Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IMG-20250705-WA0045.jpg
Komunitas Literasi Teman Baca Kota Mataram, NTB, membuka lapak buku di area publik yang berada di Kota Mataram. (dok. Istimewa)

Mataram, IDN Times - Pegiat literasi di Nusa Tenggara Barat (NTB) menyoroti peran keluarga terkait fenomena anak melek digital tapi buta huruf alias tidak lancar membaca dan menulis. Fenomena yang terjadi di era serba digital ini sangat disayangkan.

Pegiat Literasi NTB Dedy Ahmad Hermansyah menyoroti peran keluarga yang sesungguhnya sangat penting dalam meningkatkan kemampuan literasi seorang anak. Dia mengibaratkan anak-anak usia sekolah dasar (SD) seperti gelas kosong yang masih bisa dibentuk.

"Umur segitu, anak-anak banyak bersama keluarga. Kalau di sekolah cuma setengah hari, belum lagi ditambah hari libur. Mau tidak mau di keluarga yang punya peran sangat penting, tapi bukan berarti sekolah gak ada peran," kata Dedy saat berbincang dengan IDN Times di Mataram, Sabtu (5/7/2025).

1. Egoisme terselubung orang tua

Pendiri Komunitas Literasi Teman Baca Kota Mataram Dedy Ahmad Hermansyah. (IDN Times/Muhammad Nasir)

Pada era serba digital saat ini, gawai atau gadget bukan harus dimusuhi. Karena itu adalah perkembangan teknologi yang menjadi bukti kecerdasan manusia bisa membuat gawai. Seharusnya, gawai memudahkan dan membantu dalam meningkatkan minat baca anak-anak.

Sekarang banyak platform-platform digital yang ramah anak seperti YouTube Kids dan lainnya. Menurutnya, hal itu tinggal dimanfaatkan oleh orang tua untuk meningkatkan minat baca anak. Namun kecenderungan yang terjadi sekarang, orang tua memberikan gawai ke anaknya bukan niat baik.

"Kecenderungan sekarang orang dewasa kasih gawai ke anak, itu bukan niat baik tetapi egoisme terselubung orang dewasa. Maksudnya karena tidak mau direpotkan. Bukan karena anak-anak mau belajar tapi kepentingan orang dewasa tidak mau diganggu atau direpotin kemudian anaknya dikasih HP," jelas Dedy.

Pendiri Komunitas Teman Baca Kota Mataram ini mengatakan orang tua asal memberikan gawai ke anaknya. Mereka juga tIdak tahu apakah anaknya mengakses konten yang benar atau tidak asalnya tidak direpotkan. Gawai tidak dimanfaatkan untuk meningkatkan minat baca.

"Penggunaan secara literatif gawai ini tidak dimanfaatkan. Makanya aku menyoroti peran keluarga," kata Dedy.

Selain keluarga, sekolah juga berperan dalam meningkatkan minat baca para siswa. Sekolah harus membuat perpustakaan yang nyaman bagi anak-anak. Dari sisi desain perpustakaan sekolah harus menarik sehingga membuat siswa merasa nyaman.

"Jadi anak-anak yang punya habit membaca akan betah. Anak-anak yang baru tumbuh minat bacanya tertarik ke perpustakaan. Cuma kecenderungan anak-anak bilang perpustakaan kita masih sangat kaku. Anak-anak suka yang asyik-asyik kayak Perpustakaan Kota Mataram," ujarnya.

Di zaman serba digital ini, kata Dedy, tidak ada alasan untuk tidak membaca. Jika alasannya harga buku mahal, sekarang banyak buku digital yang dapat diakses secara gratis. Dia mengatakan kemajuan teknologi jangan dianggap sebagai ancaman. Memang kemajuan teknologi ada ekses negatif dan positifnya. Tetapi manfaat positifnya yang harus diambil untuk peningkatan literasi.

