Himpitan Beban Buruh Migran Perempuan Generasi “Sandwich” dari NTB

Rentan jadi korban penipuan dan kekerasan

Mataram, IDN Times - Menjadi seorang janda bukan hal yang diinginkan oleh Sohmini. Perempuan berusia 37 tahun dengan tiga anak ini terpaksa mengadu nasib ke Malaysia. Setelah bercerai, dia tidak memiliki cukup uang untuk membiayai kehidupan anak-anak serta orang tuanya. Warga Desa Aikdewa Kecamatan Pringgasela Kabupaten Lombok Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) ini sudah dua tahun menjadi buruh migran di negara tetangga.

Sohmini bekerja sebagai petugas kebersihan di Rumah Sakit Institut Jantung Negara (IJN) Kuala Lumpur, Malaysia. Pada akhir September lalu, dia menandatangani perpanjangan kontrak kerja dengan manajeman rumah sakit itu.

“Sebenarnya rindu dengan anak-anak dan orang tua, tetapi saya belum bisa pulang. Selain karena situasi covid-19, di rumah Lombok juga saya tidak punya pekerjaan. Itulah yang menjadi alasan saya setuju memperpanjang kontrak kerja,” kata Sohmini saat diwawancarai melalui sambungan telepon, Kamis  (11/11/2021).

Pekerjaan Sohmini terbilang cukup bagus meski dengan upah standar. Saat pandemik covid-19 melanda dunia tahun 2020 lalu, tidak banyak yang bertahan untuk bekerja di rumah sakit. Bahkan beberapa rekannya meminta untuk pindah agar tidak bekerja di rumah sakit yang menjadi rujukan pasien covid-19 itu.

“Banyak yang takut terpapar covid-19. Apalagi pekerjaan kita membersihkan rumah sakit. Termasuk membersihkan ruang perawatan pasien covid-19,” ujarnya.

Sohmini mendapat upah sebesar RM 1.800 atau sekitar Rp6 juta setiap bulan. Upah itu digunakan untuk membayar sewa tempat tinggal, untuk makan dan minum serta transportasi. Dia menghabiskan kurang lebih Rp2 juta untuk biaya hidup dalam sebulan. Sedangkan sisanya sebanyak Rp4 juta dikirim untuk biaya hidup orang tua dan biaya sekolah anak-anaknya di Lombok.

Total ada enam orang yang dibiayai oleh Sohmini. Mereka adalah kedua orang tuanya, tiga orang anaknya dan satu orang keponakannya yang merupakan anak yatim. Sumber biaya satu keluarga ini berasal dari uang yang dikirimkan oleh Sohmini setiap bulannya. Dalam kondisi ini, Sohmini dapat dikategorikan sebagai generasi sandwich yang membiayai kehidupan orang tua, diri sendiri dan anak-anaknya.

Selain menjadi seorang ibu, Sohmini kini menyandang status sebagai kepala keluarga. Dia menjadi satu-satunya harapan bagi anak-anak dan orang tuanya untuk bisa menyambung hidup.

“Saya meninggalkan anak ketiga saya saat dia berusia dua tahun. Rasanya sangat sedih, karena seharusnya saya bisa membesarkan dia dengan penuh kasih sayang. Tetapi kalau saya hanya diam di Lombok, anak-anak saya tidak akan makan,” ujarnya.

Sumber nafkah utama bagi anak-anaknya berasal dari dia seorang. Sedangkan mantan suaminya tidak selalu memberikan biaya hidup bagi anak-anaknya. Sehingga dengan terpaksa Sohmini juga mengambil peran sebagai seorang ayah dan tulang punggung keluarga bagi anak-anaknya.

“Dia (mantan suami) ngasih belanja ke anak-anak kalau dia ingat saja. Tidak setiap bulan, jadi sangat kurang untuk biaya kehidupan mereka. Itulah mengapa akhirnya saya memberanikan diri menjadi tenaga kerja di sini (Malaysia),” akunya.

Rentan Ditipu oleh Calo

Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi NTB mencatat jumlah buruh migran legal yang terdaftar sejak tahun 2016 hingga 2020 sebanyak 251.558 orang. Dari jumlah itu, hampir 10 persen di antaranya merupakan buruh migran perempuan.

Pada tahun 2017 sebanyak 5.223 buruh migran perempuan berangkat ke berbagai negara. Kemudian pada tahun 2018 sebanyak 3.820 orang dan pada tahun 2019 sebanyak 2.161 orang. Jumlahnya mengalami penurunan yang signifikan sejak pandemik covid-19. Pada tahun 2020 sebanyak 121 orang dan hingga Oktober 2021 sebanyak 10 orang.

Penempatan buruh migran tersebar di 17 negara, termasuk di negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam. Saat ini, Malaysia masih menjadi primadona calon PMI asal NTB.

Kepala Disnakertrans Provinsi NTB I Gede Putu Aryadi mengatakan bahwa terdapat beberapa hal yang biasanya dihadapi oleh buruh migran perempuan. Mereka mudah ditipu karena rendahnya tingkat pendidikan, bahkan mereka juga mendapatkan kekerasan. Selain itu, kesiapan mental juga berpengaruh. Hal itu berkaitan dengan kesiapan mereka dalam beradaptasi dengan lingkungan baru.

