA).

"Di situ kami rasakan kayak dimanjakan maayarakat dengan adanya TPS. Sampah tinggal dikarungin, dan diangkut dan dibuang ke TPA. Dulu setiap KK memilah sampah dari rumah, sekarang menjadi kurang lagi kesadarannya masyarakat," terang Zainuddin.

Menurutnya, kebijakan yang kurang tepat menjadi kendala pengelola sampah di tingkat bawah. Zainuddin menyebutkan dalam sehari dapat terkumpul sampai satu ton sampah plastik di Bank Sampah. Sehingga perlu ada dukungan dana dari pemerintah daerah maupun pemerintah desa untuk Bank Sampah.

"Karena yang paling penting pemilahan sampah di rumah tangga seharusnya dilakukan, " tambahnya.

Selain itu, harga sampah plastik yang dibeli dari masyarakat perlu dinaikkan dari Rp2 ribu menjadi Rp4 ribu sampai Rp5 ribu per kg. Sehingga masyarakat juga bersemangat memilah sampah plastik dafi rumah. Dengan demikian akan mampu meningkatkan ekonomi masyarakat dan menjaga kebersihan lingkungan.

"Sangat perlu sekali peningkatan kapasitas pengelola bank sampah, dukungan kebijakan, membantu fasilitas pengolahan sampah. Kalau bisa kita olah di tempat dalam arti mesin cacah kita kelola sendiri, lebih tinggi lagi pendapatannya dan bisa kita bayar lebih sampahnya dari masyarakat," tandas Zainuddin.

Baca Juga: Amankan Konflik Dua Kampung, 4 Polisi di Mataram Terkena Anak Panah

Topik:

  • Linggauni

Berita Terkini Lainnya