Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
KPK dan Pemprov NTB memasang plang di lokasi tambang emas ilegal di Sekotong Lombok Barat, Jumat (4/10/2024). (dok. KPK)
KPK dan Pemprov NTB memasang plang di lokasi tambang emas ilegal di Sekotong Lombok Barat, Jumat (4/10/2024). (dok. KPK)

Mataram, IDN Times - Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) NTB mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut tuntas kasus tambang emas ilegal di Sekotong, Lombok Barat. Aktivitas pertambangan emas ilegal yang melibatkan warga negara asing asal Cina itu diduga melibatkan penyelenggara negara dan korporasi.

Kerugian negara akibat aktivitas pertambangan emas ilegal di Sekotong Lombok Barat diperkirakan Rp1,08 triliun per tahun. Kasus ini, pernah ditangani Balai Gakkum Jabalnusra pada 2024 lalu, namun mandek karena dipecahnya Kementerian LHK menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan.

"Jadi penanganan kasus ilegal mining di Lendek Bare Desa Persiapan Belongas Kecamatan Sekotong itu memang sejak dari awal dilakukan secara kolaboratif antara penyidik Dinas LHK NTB, penyidik Balai Gakkum LHK Jabalnusra dan penyidik KPK," kata Kepala Bidang Perlindungan Hutan Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (PHKSDAE) Dinas LHK NTB Mursal dikonfirmasi IDN Times di Mataram, Senin (18/8/2025).

1. Diduga ada keterlibatan penyelenggara negara dan korporasi

Kepala Bidang PHKSDAE Dinas LHK NTB Mursal. (IDN Times/Muhammad Nasir)

Mursal menjelaskan pada 4 Oktober 2024, Dinas LHK NTB bersama KPK menyegel tambang emas ilegal di Lendek Bare Desa Persiapan Belongas Kecamatan Sekotong Lombok Barat. Setelah itu, penyidik Dinas LHK NTB, Balai Gakkum Jabalnusra Kementerian LHK dan KPK melakukan penyelidikan.

Dalam perkembangannya, Kementerian LHK dipecah menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan. Sehingga penyidik Gakkum LHK Jabalnusra memerlukan waktu berada di bawah Kementerian Lingkungan Hidup atau Kementerian Kehutanan.

"Dalam masa itulah kemudian kasus ini diambilalih oleh KPK. Mengapa KPK turun tangan? Karena memang ada indikasi keterlibatan penyelenggara negara dan korporasi yang sebelumnya memang sudah kami periksa di Kantor Dinas LHK NTB ketika masih bekerja bersama-sama," jelas Mursal.

2. Kasus naik tahap penyidikan

Lokasi penambangan emas ilegal di Sekotong Lombok Barat yang ditertibkan KPK dan Pemprov NTB, Jumat (4/10/2024). (dok. KPK)

Mursal mengungkapkan pada saat itu, kasus tambang emas ilegal di Sekotong telah masuk tahap penyidikan. Penyidik telah memeriksa sebanyak 18 orang, termasuk warga negara asing asal Cina.

Selain itu, penyidik juga memeriksa warga Indonesia yang membantu memfasilitasi warga negara Cina melakukan aktivitas penambangan emas ilegal di Sekotong. Kemudian, unsur pemerintah kabupaten Lombok Barat dan provinsi NTB.

"Termasuk yang mengurus orang asing, sudah kita periksa. Kita sudah minta keterangan petugas imigrasi dan sebagainya. Sekarang, kita dukung KPK mengusut tuntas kasus tambang emas ilegal ini. Semoga dengan penanganan oleh KPK, itu bisa menuntaskan kasus tambang emas ilegal ini," harapnya.

3. Puluhan hektare kawasan hutan dikeruk untuk tambang emas ilegal

KPK dan Pemprov NTB Tertibkan Tambang Ilegal (dok. Humas KPK)

Dia menyebutkan ada 26 titik lokasi pertambangan emas ilegal di wilayah Sekotong Lombok Barat yang berada di kawasan hutan seluas 89,19 hektare. Puluhan hektare kawasan hutan itu dikeruk emasnya menggunakan alat berat oleh WNA Cina dan Taiwan.

Dari puluhan hektare kawasan hutan itu, ada juga yang masuk Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Indotan Lombok Barat Bangkit (ILBB). PT Indotan memiliki IUP tambang emas di Sekotong seluas 172 hektare.

Kerugian nagara diperkirakan Rp1,08 triliun, perkiraan dari KPK. Karena omzetnya Rp1,08 triliun pe tahun. Pada 2019, Dinas LHK NTB pernah turun ke lokasi, hanya masyarakat sekitar saja yang melakukan penambangan secara manual menggunakan pacul, linggis, palu dan betel.

Tetapi kemudian datang pemodal asing yang menambang menggunakan alat berat, serta menggunakan merkuri dan sianida yang merusak lingkungan. "Yang jelas ada indikasi keterlibatan korporasi secara nasional," tutur Mursal.

Editorial Team