Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Rektor Universitas Muhammadiyah Mataram Dr H Arsyad Abd Gani, M.Pd

Mataram, IDN Times - Universitas Muhammadiyah Mataram (UMMAT) merupakan salah satu Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Kota Mataram. Kampus ini menjadi salah satu yang menginginkan agar Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) direvisi. Sebab beberapa hal dianggap masih kurang dan perlu disempurnakan.

Secara nasional, semua kampus Muhammadiyah masih mempersoalkan pasal 5 ayat 2 Permendikbud NOmor 30 Tahun 2021 itu. Sebab itu dinilai multitafsir dan menimbulkan pemahaman yang beragam. Terutama pada frasa “tanpa persetujuan korban” yang mana dapat diartikan jika sama-sama setuju, maka hal itu tidak dapat ditindak atau diberikan sanksi.

Rektor Universitas Muhammadiyah Mataram Dr H Arsyad Abd Gani, M. Pd mengatakan bahwa pihaknya bukan menolak aturan itu, namun pihaknya merasa bahwa masih ada yang kurang dan perlu disempurnakan. Hal itulah yang membuatnya dan membuat semua kampus Muhammadiyah di Indonesia menginginkan revisi dari peraturan itu.

“Bukan berarti kami menolak Permendikbud itu, ada frasa yang harus dimasukkan, bahwa terjadi hubungan seksual dalam bentuk apapun apakah suka sama suka atau tidak, semua harus dapat sanksi dari lingkungan perguruan tinggi itu. Jangan anggap kita menolak terus Muhammadiyah bela kekerasan seksual, bukan seperti itu,” ujarnya.

1.Belum membentuk satgas

Ilustrasi kekerasan seksual terhadap perempuan (IDN Times/Arief Rahmat)

UMMAT hingga hari ini belum membentuk Satgas PPKS di kampus. Hal ini juga disebabkan karena UMMAT masih menunggu keputusan dari persyarikatan atau pusat. Sebab semua kampus Muhammaiyah sudah sepakat untuk tidak memberlakukan peraturan itu sebelum direvisi.

Menurut Arsyad, berhubungan seksual tanpa pernikahan melanggar ajaran agama, sehingga dia melihat pihak yang melakukan itu perlu mendapatkan sanksi meski dilakukan atas dasa suka sama suka atau tanpa paksaan. Hal inilah yang masih belum diatur di dalam peraturan itu.

“Semua yang berkaitan dengan hubungan seksual di lingkungan kampus seharusnya diberi sanksi. Bukan soal paksaan atau tanpa persetujuan salah satu pihak saja, tapi karena itu melanggar ajaran agama. Sehingga sudah seharusnya diberikan sanksi,” ujarnya.

Meski demikian, dengan atau tanpa peraturan itu, sebenarnya UMMAT sudah lama menerapkan terkait pemberian sanksi kasus kekerasan seksual di kampus. UMMAT juga memiliki tim untuk menindaklanjuti soal laporan dari korban kekerasan seksual di kampus.

“UMMAT sudah lama menerapkan itu, soal satgas juga sebenarnya kita sudah ada meskipun namanya bukan satgas. Jadi begitu ada laporan, tim yang ada langsung menindaklanjuti dengan melakukan penyelidikan apakah benar hal itu terjadi,” ujarnya.

2.Sanksi terhadap pelaku kekerasan seksual di kampus

google anteroaceh.com

Jauh sebelum Permendikbud Nomor 30 tahun 2021 itu, UMMAT sudah memiliki aturan terkait etika dan moral selama berada di lingkungan kampus. Jika ada yang melanggar maka akan diberikan sanksi. Sanksi memiliki beberapa kategori, yaitu ringan, sedang dan berat,

Saksi ringan dapat berupa pencabutan jam mengajar jika pelakunya adalah dosen, jika pelakunya mahasiswa maka tidak diberikan waktu untuk bimbingan. Untuk kategori sedang, dosen tidak diberikan kenaikan pangkat atau bisa jadi penurunan pangkat. Sedangkan untuk kategori berat bisa dilakukan berupa pemecatan atau pemberhentian.

“Jadi kami sudah lama menerapkan itu sebelum Permendikbud itu ada. Meski demikian, kami sangat mengapresiasi adanya Permendikbud ini, namun demikian menurut kami masih perlu adanya revisi atau perbaikan yang kurang-kurang,” ujarnya.

Menurutnya, perbuatan yang berkaitan dengan seksualitas di lingkungan kampus sudah melanggar nilai-nilai Pancasila dan norma agama. Menurutnya bukan hanya berhubungan intim saja yang melanggar norma, namun perpelukan dan perbuatan-perbuatan sejenisnya itu dianggap sudah melanggar norma. Sebab hal itu bukanlah budaya dan adab di Indonesia.

“Berpelukan misalnya, kalau dilakukan di lingkungan kampus, apalagi kalau belum menikah itu sudah melanggar norma. Harus ada sanksi juga. Itu harusnya juga diatur dalam Permendikbud itu,” ujarnya.

3.Aturan jangan setengah-setengah

Ilustrasi peraturan (Sumber: freepik)

Arsyad menilai bahwa Permendikbud itu belum mengatur secara menyeluruh terkait kekerasan seksual. Sehingga dia menilai bahwa aturan itu belum sempurna dan perlu perbaikan. Kementerian diharapkan dapat mendengar apa yang menjadi masukan-masukan, tidak hanya dari kampus Muhammadiyah namun juga dari kampus lainnya. Sebab permintaan untuk merevisi peraturan ini bukan hanya dari kampus Muhammadiyah saja.

“Aturan jangan setengah-setengah, diatur semua yang lengkap. Sehingga tidak ada multitafsir dalam penerapan peraturan itu. Kalau dari Muhammadiyah, apapun bentuk kemungkaran itu, pasti kita lawan,” ujarnya.

Permendikbud yang hanya mengatur hubungan yang dipaksakan atau tanpa persetujuan salah satu pihak itu dianggap belum mengatur prihal kekerasan seksual secara menyeluruh. Beberapa pihak mengatakan bahwa hubungan seksual yang dilakukan dengan suka sama suka merupakan hak asasi bagi pelakunya, asalkan tanpa paksaan dan disetujui oleh kedua pihak. Namun menurut Arsyad hal itu tetap tidak dapat dibenarkan.

“Hak kita kan dibatasi oleh hak orang lain. Sehingga harus memerhatikan nilai-nilai yang hidup di tengah masyarakat. Berhubungan seksual seperti itu bukan budaya kita, entah suka sama suka atau dipaksa. Itu merupakan perbuatan yang dilarang oleh agama, jadi tetap harus dapat sanksi,” ujarnya.

Dia berharap peraturan itu segera direvisi dan dapat diimplementasikan oleh semua perguruan tinggi. Pada dasarnya, dia sangat mendukung adanya aturan terkait kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Namun dengan catatan bahwa aturan itu disempurnakan dan direvisi kembali. Sehingga aturan itu dapat diterima oleh semua pihak.

Editorial Team

EditorLinggauni