Ilustrasi dropping air bersih. (ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah)
Selain kondisi rumah, Asia juga mengeluhkan kesulitan air bersih. Selama ini, ia bersama warga pesisir lain harus merogoh kocek untuk membeli air yang layak untuk dikonsumsi. Jika kondisi kantong menipis, bahkan mereka harus mengambil air wakaf di Desa Ule Kecamatan Asakota.
"Memang di sini ada airnya, cuma kadar garamnya tinggi serta agak bau. Air itu hanya boleh digunakan untuk mencuci, tidak untuk diminum," bebernya.
Sementara bantuan air dari pemerintah Kota Bima sejak Januari 2022 hingga akhir Agustus ini belum pernah mereka terima. Padahal, mereka sudah mengetahui jika di wilayah setempat ditetapkan sebagai lokasi rawan krisis air bersih.
"Seingat saya belum pernah. Mungkin ada di wilayah lain yang pernah diberikan air bersihnya," tutur Asia.
Senada juga disampaikan warga lain bernama Sri Juhari. Dia mengaku menempati rumah tidak layak huni, hanya beratap seng dan berdinding anyaman bambu.
Tidak banyak yang diharapkan dari ibu yang merangkap kepala keluarga ini, Pemkot Bima sekiranya dapat memberikan perhatian lebih ke warga yang menempati pesisir pantai. Terutama pembebasan lahan yang kini mereka tempati sudah bertahun-tahun.
"Lahan yang kami tempati saat ini milik PT Pelindo. Hal terpenting yang kami harapkan Pemkot bisa bebaskan lahan ini, seperti janjinya saat Pilkada beberapa tahun silam," harap Sri Juhari.