Ilustrasi kekerasan seksual (IDN Times/Mardya Shakti)
Dalam keterangan resminya pada 24 April 2025, Komnas Perempuan mencatat kekerasan terhadap perempuan sebanyak 4.178 kasus sepanjang 2024. Sedangkan kekerasan seksual yang terjadi di Perguruan Tinggi sepanjang tahun 2021-2024 terdapat 82 kasus yang dilaporkan ke Komnas Perempuan.
Ketua Sub Komisi Pendidikan Komnas Perempuan Devi Rahayu menyatakan bahwa pembentukan Satgas PPKPT merupakan langkah strategis dalam merespons UU TPKS dan upaya pencegahan dan penanganan kekerasanseksual di lingkungan kampus. Maraknya kasus-kasus kekerasan seksual di lingkup kampus sebenarnya merupakan fenomena gunung es yang tampak banyak di permukaan padahal di bawahnya lebih banyak lagi kasus yang terjadi.
Selain itu, Devi mengatakan bahwa maraknya kasus dapat dimaknai secara dua sisi, yaitu sebagai indikator meningkatnya tingkat kesadaran korban untuk berani melapor karena keberadaan Satgas PPKPT pada lingkup kampus namun merupakan sebuah ironi karena terjadi pada ruang publik yang menjunjung etik dan moral.
Keduanya tetap menunjukkan urgensi perlunya evaluasi dan penguatan mekanisme perlindungan di lingkungan perguruan tinggi. Devi menyebut sudah terbentuk 1.724 Satgas TPKS (sekarang Satgas PPKPT) pada tahun 2024. Komnas Perempuan juga telah melakukan Survei terkait peran Satgas PPKS serta dukungan yang di dapat dari pimpinan. Didapatkan data, bahwa adanya dukungan dari pimpinan dalam melakukan upaya pencegahan dan penanganan kasus sebesar 53 persen sedangkan 23 persen mengeluhkan dukungan yang minim.
Dukungan dan keberpihakan pimpinan Perguruan Tinggi terhadap keberatan dan kinerja Satgas PPKPT/PPKKS menjadi faktor penting dalam efektivitas penanganan kasus kekerasan seksual. Secara implementasi adanya penunjukan anggota Satgas oleh rektor atau pimpinan perguruan tinggi, berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan penguatan relasi kuasa, terutama apabila pelaku kekerasan adalah pejabat atau bagian dari pimpinan kampus itusendiri. Situasi ini membuka celah bagi potensi penyalahgunaan wewenang dan impunitas.
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menilai banyak perguruan tinggi di Indonesia gagal menjalankan amanat pembentukan Satgas PPKPT secara serius. Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, menyebut sebagian besar kampus justru membentuk Satgas secara reaktif dan seremonial tanpa kesungguhan dalam penegakan aturan.
“Sebagian besar kampus terlambat. Jika pun membentuk Satgas, sifatnya hanya reaktif dan seremonial. Kultur kekerasan, terutama senioritas dan patriarki, masih mendominasi dan bahkan dipertahankan oleh beberapa pimpinan kampus,” kata Ubaid, Minggu (26/10/2025).
Menurutnya, minimnya kemauan politik (political will) dari pimpinan kampus dan ketakutan untuk membuka aib institusi menjadi penyebab utama lambatnya pembentukan Satgas PPKPT. Ia menilai banyak perguruan tinggi masih berupaya menjaga citra lembaga, alih-alih melindungi korban kekerasan.
“Kampus belum bentuk Satgas PPKPT karena takut membuka aibnya sendiri. Padahal transparansi dan keberanian menghadapi masalah adalah bagian dari tanggung jawab moral kampus,” tegasnya.
Bagaimana gambaran kasus kekerasan di lingkungan kampus yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia?
Di Jawa Timur, Universitas Negeri Surabaya (Unesa) menangani 8 kasus perundungan sepanjang 2025. Kepala Sub Direktorat Pencegahan, Penanganan Kekerasan dan Isu Strategis (PPKIS) Unesa, Imam Pasu Purba, Jumat (24/10/2025) mengatakan, kasus kekerasan yang paling sering dilaporkan di PPKIS adalah kekerasan seksual dan kekerasan dalam hubungan kekasih.
Namun, tidak memungkiri PPKIS juga kerap menerima kasus perundungan antara mahasiswa. Kasus perundungan yang kerap dilaporkan adalah kekerasan fisik dan psikis yang dilakukan berulang. Perundungan yang paling menonjol adalah mengucilkan, penolakan, intimidasi, membuat perasaan tidak nyaman dan menghina di depan umum.
"Satu korban yang kami dampingi misalnya, dia dirundung dia cenderung menutup diri dan kemudian merasa tidak nyaman ketika datang ke kampus," ungkap dia.
Tanda-tanda awal menjadi korban kekerasan yang paling sering ditemui biasanya adalah sering menutup diri. Kemudian, lebih sering murung dari biasanya. Dari 8 kasus yang ditangani PPKIS yang ditangani Unesa, dampak psikologi yang ditimbulkan mayoritas masih kategori ringan. Tidak ada kasus yang sampai menimbulkan trauma.
Sementara itu, Satgas PPKPT Universitas Brawijaya (UB), Malang, Jawa Timur, menangani 6 kasus kekerasan, baik kekerasan fisik, kekerasan psikis, perundungan, kekerasan seksual, intoleransi/diskriminasi, dan kebijakan yang mengandung kekerasan. Ketua Satgas PPKPT Universitas Brawijaya, Ns. Muhammad Sunarto, mengungkapkan tingkat kekerasan di lingkungan mahasiswa UB masuk dalam kategori tinggi.
