Pimpinan Produksi Teater Kamar Indonesia Naniek Imtihan Taufan. (IDN Times/Muhammad Nasir)
Pimpinan Produksi Teater Kamar Indonesia Naniek Imtihan Taufan menjelaskan Hikayat Gajah Duduk digarap sekitar 6 bulan. Dia mengatakan pertunjukan Hikayat Gajah Duduk merupakan kritik terhadap kekuasaan yang serakah dan tidak peduli dengan kesejahteraan rakyat.
Karena rakyat muak kepada pemimpin yang serakah, maka mereka melakukan pemberontakan dan menggulingkan kekuasaan. "Makanya di adengan terakhir itu, seperti kejadian baru-baru ini. Bagaimana penjarahan terhadap pejabat. Itu terjadi karena muaknya masyarakat terhadap kekuasaan itu," kata Naniek.
Ketika seseorang diberikan amanah sebagai pemimpin, maka harus memikirkan kesejahteraan rakyatnya. Ketika masyarakat tidak mendapatkan kesejahteraan, mereka akan berontak dan menggulingkan kekuasaan.
"Sakitnya masyarakat terkumpul, sehingga pada akhirnya terjadi fenomena yang terjadi akhir-akhir ini yang digambarkan pada adegan terakhir," tutur Naniek.
Kritik sosial dan kekuasaan sangat kental dalam naskah Hikayat Gajah Duduk. Kekuasaan yang sarkas, menutup mata dan telinga dari situasi rakyat sebagai penyanggah utama kekuasaan. Dalam teater Hikayat Gajah Duduk, seorang pemimpin bernama Kalangkabo yang duduk di singgasana mewahnya, menyembunyikan keserakahan.
Dia menutup rapat-rapat, bungkusan di kursi kekuasaannya agar baunya tidak menyebar. Dia sadar betul, banyak yang mengejar bungkusan itu. Perkara bungkusan inilah yang membuat seisi panggung berebut memburu dan mengungkapkannya. Perkara bungkusan, menghadirkan konflik dan konfrontasi terbuka antara Kalangkabo dengan rakyatnya. Perkara bungkusan melibatkan perseteruan Kalangkabo dengan rakyatnya, dengan pewarta hingga istrinya sendiri.
“Teater Kamar Indonesia sengaja mengangkat Naskah Hikayat Gajah, sebab akan selalu kontekstual dengan situasi. Sebab, perkara kekuasaan ini akan hidup hingga akhir zaman,” kata Naniek.
Hikayat Gajah Duduk yang juga pernah dimainkan oleh Teater Kamar Indonesia tahun 2006, kali ini tampil berbeda. Mengusung konsep eksperimentasi, Hikayat Gajah Duduk berkolaborasi apik dengan seni tradisi Kemidi Rudat Terengan, Tanjung Lombok Utara.
Konsep eksperimentasi dalam garapan Hikayat Gajah Duduk memasukan unsur-unsur Kemidi Rudat yang nota bene berbasis seni tradisi, diangkat ke atas panggung teater modern. Management Teater Kamar Indonesia mengajak seniman tradisi Rudat berkarya bersama dalam Hikayat Gajah Duduk.
“Dalam garapan Hikayat Gajah Duduk ini, kami melibatkan seniman tradisi berkarya bersama di panggung teater modern,” ujar Naniek.
Eksperimentasi seni tradisi dan modern ini terlihat dalam seluruh pertunjukan. Dari sisi, kostum, Hikayat Gajah Duduk menampilkan kolaborasi unsur-unsur Rudat di beberapa bagian. Seperti kaos kaki tinggi, selempang, tanda pangkat, topi tarbus serta impresi cara berpakaian para aktor.
Sedangkan dalam garapan musik dan ilustrasinya, didominasi oleh musik dan ilustrasi Kemidi Rudat. Demikian pula unsur gerak rampak tari rudat yang di sertakan untuk membuka maupun menutup beberapa adegan Hikayat Gajah Duduk. Dalam beberapa narasi bahkan dialog Hikayat Gajah Duduk juga, syair-syair rudat digunakan untuk mengikat dan menekankan kisah yang sedang dimainkan.