Ketua PWNA NTB, Miftahul Jannah. (Dok. FJPI NTB)
Sementara itu, Akademisi sekaligus Ketua PWNA NTB Miftahul Jannah mengatakan setelah membedah berbagai program kerja yang sudah tertuang di dalam visi–misi ketiga pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur NTB, tidak ada satu pun di antaranya yang menjelaskan secara eksplisit dan jelas mengenai peran perempuan.
“Dari ketiga calon, tidak menyebutkan secara jelas dan spesifik program kerja. Padahal perempuan salah satu pemilih produktif. Kalau melihat jumlah penduduk NTB sekarang, rasionya 51 persen perempuan dan 49 persen laki-laki. Di DPT pun masih didominasi perempuan, jadi pemilih perempuan sangat menjanjikan,” jelasnya.
Kondisi ini sangat menyita perhatiannya, bahkan kerap menimbulkan tanda tanya. “Apakah kemudian perempuan NTB tidak memiliki kapasitas? Di dalam politik, ekonomi dan sosial? Apakah perempuan NTB tidak layak untuk menempati posisi strategis?,” ujar Miftah.
Menurutnya, apabila perempuan tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan untuk pembangunan daerah, hal tersebut jelas tidak dibenarkan. Tentu ini akan berdampak pada Indeks Pemberdayaan Gender (IDG). Dari hasil survei 2022-2023, IDG NTB berada di posisi 34.
“Kita masih di bawah Papua, IDG ini dilihat dari partisipasi perempuan dalam ranah politik, pendidikan dan ekonomi,” terangnya.
Sedangkan keterwakilan perempuan di parlemen, juga berada di posisi 34 dari 34 provinsi dan mendapatkan 1,5 poin. Berikutnya, Indeks Ketimpangan Gender, Bumi Gora berada di posisi pertama dari 34 provinsi, memiliki 0,6 poin. Artinya, menurut Miftah, ada kesenjangan yang sangat jauh antara keterlibatan perempuan dengan laki-laki.
“Saya rasa ini pertanyaan untuk kita semua, kenapa para calon tidak menjadikan persoalan perempuan ini sebagai isu krusial, padahal sebenarnya isu perempuan adalah isu yang paling meningkat saat sekarang,” kata Miftah.
Menurut Miftah, visi-misi yang dihadirkan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur NTB ini masih bersifat umum. Belum menyentuh hal yang paling fundamental perihal perempuan.
Miftah menyebutkan ada sejumlah kemungkinan yang menyebabkan hal tersebut masih terjadi. Paling mendekati itu, mereka (para paslon) tidak memiliki pengalaman pribadi dengan isu-isu perempuan.
“Kekerasan seksual, pernikahan dini, tingginya angka stunting, isu perempuan sebagai kepala keluarga, isu pekerja migran Indonesia, ini semuanya berkenaan dengan perempuan,” ujar Miftah.
Menurutnya, memerhatikan kepentingan perempuan harus menjadi isu utama. Karena perempuan pasti menjadi eksekutor program kerja pemerintah di tingkat akar rumput.
“Sebenarnya memasukkan perempuan di dalam isu program kerja bukan sesuatu yang tidak mungkin, dan ini sebenarnya memberikan nilai tawar yang lebih besar karena perempuan adalah pelaksana. Tetapi belum dimaksimalkan,” tandasnya.