Budaya Patriarki Jadi Pemicu Tingginya Ketimpangan Gender di NTB

Mataram, IDN Times - Budaya patriarki masih menjadi pemicu tingginya ketimpangan gender di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Indeks Ketimpangan Gender (IKG) NTB masih berada di atas rata-rata nasional.
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis IKG Provinsi NTB tahun 2022 sebesar 0,648. IKG NTB tahun 2022 mengalami perbaikan atau turun 0,005 poin dibandingkan tahun 2021 yakni sebesar 0,653. Sedangkan IKG Indonesia pada 2022 sebesar 0,459, turun 0,006 poin dibandingkan 2021.
Ketua Forum Partisipasi Publik untuk Kesejahteraan Perempuan dan Anak (Puspa) NTB, Madiana menjelaskan budaya patriarki di NTB masih cukup kental. Perempuan masih dianggap di bawah laki-laki.
"Budaya patriarki, masih kental. Bahwa perempuan itu tidak bisa menyaingi laki-laki. Ada pandangan begitu," kata Madiana saat berbincang dengan IDN Times, Sabtu (4/5/2024).
1. Belum banyak perempuan duduki jabatan strategis
Madiana mengatakan tingginya ketimpangan gender yang masih berada di atas rata-rata nasional karena partisipasi perempuan di legislatif dan ranah publik masih sedikit. Pada Pileg 2019, hanya ada satu perempuan yang berhasil duduk di DPRD NTB.
Kemudian, ia juga melihat perempuan yang menduduki jabatan strategis di pemerintahan masih sedikit. Kedudukan perempuan sebagai kepala organisasi perangkat daerah (OPD), hanya diposisikan di urusan yang menyentuh perempuan.
"Dari segi pemahaman soal kesetaraan gender, pemerintah sudah paham. Karena beberapa regulasi kita hasilkan. Bagaimana pengarusutamaan gender masuk semua sektor pembangunan. Tetapi belum banyak instansi yang responsif gender. Pendekatan programnya belum responsif gender," tutur Madiana.
Menurut Madiana, harus ada keterwakilan 30 persen perempuan yang duduk di parlemen. Syarat 30 persen keterwakilan perempuan menjadi calon legislatif bukan saja di pencalonan.
Untuk itu, menurutnya partai politik punya tanggung jawab untuk melakukan pengkaderan. Sehingga perempuan yang dicalonkan punya kapasitas serta didukung finansial.
"Mengingat Pemilu kita transaksional, sehingga perempuan agak sulit lolos ke parlemen. Mungkin secara sosial dia punya modal sosial. Tapi terbentur dengan finansial, izin suami, keuangan keluarga, apakah punya jabatan strategis di partai politik. Jangan sampai perempuan hanya memenuhi kuota 30 persen saat pencalonan. Tapi mereka tidak dikaderisasi dengan baik," kata Madiana.