Fenomena Anggota DPRD Gadai SK, Biaya Politik Tembus Rp1,5 Miliar

Pengamat ungkap 3 faktor jadi pemicu anggota DPRD gadai SK

Mataram, IDN Times - Fenomena anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) 2024-2029 menggadai SK pengangkatan ramai menjadi perbincangan publik. Para politisi dan pengamat politik di Nusa Tenggara Barat (NTB) menyebut, wakil rakyat menggadai SK ke bank karena mahalnya biaya politik yang dikeluarkan saat menjadi calon legislatif (Caleg).

Wakil Ketua DPW Partai Perindo NTB M. Samsul Qomar mengungkapkan cost atau biaya politik saat yang dikeluarkan para Caleg sangat mahal. Untuk Caleg DPRD Kabupaten/Kota saja, mereka harus menyiapkan dana kampanye sekitar Rp1 miliar sampai Rp1,5 miliar.

"Karena memang biaya atau cost politik saat ini sangat luar biasa, untuk DPRD Kabupaten saja harus siapkan Rp1 miliar sampai dengan Rp1,5 miliar. Tentu modal besar itu, dan harus kembali modal kalau mereka dapat nanti (menjadi anggota dewan)," tutur Qomar saat berbincang dengan IDN Times, Sabtu (14/9/2024).

1. Untuk bayar utang dan prestise

Fenomena Anggota DPRD Gadai SK, Biaya Politik Tembus Rp1,5 Miliarilustrasi uang (freepik.com/reezky11)

Menurut Qomar, fenomena anggota dewan menggadai SK bukan kesalahan pemilih saja. Tetapi juga kesalahan Caleg yang mungkin menyogok pemilih agar mereka dipilih sebagai wakil rakyat pada saat Pileg.

Selain untuk membayar utang yang digunakan pada saat nyaleg, juga adanya kebutuhan alat transportasi untuk membeli mobil mewah. Karena adanya prestise sebagai anggota DPRD.

"Biasanya tahun pertama, kantor DPRD itu seperti showroom mobil mahal terparkir. Tapi tahun kedua dan seterusnya sudah berganti merk malah ada yang pakai sepeda motor karena ekspektasinya terlalu tinggi," kata mantan Anggota DPRD Lombok Tengah ini.

Qomar menjelaskan anggota DPRD terpilih tidak menjamin akan menjadi wakil rakyat selama lima tahun karena tergantung juga partai politik. Partai politik bisa saja melakukan pergantian antar-waktu (PAW) kadernya yang duduk di kursi dewan.

"Politik ini kan sesuatu yang bisa dibilang tidak jelas. Kalau partai mau ganti, ya diganti. Jadi kalau mau aman gadai SK sampai 4,5 tahun, kan ada asuransinya," tuturnya.

Untuk menekan mahalnya biaya politik, Qomar menyarankan sebaiknya pemilihan anggota legislatif menggunakan sistem tertutup. Sehingga kompetisi dalam Pileg cukup antarpartai politik, bukan antar-Caleg dalam satu parpol.

"Apalagi saat ini, sistem di Parpol sudah kebanyakan main tunjuk tanpa ada proses Musyawarah Cabang lagi," terangnya.

Baca Juga: NTB Koleksi 13 Medali hingga Hari ke-4 PON Aceh-Sumut, ini Daftarnya!

2. Tiga penyebab anggota DPRD gadaikan SK

Fenomena Anggota DPRD Gadai SK, Biaya Politik Tembus Rp1,5 Miliarilustrasi uang pinjaman hasil gadai (unsplash.com/Mufid Majnun)

Pengamat Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram Dr. Ihsan Hamid menyebut ada tiga penyebab anggota DPRD menggadaikan SK setelah dilantik menjadi wakil rakyat. Pertama, karena faktor biaya politik yang tinggi sehingga mereka bisa jadi masih punya utang yang harus segera dilunasi.

Kedua, karena faktor gengsi. Jabatan anggota DPRD punya prestise tinggi maka harus ditopang oleh gaya hidup. Sehingga bisa jadi uang yang dipinjam ke bank dengan menggadai SK digunakan untuk beli mobil baru dan rumah. Artinya, uang yang dipinjam ke bank dengan menggadai SK untuk membeli gaya hidup.

Ketiga, anggota DPRD yang menggadaikan SK ke bank, bisa jadi karena harus membayar janji politik ke konstituen. Apa yang dijanjikan ke konstituen harus segera ditunaikan sehingga mereka membutuhkan dana segar.

"Dengan demikian, saya melihat fenomena-fenomena anggota dewan gadai SK pasca dilantik menjadi fenomena wajar. Karena perbankan juga dengan senang hati memberikan pinjaman ke mereka," kata Sekretaris Pusat Studi dan Kajian Publik (Pusdek) UIN Mataram ini.

3. Bawaslu NTB sebut wilayah privasi anggota dewan

Fenomena Anggota DPRD Gadai SK, Biaya Politik Tembus Rp1,5 Miliarilustrasi privasi (dok. Tripwire)

Sementara, Anggota Bawaslu NTB Hasan Basri mengatakan dia belum mendengar anggota DPRD yang ramai menggadaikan SK di NTB seperti daerah lain di Pulau Jawa. Dia mengatakan Bawaslu tidak masuk ranah tersebut karena itu berkaitan dengan privasi masing-masing anggota dewan, apakah mereka menggadai SK atau tidak.

"Dia dilantik kemudian menjadi anggota dewan. SK mau digadai atau apa, itu menjadi privasinya dia. Kewenangan mutlak ada di dia yang tidak bisa diintervensi oleh kami," kata Hasan.

Hasan juga belum bisa memastikan anggota DPRD yang menggadai SK akibat dari mahalnya biaya politik. Menurutnya, hal itu tak bisa digeneralisir akibat biaya politik yang tinggi.

"Yang digadai itu untuk apa. Makanya saya tidak berani berkesimpulan minjam untuk ganti biaya politik atau apa. Kita belum tahu. Bisa jadi karena besarnya biaya politik atau bisa jadi bukan karena itu," terang Hasan.

Hasan juga mengatakan belum bisa menilai apakah ada kaitannya dengan politik uang saat pemilihan.

"Kalau dia masif di Kabupaten/Kota bisa saja. Tapi kalau satu, dua melakukan itu (gadai SK) tidak bisa langsung mengeneralisasi karena biaya politik," tandasnya.

Pada saat Pilpres dan Pileg 2024 lalu, Bawaslu NTB menyebut sebanyak 13.539 Tempat Pemungutan Suara (TPS) rawan potensi pelanggaran. Hal tersebut berdasarkan pemetaan kerawanan TPS pada Pemilu 2024 di 10 kabupaten/kota se-NTB. Dari 13.539 TPS rawan sebanyak 296 TPS terdapat praktik pemberian uang atau barang pada masa tenang.

Baca Juga: Verifikasi 4.388 Pelamar CPNS NTB Tuntas, Catat Jadwal Pengumumannya! 

Topik:

  • Linggauni

Berita Terkini Lainnya