2. Komunitas literasi buka lapak di area publik meningkatkan minat baca

Ilustrasi anak-anak sedang membaca buku. (dok. Istimewa)

Dedy mengungkapkan komunitas literasi di NTB banyak yang sudah bergerak dalam meningkatkan minat baca seperti di daerah pesisir dan daerah terpencil. Komunitas literasi juga menggelar lapak buku di area publik seperti taman-taman yang ada di Kota Mataram.

Dia melihat pemerintah daerah sebenarnya sudah membuat perpustakaan di area publik seperti Taman Sangkareang dan Taman Loang Baloq Kota Mataram. Tetapi perpustakaan tersebut banyak yang tidak dikelola dengan baik dan sering tutup.

"Perpustakaan yang ada di ruang publik milik pemerintah belum dimanfaatkan dengan baik. Sebaiknya pemerintah mengaktifkan perpustakaan yang ada di area publik. Bisa mengajak komunitas mengaktifkan perpustakaan di area publik. Sejauh yang aku lihat selalu tertutup perpustakaan yang ada," ungkap Dedy.

3. Angka buta huruf NTB di atas rata-rata nasional

Ilustrasi anak-anak sedang membaca buku. (dok. Istimewa)

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, angka buta huruf atau buta aksara di NTB masih cukup tinggi. Angka buta huruf penduduk usia 10 tahun ke atas di NTB berada di atas rata-rata nasional. Angka buta huruf di NTB pada 2024 sebesar 9,17 persen, jauh di atas angka buta huruf rata-rata nasional yakni sebesar 3,05 persen.

Angka buta huruf di NTB sebesar 9,17 persen paling banyak perempuan yaitu sebesar 11,69 persen, sedangkan laki-laki sebesar 6,56 persen. Sedangkan secara nasional, perempuan yang buta huruf sebesar 3,97 persen dan laki-laki sebesar 2,13 persen.

Jika dibandingkan dengan dua provinsi tetangga yaitu Bali dan Nusa Tenggara Timur (NTT), angka buta huruf di NTB juga masih jauh lebih tinggi. Angka buta huruf di Bali sebesar 3,89 persen terdiri dari laki-laki 1,98 persen dan perempuan sebesar 5,8 persen. Sedangkan angka buta huruf di NTT sebesar 4,35 persen, terdiri dari laki-laki 3,82 persen dan perempuan 4,86 persen.

Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) NTB Abdul Aziz mengatakan pengentasan buta huruf menjadi tanggungjawab pemerintah kabupaten/kota. Karena jenjang pendidikan SD dan SMP berada di bawah kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Sedangkan Pemprov NTB punya kewenangan untuk jenjang pendidikan SMA/SMK sederajat dan Sekolah Luar Biasa (SLB).

Untuk pengentasan buta aksara yang cukup tinggi di NTB, pada 2008-2013, Pemprov NTB pernah membuat program menekan angka buta aksara menjadi nol atau Absano. Tahun 2009 dilakukan pendataan warga buta aksara, tercatat sebanyak 417.000 warga NTB yang termasuk penyandang buta aksara. Angka ini cukup besar, karena mencapai sekitar 10 persen dari penduduk NTB yang berjumlah 4,2 juta jiwa pada waktu itu.

Program Absano dilaksanakan melalui program Pemberantasan Buta Aksara (PBA) dan Keaksaraan Fungsional, dengan mengarahkan dana sebesar Rp10 juta untuk masing-masing desa se NTB. Selain mengangkat tutor dari masing-masing desa program, juga dikerahkan mahasiswa yang mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) untuk melakukan Keaksaraan Fungsional.

Hasilnya, dari 417.000 warga itu, sebanyak 108.000 orang telah dididik selama 32 hari sampai bulan November 2009 dan sebanyak 96.000 orang di antaranya dinyatakan lulus. Namun, saat ini program tersebut tidak lagi berlanjut.

Editorial Team

EditorLinggauni