Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Eks Kapolres Ngada AKBP Fajar memberi keterangan pers jelang libur nataru. (x.com/Kasi Humas Polres Ngada)
Eks Kapolres Ngada AKBP Fajar memberi keterangan pers jelang libur nataru. (x.com/Kasi Humas Polres Ngada)

Kupang, IDN Times - Lembaga Perlindungan Anak Nusa Tenggara Timur (LPA NTT) menilai kebiri kimia dan hukuman mati pantas bagi eks Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja.

Ketua LPA NTT, Veronika Ata, menyebut Fajar telah melanggar banyak aturan hukum, salah satunya Undang-Undang (UU) No. 17 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. UU ini juga mengatur penerapan kebiri kimia bagi seorang pedofilia.

"Hukuman yang pantas adalah hukuman seumur hidup dan hukuman kebiri sebagaimana yang diamanatkan oleh UU Perlindungan Anak tentang kejahatan seksual," tukasnya saat dihubungi Senin (17/3/2025).

1. Eks Kapolres Ngada kena pasal berlapis

ilustrasi hukum yang setara dari Dewi Keadilan. (pexels.com/Pavel Danilyuk)

Veronika melihat eks Kapolres Ngada sebagai polisi predator anak yang juga telah melanggar banyak UU mulai dari kekerasan seksual, eksploitasi manusia, narkoba hingga pornografi. Dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) saja, sebut Veronika, eks Kapolres Ngada ini bisa mendapatkan hukuman berat.

"Dalam UU ini digariskan terhadap predator anak dengan hukuman maksimal hukuman mati. Itu kata Undang-undang dan bagaimana kita bisa menerapkan ini apalagi kita ketahui bukan saja kejahatan seksual, yang ia lakukan" tegasnya.

LPA NTT mendesak penerapan pasal berlapis dari berbagai UU itu agar menjerat AKBP Fajar dengan hukuman paling maksimal.

2. Eks Kapolres Ngada bayar Rp3 juta ke seorang perantara

AKBP Fajar saat menjabat Kapolres Ngada. (x.com/Kasi Humas Polres Ngada)

Veronika mengungkap juga sosok F, seorang perempuan yang membawa korban berusia 6 tahun kepada Fajar di sebuah hotel di Kota Kupang. F menerima imbalan Rp3 juta dari Fajar.

F merupakan orang terdekat korban. Ia tinggal di kos-kosan milik orangtua korban. Saat kejadian pada Juni 2024, F meminta izin kepada orangtua untuk membawa anak tersebut jalan-jalan. Orangtua korban tidak curiga sama sekali terhadap F yang selalu berkelakuan baik.

"Mereka tidak tahu ternyata dampaknya ke sebuah kejahatan eksploitasi seksual," ungkap Veronika.

3. Korban trauma dengan orang berseragam cokelat

ilustrasi trauma korban asusila. (pexels.com/Kaboompics.com)

Fajar diketahui memperdayai 3 korban anak yang kini berusia 6 tahun, 13 tahun, dan 16 tahun. Ada pula seorang korban perempuan dewasa yakni S alias F berusia 20 tahun.

Korban anak yang berusia 13 tahun kini mengalami trauma berat. Veronika mengatakan bahwa korban ini kesulitan bicara dan takut melihat orang yang berseragam cokelat.

"Korban tidak mau berbicara dan ketika melihat seseorang menggunakan pakaian warna cokelat seperti polisi dia tidak mau berbicara dan justru minta pakaian mereka diganti dulu," ungkap Veronika.

Saat ini LPA NTT masih berkoordinasi dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Kupang. Veronika ketika dihubungi saat itu mengaku sedang dalam pertemuan dengan beberapa pihak terkait perkembangan kasus ini.

Editorial Team