KPK dan Pemprov NTB memasang plang di lokasi tambang emas ilegal di Sekotong Lombok Barat, Jumat (4/10/2024). (dok. KPK)
Samsudin menambahkan bahwa satu blok WPR seluas 25 hektare. Dalam satu blok WPR, dikelola tiga koperasi. Karena satu koperasi tambang maksimal mengelola lahan seluas 10 hektare. Sedangkan perorangan maksimal 5 hektare.
Dia menjelaskan Kementerian ESDM mengarahkan pengelola tambang rakyat diutamakan berbentuk koperasi, bukan perorangan. "Kita tampung masyarakat yang selama ini melakukan penambangan ilegal, dengan IPR bentuknya koperasi. Bentuknya bisa perorangan tapi sesuai arahan kementerian lebih baik berbasis koperasi. IPR itu koperasi yang diutamakan," terangnya.
Sebagaimana diketahui, KPK bersama Pemprov NTB menertibkan tambang emas ilegal di Sekotong pada Jumat (4/10/2024) lalu. Kepala Satuan Tugas Korsup Wilayah V KPK, Dian Patria menyebut banyak titik pertambangan emas tanpa izin (PETI) di Sekotong Lombok Barat.
Di sana ada stockpile atau tempat penyimpanan sementara emas yang disebut sebagai kebun emas. Emas yang dihasilkan sebanyak 3 kilogram per hari. Sehingga dalam sebulan omzet dari aktivitas tambang emas ilegal itu mencapai Rp90 miliar. Artinya dalam setahun omzetnya Rp1 triliun lebih.
"Berarti Rp1 triliun lebih per tahun, kerugian negara. Karena Rp1 triliun itu, gak ada royalti, iuran tetap, pajak gak ada. Masuk ke siapa itu?," tanya Dian.
Lokasi penambangan emas ilegal itu berada dalam konsesi perusahaan pertambangan PT Indotan Lombok Barat Bangkit (ILBB). ILBB dinilai melakukan pembiaran sehingga menyebabkan lahan konsesinya dicaplok untuk tambang emas ilegal.
Dian menyebut ILBB baru melapor ke Dirjen Minerba Kementrian ESDM pada Agustus 2024. KPK mendengar bahwa ILBB tidak pernah melapor ke aparat penegak hukum (APH) jika lahan konsesinya dicaplok pihak lain untuk menambang emas secara ilegal.
Dian menambahkan KPK memberikan atensi terkait penanganan kasus WNA Cina yang menambang emas secara ilegal di Sekotong Lombok Barat. Pascapembakaran kamp WNA Cina di Sekotong beberapa waktu lalu, keberadaannya sudah tidak diketahui. Pihaknya akan berkoordinasi dengan Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM. Selain itu, KPK juga akan berkoordinasi dengan Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker).