Ilustrasi hukum. (dok. IDN Times)
Direktur Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH) Universitas Mataram ini menjelaskan proses pencarian keadilan oleh korban. Pada 25 Februari 2023 sekitar pukul 20.47 WITA, korban bersama orangtuanya mendatangi hotel tempat korban PKL untuk mengklarifikasi dan meminta pertanggungjawaban terlapor dan pemilik hotel. Di mana, sebelumnya terlapor mengirim pesan lewat WA kepada korban, bahwa terlapor ingin bertemu korban.
Ketika bertemu, ada pengakuan dari terlapor bahwa telah 2 kali melakukan pelecehan seksual ke korban dan meminta maaf. Pengakuan terlapor tersebut sempat direkam oleh kakak korban inisial DJ yang saat itu berada di Australia sambil melakukan video call dengan korban menggunakan HP merk Iphone XR warna hitam.
Pemilik hotel inisial M bukannya memberikan sanksi kepada terlapor yang merupakan manajer di hotel miliknya yang telah melakukan kekerasan seksual kepada korban. Namun justru menyatakan bahwa tidak pernah ada kejadian pelecehan seksual dan menuduh korban telah melakukan perbuatan fitnah dengan alasan sakit hati karena dipecat tidak melanjutkan PKL di hotel miliknya.
Selanjutnya, pada 28 Maret 2023, korban dan keluarganya pergi ke kantor UTPD PPA dengan didampingi oleh Konselor dan LPA Lombok Utara. Tanggal 31 Maret 2023, korban melaporkan ke Polres Lombok Utara dengan didampingi oleh UPTD PPA dan LPA Lombok Utara atas dugaan tindak pidana kekerasan seksual yang dialaminya. Tanggal 4 April 2023, rekan korban inisial T diperiksa sebagai saksi untuk laporan korban di Polres Lombok Utara.
Pada 10 April 2023, korban mendapat pesan WA dari Kanit PPA Polres Lombok Utara menerima surat SP2HP yang menerangkan bahwa laporan tanggal 31 Maret 2023 dugaan pelecehan seksua telah diterima dan dilakukan penyelidikan. Tanggal 11 April 2023 Polres Lombok Utara melakukan rekonstruksi di hotel tempat kejadian perkara.
Kemudian pada 4 Mei 2023, korban melalui chat WA dari Anggota Unit PPA Polres Lombok Utara menerima SP2HP yang pada pokoknya laporan korban belum cukup bukti. Dalam SP2HP dijelaskan bahwa Penyidik atas laporan korban telah melakukan pemeriksaan terhadap pelapor, saksi M, saksi inisial T, saksi inisial S dan terlapor.
Kemudian melakukan pengecekan dan observasi terhadap TKP dan melakukan pengecekan terhadap CCTV di bagian dapur hotel, yang mana CCTV tersebut sudah lama tidak berfungsi. Selanjutnya penyidik menyimpulkan belum menemukan alat bukti terkait dugaan tindak pidana pelecehan seksual. Serta diterangkan oleh saksi inisial T tidak pernah melihat kejadian pelecehan seksual yang dialami korban, melainkan dirinya juga adalah korban. Penyidik akan melanjutkan kembali proses jika ada saksi-saksi atau bukti-bukti lain yang mendukung laporan.
Joko mengatakan tidak diperiksanya beberapa orang yang berhubungan dengan kejadian kekerasan seksual yang dialami korban tampak janggal. Mereka adalah orangtua korban dan keluarga korban sebagai saksi padahal mengetahui keadaan korban sesaat setelah kejadian dan mendengar pengakuan dari terlapor dan bersesuaian dengan keterangan saksi lain.
Menurutnya, penyidik telah melanggar ketentuan Pasal 1 angka 16 UU TPKS terkait pengertian saksi, bahkan dalam Pasal 25 UU TPKS ditentukan bahwa keterangan seorang korban sebagai saksi disertai dengan satu alat bukti sah sudah cukup untuk membuktikan bahwa terlapor bersalah.
Selanjutnya ketentuan lain yang dilanggar penyidik yaitu tidak dipertimbangkannya video rekaman dari HP yang berisi suara pengakuan dari terlapor dan beberapa screenshot pesan singkat via WA sebagai informasi dan dokumen elektronik dan dijadikan barang bukti yang berhubungan dengan tindak pidana yang dilaporkan korban yang bersesuaian keterangan saksi lain.
Serta penyidik tidak mempertimbangkan untuk pemeriksaan korban sebagai saksi pada tahap penyidikan melalui perekaman elektronik yang dapat digunakan sebagai alat bukti tambahan sebagaimana ketentuan Pasal 24 ayat (1) huruf a, b dan c dan ayat (2) UU TPKS.
"Hal lainnya yang dilanggar Penyidik cukup fatal yaitu tidak merujuk psikolog klinis untuk memeriksa korban yang kemudian hasil pemeriksaan dituangkan dalam surat keterangan psikolog klinis sebagai alat bukti surat sebagaimana ketentuan Pasal 24 ayat (3) huruf a UU TPKS dan tidak dilakukannya pemeriksaan Ahli Pidana terkait tindak pidana kekerasan seksual," kata Dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram ini.
Pada 7 Juni 2023, korban membuat status di media sosial Facebook miliknya karena kesal dengan bantahan terlapor. Padahal sebelumnya di hotel dan dihadapan korban dan saksi lainnya terlapor mengaku dan meminta maaf. Selanjutnya, beberapa hari kemudian sekitar 13 Juni 2023 korban menghapus status di FB tersebut.
Tanggal 23 Agustus 2023, korban melalui pesan WA dari saksi i isial T yang didapat dari anggota PPA Polres Lombok Utara menerima Undangan Wawancara Klarifikasi Perkara tanggal 22 Agustus 2023. Pada pokoknya memanggil korban untuk diperiksa sebagai saksi tanggal 25 Agustus 2023 atas laporan saksi T yang juga mengalami kekerasan seksual dari terlapor dengan laporan tanggal 28 Juni 2023.