Meskipun tidak mau mengungkapkan jumlahnya, namun dia mengatakan ada peningkatan tren kekerasan di kalangan mahasiswa. Peningkatan ini disebabkan mahasiswa tidak berani speak up saat jadi korban.
"Kalau tidak ada itu bukan berarti tidak ada kasus, kasus kekerasan dipandang tinggi karena kondisi ini seperti fenomena gunung es, yang mana terlihat kecil di atas namun sebenarnya banyak kasus yang tidak terlihat di bawah," ungkapnya.
Di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung, Jawa Barat, kasus kekerasan menjadi persoalan serius. Ketua Satuan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan dan Isu Kritis (SPPIK) UPI, Hani Yulindrasari menyebut sudah ada tiga dosen yang diberhentikan. Selain itu, ada juga mahasiswa yang diskorsing dalam pembelejaran karena dianggap terbukti melakukan kekerasan khususnya kekerasan seksual.
Bagian Penanganan Satgas PPK Institut Teknologi Bandung (ITB), Rr. Diah Asih Purwaningrum S.T., M.T., Ph.D. mengatakan bahwa penanganan kasus kekerasan di ITB sudah dilakukan secara optimal. Ini terlihat dari angka pelaporan yang meningkat setiap tahunnya.
Meski demikian, Diah menyadari bahwa kasus kekerasan ini kampus bisa jadi lebih besar, karena biasanya hal seperti ini seperti gunung es di mana yang terlihat atau yang melapor masih sedikit dari kejadian sebenarnya.
"Untuk kasus jika ada yang melakukan cat calling saja dari pegawai yang dikontrak kami bisa langsung keluarkan karena takut kejadian pada korban lainnya," papar Diah.
Menurutnya, ITB pernah mengeluarkan mahasiswa yang terbukti melakukan kekerasan secara berulang dan bahkan tidak merasa ada penyesalan. Yang lebih parah di mana mahasiswa tersebut justu menantang dan minta diberi ruang untuk pembuktian ulang.
"Tapi dukungan dari rektor kami jelas dan ruang itu tidak kami berikan," ungkap Diah.
Di Sumatra Selatan (Sumsel), kasus pelecehan seksual menimpa mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas (FISIP) Universitas Sriwijaya (Unsri). Pelecehan bermula dari seorang dosen yang mengajak seorang mahasiswa bimbingannya ke hotel untuk merevisi tugas akhir dan modus mengerjakan skripsi. Dosen tersebut, bahkan meminta mahasiswa bimbingannya membawa baju renang ke hotel.
Kepala Kantor Humas dan Protokol Unsri, Nurly Meilinda, menyatakan, kampus sudah berkoordinasi dengan pimpinan FISIP dan telah menonaktifkan terduga pelaku. Proses penanganan kasus ini diserahkan kepada Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Perguruan Tinggi (Satgas PPKPT).
"Saat ini, dosen yang dilaporkan telah dinonaktifkan dari seluruh aktivitas pembelajaran, termasuk ujian skripsi sejak kasus ini dilaporkan," katanya, Jumat (24/10/2025).
Bahkan untuk menindaklanjuti masalah pelecehan dengan segera, Unsri sudah memproses dan mengeluarkan surat penggantian pembimbing bagi mahasiswa yang jadi korban termasuk kepada semua mahasiswa bimbingan lainnya, demi kenyamanan akademik.
Kekerasan senior terhadap junior pada penerimaan anggota baru Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Kampus masih rawan di perguruan tinggi. Ketua Satgas PPKPT Universitas Mataram, Joko Jumadi, mengatakan seringkali terjadi kekerasan yang dilakukan senior kepada junior pada saat pendidikan dasar anggota baru UKM Kampus.
Namun, sejauh ini, pihaknya belum menerima pengaduan dari mahasiswa yang menjadi korban. Satgas PPKPT Universitas Mataram, selama ini menangani kasus kekerasan seksual yang dilakukan oknum pegawai Universitas Mataram terhadap mahasiswi KKN yang saat ini ditangani aparat penegak hukum
Untuk kasus perundungan seperti yang dialami Timothy Anugerah Saputra, mahasiswa FISIP Universitas Udayana, banyak terjadi di ranah siber. Joko mengatakan mahasiswa banyak memiliki grup-grup WhatsApp, dimana perundungan sering terjadi di ranah tersebut. Pada ranah siber, seringkali candaan-candaan dianggap biasa, tetapi itu merupakan bentuk perundungan. Untuk itu, Satgas PPKPT yang sebelumnya bernama Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) Unram, sekarang juga memberikan atensi kekerasan fisik, intoleransi dan perundungan.
"Kita melakukan upaya meminimalisir, edukasi kepada mereka, pengawasan termasuk sedini mungkin melakukan upaya-upaya pencegahan. Pastinya adalah edukasi menjadi sangat penting dilakukan oleh kampus bukan hanya Satgas tapi juga program studi setiap fakultas," jelas Joko.
Pada tahun 2025 ini, minim laporan yang masuk ke Satgas PPKPT Universitas Mataram. Joko mengatakan belum ada laporan terkait perundungan di lingkungan kampus. Namun, ada satu laporan terkait kasus kekerasan seksual yang dilakukan oknum pegawai Universitas Mataram kepada seorang mahasiswi KKN yang kasusnya sudah berproses di pengadilan.