Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi perkawinan anak (IDN Times/Aditya Pratama)
ilustrasi perkawinan anak (IDN Times/Aditya Pratama)

Lombok Timur, IDN Times – Data Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek) Badan Pusat Statistik melansir fakta mencengangkan. Jumlah kasus perkawinan anak di bawah usia 19 tahun NTB mencapai 14.145 kasus. Dari angka yang sangat tinggi itu, Kabupaten Lombok Timur (Lotim) menyumbang kontribusi terbesar, yakni 4.082 kasus.

Data ini menegaskan bahwa Lotim menjadi episentrum darurat perkawinan anak yang membutuhkan perhatian serius seluruh pihak. Apalagi itu merupakan data yang tercatat dan yang hanya muncul di publik.

1.  Penerapan aturan belum maksimal

Pj. Bupati Lotim, M Juaini Taofik (IDN Times / Ruhaili)

Menanggapi tingginya angka perkawinan anak ini, Sekretaris Daerah Kabupaten Lotim, Juaini Taofik, mengakui bahwa penerapan aturan tersebut memang belum maksimal. Padahal sudah ada Peraturan Daerah (Perda), Peraturan Bupati (Perbup) dan Peraturan Desa (Perdes) yang mengatur ini. Ia tidak menafikan penerapan aturan tersebut belum maksimal.

Untuk memerangi masalah ini, Pemkab Lotim tidak bisa bekerja sendiri. Ia mendorong kolaborasi dengan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan para da'i untuk turun langsung menyosialisasikan bahaya dan larangan perkawinan anak.

"Kita berharap pesan ini disampaikan di setiap momentum, termasuk dalam ceramah-ceramah peringatan hari besar Islam. Komunikasi ini menjadi penting,” ujarnya.

2. Kades dan perangkat desa jadi benteng utama

Ilustrasi perkawinan anak. (dok. IDN Times)

Sementara itu, Direktur Lembaga Pengembangan Sumberdaya Mitra (LPSDM), Ririn Hayudiani, menegaskan bahwa perkawinan anak adalah perampasan hak anak atas pendidikan, kesehatan, dan masa depannya. Menurutnya, Kepala Desa (Kades) dan perangkat wilayah adalah benteng pertama yang paling strategis untuk mencegah praktik ini, karena mereka yang mengeluarkan izin dan mengetahui kondisi di lapangan.

“Siapa pun, atas nama agama atau budaya jika melakukan perkawinan anak bisa dijerat UU TPKS dengan denda Rp100 juta dan ancaman kurungan penjara 9 tahun,” tegasnya.

3. Bentuk kekerasan seksual

Ilustrasi kekerasan seksual anak (blog.eset.it)

Ririn menegaskan bahwa praktik ini bukan hanya pelanggaran administratif, melainkan bentuk kekerasan seksual yang secara tegas dilarang dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

“Perkawinan anak itu bagian dari TPKS. Klausul pasal sudah sangat jelas bahwa perkawinan usia anak merupakan kekerasan seksual,” tegasnya.

Dampak perkawinan anak adalah rantai masalah yang menghambat pembangunan. Nikah anak sebabkan kemiskinan, menjadi penyebab kasus kematian ibu dan anak, pemicu stunting dan anak putus sekolah.

Tubuh anak, ditegaskannya, tidak bisa dipaksa untuk persalinan dan berisiko menyebabkan trauma berat hingga kecacatan permanen.

"Kita berharap seluruh Peraturan Daerah (Perda) tidak lagi mandul dan dapat mengacu pada UU tersebut, dengan dukungan pengawasan aktif dari masyarakat dan aparat desa," pungkasnya.

Editorial Team