Keindahan Tari Lenggo Warisan Budaya dari Masyarakat Bima

Pemda diharapkan edukasi pegiat tari lenggo

Bima, IDN Times - Kabupaten Bima, di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), kaya akan warisan budaya yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini. Salah satunya adalah tari lenggo, sebuah tarian tradisional yang memikat.

Tari lenggo pertama kali muncul pada masa pemerintahan Sultan Abdul Kahir sekitar tahun 1680. Awalnya, tari lenggo hanya dipentaskan sebagai bagian dari pengiringan Hanta U'a Pua di Kesultanan Bima.

Tarian ini melibatkan empat pasang penari, terdiri dari empat penari pria dan empat penari wanita. Mereka berpadu dalam gerakan yang khas, disertai dengan iringan musik tradisional yang menggema sepanjang penampilan.

1. Pergeseran seni tari yang sudah berubah oleh zaman

Keindahan Tari Lenggo Warisan Budaya dari Masyarakat BimaFoto para penari Tari Lenggo (Dok/Istimewa)

Menurut budayawan Bima Fahrurizki, tari lenggo tetap dijaga dan dipersembahkan oleh pemerintah daerah. Kini, penampilannya tidak hanya terbatas pada pengiringan Hanta U'a Pua, tetapi juga sering ditampilkan di kantor pemerintah saat menyambut tamu dari luar daerah atau dalam berbagai festival budaya.

Namun, dalam perkembangannya, makna historis tari lenggo mengalami perubahan yang signifikan. Dahulu, tarian ini memiliki nilai historis yang kuat dan penarinya harus berasal dari masyarakat asli Melayu. Namun, kini, semua warga memiliki kesempatan untuk turut serta dalam penampilannya.

"Pergeseran makna dan nilai tarian ini sungguh signifikan. Dahulu, hanya orang Melayu asli yang dapat menjadi penari, namun kini, siapa pun bisa berpartisipasi karena mungkin sudah tidak ada lagi yang murni dari kelompok Melayu," ujar Fahrurizki dalam konfirmasinya pada Sabtu (27/4/2024).

Baca Juga: Oknum Pegawai BNI Cabang Pontianak Terseret Kasus Korupsi Rp14 Miliar

2. Tubuh penari tidak diwarnai menggunakan kunyit

Keindahan Tari Lenggo Warisan Budaya dari Masyarakat Bimapixabay

Tidak hanya itu, pola penampilan para penari juga telah mengalami perubahan. Di masa lalu, delapan penari memakai baju bodo berwarna kuning dan menampilkan gerakan berpasangan.

Delapan penari ini melambangkan nggusuwaru, atau delapan arah mata angin menurut tradisi lokal. Warna kuning pada baju mereka melambangkan kejayaan Islam dan kerajaan.

Sebelumnya, di beberapa bagian tubuh para penari diberi warna kuning dengan menggunakan kunyit. Ketika mereka tampil, mereka dikelilingi oleh empat Ina (ibu) Lenggo dari sisi utara, selatan, timur, dan barat.

"Namun sekarang, penggambaran Ina Lenggo sudah tidak ditampilkan lagi. Selain itu, penari bebas memilih model baju yang sesuai dengan selera masing-masing, dan penggunaan kunyit untuk memberi warna kuning pada tubuh mereka telah diganti dengan menggunakan kertas berwarna kuning yang ditempelkan," jelasnya.

3. Pemda diminta edukasi pegiat tari lenggo

Kemudian, terdapat perubahan dalam jadwal pertunjukan tari lenggo. Pada masa lampau, pertunjukan tari lenggo biasanya diselenggarakan pada bulan Maulid Nabi Muhammad SAW, yang dianggap sebagai waktu yang paling sakral.

"Di masa lalu, tari lenggo sering dipentaskan selama bulan Maulid Nabi Muhammad, namun sekarang sudah jarang terjadi selama bulan tersebut," ungkapnya.

Dalam konteks pergeseran ini, peran pemerintah daerah dianggap penting untuk mengembalikan nilai dan makna asli dari tari lenggo. Terutama, pendekatan edukatif kepada para pegiat atau pelaku tari lenggo menjadi krusial.

Salah satu langkah yang bisa diambil adalah dengan menyelenggarakan forum resmi yang membahas berbagai aspek terkait tari lenggo. Hal ini akan memungkinkan para pegiat tari tradisional untuk memperbaiki gerakan, penampilan, serta memperdalam pemahaman tentang makna dan filosofi di balik tari lenggo.

"Langkah semacam itu sangat penting, agar nilai dan makna tari lenggo tetap terjaga di masa yang akan datang," tegas Fahrurizki.

Baca Juga: Bandara Supadio di Pontianak Diturunkan Statusnya Menjadi Domestik

Topik:

  • Sri Wibisono

Berita Terkini Lainnya