Ketua OIAA Indonesia TGB. H. M.Zainul Majdi (IDN Times/Muhammad Nasir)
Sebelumnya, Ketua Organisasi Internasional Alumni Al Azhar (OIAA) Indonesia Tuan Guru Bajang (TGB) H.M. Zainul Majdi merespons surat edaran dari Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengenai pengeras suara masjid. Menurut TGB, niat Menteri Agama adalah baik, namun ada yang perlu dikoreksi dari surat edaran tersebut.
Menurut TGB, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai bahan untuk mengoreksi surat edaran Menteri Agama tersebut. Pertama, salah satu kaidah paling mendasar di dalam membuat suatu kebijakan publik adalah imparsialitas. Artinya rata, seimbang, adil tidak memihak. Karena itu, kalau ingin menciptakan pengaturan maka seharusnya yang diatur itu bukan hanya masjid dan musala.
Pengeras suara tidak hanya digunakan di masjid dan musala. Pengeras suara juga dipakai di tempat ibadah yang lain. Ada momen-momen di mana acara ritual keagamaan itu juga mengeluarkan suara yang cukup besar. Sehingga menurutnya, jika memang mau membuat satu surat edaran untuk mengatur penggunaan pengeras suara di rumah ibadah, jauh lebih baik tidak hanya menyangkut masjid dan musala.
Doktor ahli tafsir lulusan Universitas Kairo Mesir ini mengatakan supaya tidak menciptakan kesan bahwa seakan-akan yang berpotensi mengganggu ketenangan atau ketentraman itu hanya suara yang keluar dari masjid dan musala. Sementara, semua tahu, bahwa rumah ibadah non Islam juga mengeluarkan suara kidung-kidung, lagu-lagu pujian, dan lagu-lagu keagamaan.
Di banyak tempat di Indonesia, masjid tidak hanya tempat berkumpul untuk salat. Pengeras suara masjid juga tidak hanya fungsinya untuk digunakan azan dan iqamat saja atau mengaji. Banyak tempat di Indonesia juga Lombok, rata-rata masyarakat menjadikan masjid sebagai sentral kegiatan.
Sehingga dari pengeras suara di masjid digunakan untuk mengumumkan ada kematian. Kemudian kalau ada kegiatan gotong royong, dan ada kegiatan kemasyarakatan lainnya. Pengeras suara masjid atau musala memiliki juga fungsi sosial budaya.
Jadi, menurut TGB, di daerah-daerah seperti misalnya di NTB justru pengeras suara masjid bukan mengganggu. Sebaliknya malah menjadi rujukan dari masyarakat di desa. Yang justru bermasalah, kata TGB adalah di masyarakat perkotaan. Di perkotaan tidak hanya satu agama. Seperti di Jakarta, penduduknya heterogen memungkinkan untuk diatur.
Meski begitu, sambung TGB, pengaturan ini lebih baik diserahkan kepada kearifan bersama. Di Indonesia, ada Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Sesuai namanya, forum ini kerja sama umat beragama. Untuk daerah-daerah tertentu, di mana masyarakatnya sangat heterogen diatur. Penggunaan pengeras suara di rumah ibadah disesuaikan tidak terlalu besar.
Dibandingkan surat edaran yang isinya berlaku untuk semua, padahal situasi masing-masing daerah berbeda. Di NTB, yang dikenal dengan Pulau Seribu Masjid, suara dari masjid yang dirindukan. Suara yang justru menjadi penyejuk, tidak ada yang merasa terganggu.