Ilustrasi warga miskin (IDN Times/Juliadin)
Selain itu, kata Firmansyah, perubahan gaya hidup mahasiswa juga mempengaruhi mereka terjerat pinjol. Apalagi dengan adanya kemudahan meminjam uang lewat pinjol meningkatkan hasrat untuk hidup konsumtif.
Menurut Firmansyah, kebiasaan seperti ini dapat mengganggu stabilitas sosial dan ekonomi. Karena banyak orang yang tidak memenuhi syarat mendapatkan pinjaman, tetapi karena persyaratannya mudah, mereka meminjam uang lewat pinjol.
"Kebiasaan ini akan mengganggu stabilitas sosial dan ekonomi. Karena ini berkaitan dengan transaksi uang, tentu sedikit banyak berpengaruh dari aspek moneter. Jangan sampai terjadi bubble ekonomi, banyak yang meminjam dan macet," terang Firmansyah.
Jika ada mahasiswa yang meminjam uang di pinjol kemudian kredit macet. Maka akan berimbas pada masalah sosial. Orangtua yang akan menyelesaikan pinjaman yang macet tersebut. Sehingga akan menyebabkan terganggunya sirkulasi ekonomi rumah tangga.
"Karena dalam jangka panjang terganggu mahasiswa. Karena butuh energi untuk menyelesaikan kuliahnya. Sekarang ditambah energi itu untuk menyelesaikan utangnya," ucapnya.
Untuk itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus memberikan literasi keuangan yang masif kepada mahasiswa dan pelajar. Karena tidak menutup kemungkinan mereka juga merupakan bagian dari nasabah pinjol.
OJK juga mengatur kriteria nasabah yang dapat memperoleh pinjaman uang dari pinjol. Jangan seperti sekarang, orang cukup mudah mendapatkan pinjaman tanpa memikirkan dapat kegagalan kredit setiap pinjaman yang diberikan.
Berdasarkan data Statistik Tekfin Pendanaan dari OJK, beberapa provinsi tercatat kredit macet pinjol atau tingkat wanprestasi 90 hari (TWP90). Salah satunya adalah provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) termasuk TWP90 yang tertinggi mencapai 5,8 persen.