Dituduh Curi Uang, Seorang Santri di Lombok Dikeroyok Enam Temannya

Lombok Timur, IDN Times - Seorang santri di salah satu Pondok Pesantren (Ponpes) terkemuka di wilayah Kecamatan Aikmel, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB) inisial JN (14) babak belur dikeroyok 6 orang temannya. Korban yang duduk di bangku kelas III SMP ini mengalami dugaan kekerasan akibat bullying oleh teman-temannya sehingga mengalami luka di bagian telinga dan mata.
Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Lombok Timur, Judan Putrabaya yang dikonfirmasi Senin (20/2/2023) menjelaskan peristiwa itu terjadi pada Jumat (17/2/2023) sekitar pukul 21.00 Wita. Di mana, korban dijemput paksa temannya berjumlah 6 orang dari kamarnya yang berada di lantai bawah menuju lantai dua Asrama Putra.
1. Korban diinterogasi temannya terkait kehilangan uang Rp150 ribu
Korban tidak curiga atas penjemputannya sehingga mau dibawa ke lantai dua Asrama Putra. Sesampainya di lantai dua, korban diinterogasi oleh teman-temannya mengenai adanya kehilangan uang sebesar Rp150 ribu. Namun korban tetap menolak dan tidak mengakui perbuatan itu meskipun ditanyakan beberapa kali.
Teman korban mengancam jika tidak mengakui maka tidak akan dibawa ke lantai dasar asrama. Tetapi jika mengakui maka tidak akan dipukul dan diantar ke lantai dasar asrama. Sontak, korban terpaksa mengakuinya. Akan tetapi 6 orang temannya memukul korban hingga mengalami luka memar di wajah dan telinga.
2. Pelaku dilaporkan ke Polres Lombok Timur
Atas kejadian tersebut, orang tua korban didampingi LPA melaporkan peristiwa pemukulan itu ke Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Lombok Timur.
Pihaknya juga sudah berkoordinasi dengan dinas-dinas terkait melalui UPTD PPA Lombok Timur untuk ambil peran sesuai yang diperlukan korban terutama penangan medis dan non medis.
"Kami sudah melakukan koordinasi dengan pihak-pihak yang memiliki keterkaitan dengan persoalan tersebut," kata Judan.
3. Sayangkan anak mengalami kekerasan di Ponpes
Judan mengaku prihatin atas peristiwa kekerasan yang terjadi di lingkungan Ponpes. Karena Ponpes sesungguhnya menjadi pilihan orang tua sebagai wadah pembinaan moral dan akhlak di saat anak-anak banyak yang mengalami perilaku menyimpang.
"Yang sangat kami sayangkan dan sesalkan pihak pengasuh sama sekali tidak mengetahui kasus ini," terangnya.
Pengasuh Ponpes baru mengetahui setelah mendapatkan informasi dari LPA. Sehingga, LPA mempertanyakan fungsi pengawasan dari Ponpes. "Jangan sampai gara-gara kasus ini Pondok Pesantren sampai kehilangan kepercayaan dari masyarakat," katanya.
Mekanisme penanganan anak yang berkonflik dengan hukum mengacu pada UU 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dimana, ada ketentuan batas usia minumum seseorang bisa dimintai pertanggungjawaban pidana yaitu minimal di atas 13 tahun.
Sehingga, anak-anak yang berusia 13 tahun ke bawah apabila melakukan perbuatan pidana, mereka tidak dapat diproses hukum. Sedangkan mereka yang berusua di atas 13 tahun dapat dimintai pertanggungjawaban pidana dengan tetap mengedepankan upaya diversi atau restorative justice demi kepentingan terbaik bagi anak.
Kasi Humas Polres Lombok Timur Iptu Nikolas Osman yang dikonfirmasi IDN Times, Senin (20/2/2023) siang mengatakan dirinya akan mengkroscek kasus itu ke Unit PPA. "Nanti saya koordinasi dengan PPA Polres dulu ya," katanya singkat.