Buruh migran perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga juga memiliki risiko yang lebih besar saat bekerja. Mereka juga rentan menjadi korban penipuan dan kekerasan.

“Umumnya, mereka (perempuan) sebagai tulang punggung keluarga itu ingin cepat berangkat dan ingin cepat dapat penghasilan. Sehingga mereka kurang teliti dalam mengikuti proses sebelum berangkat,” kata Aryadi.

Aryadi mengatakan bahwa permasalahan yang sering dialami oleh buruh migran perempuan asal NTB adalah menjadi korban calo, berangkat non-prosedural, pemalsuan dokumen, penganiayaan oleh majikan hingga upah yang tidak dibayar. Mereka juga kurang memiliki nilai tawar dalam pekerjaan. Sehingga mereka mudah dieksploitasi karena mayoritas dari mereka pasrah terhadap pekerjaan apa saja yang diberikan.

“Persoalan mereka itu kadang mereka ingin berangkat legal, tetapi ditipu oleh calo,” ujarnya.

Unit Pelaksana Teknis (UPT) Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Mataram mencatat sebanyak 58 persen PMI asal NTB merupakan orang dengan status pernikahan. Artinya ada 42 persen Pekerja Migran Indonesia (PMI) NTB yang berstatus lajang dan janda atau duda. Persoalan rumah tangga menjadi salah satu pemicu banyaknya warga NTB memutuskan menjadi buruh migran, terutama buruh migran perempuan.

UPT BP2MI Mataram juga berupaya untuk memberikan perlindungan terhadap buruh migran perempuan. Pada tahun 2020, jumlah buruh migran yang bermasalah sebanyak 1.421. Dari jumlah itu, buruh migran perempuan yang bermasalah sebanyak 639 orang sedangkan laki-laki sebanyak 782 orang.

Sementara hingga Oktober 2021, buruh migran bermasalah sebanyak 836 orang. Sebanyak 399 di antaranya adalah buruh migran perempuan dan sisanya laki-laki. Permasalahannya beragam, mulai dari keberangkatan non-prosedural, dipulangkan karena sakit, over kontrak hingga pemutusan hubungan kerja secara sepihak.

“PMI perempuan juga berisiko menjadi korban TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang). Ada juga yang bekerja tidak sesuai dengan yang ditawarkan di awal. Namun mereka tetap berkerja demi membayar hutangnya, biaya-biaya yang dikeluarkan sebelum berangkat,” kata Kepala UPT BP2MI Mataram, Abri Danar Prabawa, di Mataram, Kamis (11/11/2021).

Pada tahun 2020, sebanyak 66 calon buruh migran non-prosedural berhasil digagalkan keberangkatannya oleh BP2MI Mataram. Dari jumlah itu, 18 orang merupakan calon buruh migran perempuan. Sedangkan pada tahun 2021 jumlahnya meningkat tajam. Sebanyak 202 calon buruh migran berusaha berangkat dengan non-prosedural. Calon buruh migran perempuan yang berhasil digagalkan keberangkatannya sebanyak 98 orang.

Sementara untuk data kepulangan buruh migran yang dilayani oleh BP2MI sejak Januari hingga Oktober 2021 sebanyak 21.637 orang. Sebanyak 14.715 orang merupakan laki-laki dan 6.912 orang perempuan. Mereka dipulangkan dari 27 negara yang tersebar di Asia. Kepulangan terbanyak berasal dari Malaysia dengan jumlah 15.426 orang.

Sementara remitansi buruh migran asal NTB berdasarkan data Bank Indonesia pada tahun 2017 sebesar Rp1,55 triliun. Kemudian pada tahun 2018 sebesar Rp1,31 triliun. Pada tahun 2019 sebesar Rp1,21 triliun. Pada tahun 2020 sebesar Rp336,75 miliar dan hingga akhir Oktober 2021 sebesar Rp207,56 miliar. Remitansi mengalami penurunan yang signifikan sejak pandemi covid-19.

Himpitan Beban Buruh Migran Perempuan Generasi “Sandwich” dari NTB

Rentan Jadi Korban Kekerasan Fisik dan Seksual

Koordinator Wilayah Pusat Bantuan Hukum Buruh Migran NTB, Muhammad Saleh mengatakan bahwa buruh migran perempuan sangat besar risiko kerjanya. Selain rentan menjadi korban kekerasan fisik, mereka juga rentan menjadi korban pelecehan seksual. Bahkan mereka juga rentan menjadi korban perdagangan orang.

Saleh mengatakan bahwa hampir 100 persen perempuan yang menjadi buruh migran merupakan tulang punggung kaluarga. Umumnya mereka tidak ingin bekerja di luar negeri jika ada pekerjaan yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya di kampung halaman. Sebab kepergian perempuan untuk bekerja ke luar negeri banyak menimbulkan persoalan baru.

