Direktur Fitra NTB, Ramli Ernanda (dok. Ramli Ernanda)
Sebelumnya, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) NTB menanggapi soal dugaan transfer fee proyek DAK bidang pendidikan yang sedang heboh di NTB. Fitra NTB berpandangan pengerjaan proyek DAK Fisik metode swakelola sarat dengan potensi permainan karena dilaksanakan dengan tertutup.
Direktur Fitra NTB, Ramli Ernanda mengatakan perlu ada argumentasi yang clear terkait pemilihan metode pengadaan barang dan jasa (PBJ) proyek DAK Fisik menggunakan model swakelola. Karena melihat item pekerjaannya yang lebih tepat dilakukan melalui penyedia.
Merujuk Peraturan LKPP No. 3 Tahun 2021, swakelola dilaksanakan manakala barang yang dibutuhkan tidak dapat disediakan oleh pelaku usaha, atau lebih efektif dan efisien jika dilakukan oleh pelaksana swakelola. Atau dalam rangka mengoptimalkan pemanfaatan sumbe rdaya teknis yang dimiliki Pemda atau barangnya bersifat rahasia.
"Pertama, kami menilai metode swakelola dalam pengerjaan DAK Fisik ini sangat sarat dengan potensi permainan karena dilaksanakan dengan tertutup," kata Ramli.
Ramli menduga PBJ DAK Fisik dengan model swakelola juga rentan sebagai ajang bagi-bagi 'kue' dengan oknum tertentu. Model swakelola memberikan peluang bagi pemilik kewenangan dalam pengelolaan DAK mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai pengawasan.
Pagu DAK Fisik di Provinsi NTB tahun 2022 sebesar Rp2,27 triliun lebih, naik 18,80 persen dibanding tahun 2021. Kontribusi kenaikan yang signifikan terjadi pada Kabupaten Dompu 116,02 persen, Kabupaten Sumbawa 83,b0 persen, Kota Bima 33,54 persen, Provinsi NTB 24,22 persen dan Kabupaten Lombok Timur 20,11 persen.
Sampai dengan 30 Juni 2022, penyaluran DAK Fisik terealisasi sebesar 365,98 miliar. Kinerja DAK Fisik sebesar 16,12 persen lebih tinggi dari kinerja tahun 2021 yakni 14,20 persen. Kinerja DAK Fisik di NTB juga lebih tinggi dari kinerja rata-rata nasional sebesar 8,90 persen serta kinerja Penyaluran DAK Fisik lingkup Provinsi NTB berada pada peringkat 2 nasional. Meskipun demikian, terdapat 2 Pemda dengan persentase di bawah 10 persen, yaitu Kabupaten Bima 9,88 persen dan Kota Mataram 6,95 persen.