Kekerasan Perempuan dan Anak Tinggi, Aktivis Tolak Peleburan DP3AP2KB

Mataram, IDN Times - Aliansi Pemerhati Perempuan dan Anak NTB menolak peleburan Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Kependudukan dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) ke Dinas Sosial yang sedang digodok Pemprov NTB. Aliansi yang merupakan gabungan organisasi perempuan dan anak tersebut mendatangi Kantor Gubernur NTB, Jumat (2/3/2025).
"Kami menolak rencana peleburan DP3AP2KB ke dalam dinas lain dan mendesak Pemerintah Provinsi NTB untuk menghentikan langkah ini serta mempertimbangkan alternatif yang lebih berpihak pada kepentingan perempuan dan anak," kata Koordinator Aliansi Pemerhati Perempuan dan Anak NTB Nurjanah di Mataram, Jumat (21/3/2025).
1. Deretan alasan menolak peleburan DP3AP2KB NTB

Nurjanah menyampaikan alasan Aliansi Pemerhati Perempuan dan Anak NTB menolak peleburan DP3AP2KB ke Dinas Sosial. Dia mengatakan peleburan tersebut tidak berlandaskan kajian mendalam.
Kebijakan ini tidak didasarkan pada kajian empiris yang mempertimbangkan kondisi faktual perempuan dan anak di NTB. Data menunjukkan bahwa angka perkawinan anak di NTB meningkat dari 16,23% pada tahun 2022 menjadi 17,32% pada tahun 2023, jauh di atas rata-rata nasional yang menurun menjadi 6,92% pada tahun 2023.
Selain itu, pada tahun 2022, tercatat 1.022 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak dengan 672 kasus di antaranya melibatkan anak-anak. Data ini menunjukkan bahwa permasalahan perempuan dan anak di NTB masih sangat serius, sehingga diperlukan penguatan peran DP3AP2KB, bukan pelemahan dan penyempitan serta peleburan dalam satu dinas.
Alasan berikutnya, beban berat DP3AP2KB dalam Pengarusutamaan Gender (PUG), IPG, dan IDG DP3AP2KB memiliki peran sentral dalam pengarusutamaan gender (PUG), peningkatan Indeks Pembangunan Gender (IPG), dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG).
Pengarusutamaan Gender (PUG) adalah amanah Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000, yang mengharuskan setiap Organisasi Perangkat Daerah (OPD) mengintegrasikan perspektif gender dalam kebijakan dan programnya.
DP3AP2KB saat ini menjadi dinas koordinasi utama dalam pelaksanaan PUG, termasuk dalam penyediaan Anggaran Responsif Gender (ARG). Jika DP3AP2KB dilebur ke dalam Dinas Sosial, maka koordinasi lintas sektor akan melemah, dan pelaksanaan PUG di NTB berisiko tidak efektif.
Dia mengatakan IPG dan IDG NTB masih rendah, menandakan bahwa kesetaraan gender belum optimal. IPG NTB pada tahun 2023 berada di bawah rata-rata nasional, menunjukkan masih adanya ketimpangan akses perempuan terhadap pendidikan, kesehatan, dan ekonomi.
"Jika DP3AP2KB dilebur, maka upaya peningkatan IPG dan IDG akan semakin tidak terakomodasi karena tidak ada dinas khusus yang bertanggung jawab secara penuh terhadap peningkatan indikator gender ini," terangnya.
2. Dinas Sosial akan kewalahan

Menurutnya, beban kerja Dinas Sosial akan semakin berat terutama dalam situasi krisis dengan peleburan ini. Dinas Sosial memiliki peran besar dalam menangani berbagai krisis sosial, termasuk bencana alam, konflik sosial dan dampak ekonomi bagi kelompok rentan.
NTB adalah daerah yang sering mengalami bencana alam, seperti gempa bumi dan banjir. Dalam situasi darurat, Dinas Sosial bertanggung jawab atas penyediaan bantuan sosial, shelter pengungsi, dan layanan bagi korban bencana.
Jika DP3AP2KB dilebur ke dalamnya, maka Dinas Sosial akan kewalahan dalam menangani beban tambahan terkait perempuan dan anak dalam situasi krisis.
"Dalam kondisi krisis, perempuan dan anak sering menjadi kelompok yang paling rentan terhadap eksploitasi dan kekerasan. Jika dinas yang menangani isu ini dilemahkan melalui peleburan, maka respon terhadap kebutuhan khusus perempuan dan anak dalam situasi krisis akan semakin lambat dan tidak maksimal," katanya.
DP3AP2KB seharusnya ditingkatkan peran koordinasi kelembagaan dan fungsinya agar mampu menjadi leading sector dalam perlindungan dan pemberdayaan perempuan dan anak. Peleburan ini bertentangan dengan Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender yang menegaskan pentingnya koordinasi gender di tingkat propinsi hingga kabupaten/kota.
Penciutan DP3AP2KB atas nama efisiensi akan menjadi preseden buruk bagi kerja- kerja pemerintah yang dianggap tidak serius terhadap isu perempuan dan anak. Bagi kerja organisasi masyarakat sipil yang bergerak di isu perempuan dan anak, banyak LSM di NTB yang berfokus pada isu ini, yang menunjukkan bahwa permasalahan perempuan dan anak masih kompleks dan memerlukan perhatian serius.
"Kebijakan ini juga dapat mengurangi kepercayaan lembaga donor terhadap komitmen pemerintah dalam menangani isu gender," tambahnya.
Alih-alih meleburkan DP3AP2KB, kami merekomendasikan beberapa alternatif kebijakan. Pertama, menguatkan DP3AP2KB sebagai dinas koordinasi utama dalam isu perempuan dan anak, dengan meningkatkan anggaran dan kapasitasnya.
"Jika ingin efisiensi, lakukan pemisahan peran dengan menyederhanakan DP3AP2KB menjadi DP3A (Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) dan mengalihkan Pengendalian Penduduk & KB ke dinas lain yang lebih relevan," jelasnya.
Kedua, mengaktifkan focal point gender di semua OPD sebagai bentuk kepatuhan terhadap Inpres No. 9/2000. Ketiga, memperkuat kapasitas UPTD PPA dengan alokasi anggaran dan tenaga kerja yang lebih memadai, bukan justru melemahkannya melalui peleburan yang berisiko menurunkan efektivitas layanan.
"Peleburan DP3AP2KB ke dalam Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan bukanlah solusi yang tepat untuk meningkatkan efektivitas layanan bagi perempuan dan anak. Aliansi LSM meminta Gubernur NTB untuk menghentikan rencana ini dan mempertimbangkan opsi lain yang lebih berpihak pada hak-hak perempuan dan anak," desaknya.
3. Alasan Pemprov NTB melebur DP3AP2KB ke Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan

Terpisah, Kepala Biro Organisasi Setda NTB Nursalim menjelaskan alasan Pemprov melebur DP3AP2KB ke Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan. Dengan digabungnya urusan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak ke Dinas Sosial maka penanganannya lebih komprehensif.
"Penanganannya menjadi lebih terkontrol ketika dalam satu dinas. Kalau parsial seperti ini, sinkronisasi dan koordinasi lamban. Sehingga akan memakan waktu yang tidak efektif. Ketika ditangani satu OPD maka lebih cepat penanganannya, tidak perlu koordinasi lagi dengan OPD lain," jelasnya.
Terkait beban kerja Dinas Sosial yang akan semakin berat, Nursalim mengatakan harus dilakukan analisa jabatan dan analisa beban kerja. "Sehingga dari kajian kami dari tim lebih efektif ketika gabung," tandasnya.