“Ada yang istrinya bekerja jadi buruh migran, eh suaminya di rumah selingkuh. Uang hasil kerja istrinya dipakai untuk selingkuh, ya habis,” ujarnya.

Saleh juga melihat rentannya perempuan menjadi korban perdagangan orang. Misalnya pada kasus Rabitah yang kehilangan ginjalnya saat akan bekerja di Qatar pada tahun 2014 lalu. Ada juga beberapa calon buruh migran perempuan yang akan dinikahkan begitu sampai di negara penempatan kerja.

“Ada juga itu yang dari sini sudah diurus semuanya (berkas-berkasnya), eh begitu sampai di Jakarta, dokumennya diubah entah bagaimana oleh oknum calo ini. Kemudian saat sampai di negara tujuan, ternyata akan dinikahkan,” kata Saleh.

Meski demikian, dia tidak menampik adanya buruh migran perempuan yang sukses bekerja di luar negeri. Hal itu menjadi harapan semua pihak, termasuk Saleh. Dia berharap semua buruh migran bisa sukses dan kembali dengan modal untuk membuka usaha dan lapangan pekerjaan yang layak.

“Kita sudah banyak melakukan pendampingan kasus buruh migran perempuan asal NTB. Persoalan perempuan bekerja di luar negeri ini memang sangat kompleks. Sehingga perlunya sinergi semua pihak untuk melakukan antisipasi agar keselamatan mereka terjamin,” kata Saleh.

Ada Ribuan Perempuan Kepala Keluarga di NTB

Sohmini menjadi salah satu dari ribuan perempuan sebagai kepala keluarga di Provinsi NTB. Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi NTB mencatat setidaknya ada 5.546 perempuan NTB menjadi kepala keluarga pada tahun 2021. Penyebabnya karena cerai mati dan cerai talak. Meski tidak semuanya menjadi PMI atau buruh migran, namun beban yang mereka dapatkan kurang lebih sama.

Kepala DP3AP2KB Provinsi NTB Husnanidiaty Nurdin mengatakan bahwa buruh migran perempuan memiliki risiko yang lebih besar daripada buruh migran laki-laki. Hal ini disebabkan karena perempuan dianggap lebih lemah dan lebih mudah untuk diperdaya.

Meninggalkan anak untuk diasuh oleh kakek dan neneknya dianggap bukan merupakan keputusan yang tepat. Apalagi jika anak yang ditinggalkan masih balita dan masih membutuhkan kasih sayang dari ibunya.

“Ya tetapi dilema juga, ya. Kalau pergi, kasihan anak. Kalau diam di rumah, enggak ada biaya untuk kebutuhan sehari-hari,” kata Eny.

Eny mengatakan bahwa buruh migran perempuan yang bekerja ke luar negeri rentan terhadap permasalahan ekonomi dan rumah tangga. Belum lagi persoalan keharmonisan keluarga dan pengaruhnya  terhadap perkembangan anak.

“Itulah mengapa diperlukan pembinaan pada keluarga PMI juga. Jadi bukan hanya PMI saja yang dibina,” ujar Eny.

Dalam upaya pembinaan pada keluarga buruh migran, baik yang masih berada di negara tujuan maupun yang sudah purna, Pemerintah Provinsi NTB telah membuat kelompok kerja bina keluarga PMI. Ini terdiri dari OPD (Organisasi Perangkat Daerah) lintas sektor, lembaga masyarakat setempat, organisasi wanita dan perwakilan dari perguruan tinggi.

DP3AP2KB Provinsi NTB mencatat bahwa di semua desa yang ada di NTB ini terdapat keluarga pekerja migran atau buruh migran. Sehingga Pemerintah Provinsi NTB akan bekerjasama dengan setiap kantor desa untuk melakukan sosialisasi terhadap warganya.

“Pemerintah Provinsi NTB akan selalu mendorong, memfasilitasi dan memberikan pendampingan dalam kebijakan, program dan kegiatan terkait bina keluarga migran di NTB,” kata Eny.

Pemerintah Provinsi NTB berupaya untuk memberikan sosialisasi terkait pentingnya pemberangkatan buruh migran perempuan dengan cara yang benar dan sesuai dengan aturan. Pemda juga telah membuat program berupa pelatihan-pelatihan kerja untuk menciptakan wirausahawan baru. Sehingga perempuan dapat bekerja dari rumah tanpa harus menjadi buruh migran dan meninggalkan anak-anaknya.

DP3AP2KB Provinsi NTB juga telah membuat program bagi PMI purna atau buruh migran perempuan yang sudah pulang ke kampung halamannya. Mereka diberikan pelatihan menjahit, pelatihan untuk mengelola keuangannya, kursus tata rias hingga pelatihan untuk melakukan trauma healing.

“Kita sudah melakukan upaya tersebut di NTB. Kedepannya kita akan menggandeng tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk melakukan sosialisasi di desa-desa,” kata Eny.

Himpitan Beban Buruh Migran Perempuan Generasi “Sandwich” dari NTBSUMBER

Baca Juga: BPS : 28,36 Ribu Orang NTB Menganggur Akibat Covid-19

Topik:

  • Linggauni

Berita Terkini Lainnya