Bibir pantai Mapak Indah Kota Mataram yang terkikis akibat abrasi. (IDN Times/Muhammad Nasir)
Direktur Eksekutif Daerah Walhi NTB, Amri Nuryadin menegaskan bahwa di Provinsi NTB telah memiliki Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2017 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Nusa Tenggara Barat tahun 2017-2037. Namun masih jauh dari harapan untuk memberikan ruang sebesar-besarnya bagi rakyat.
Sebaliknya, yang terjadi adalah maraknya investasi yang merampas ruang hidup dan ruang kelola rakyat. Terlebih lagi sejak UU Cipta Kerja diterbitkan sehingga memberikan keleluasaan investasi yang tidak pro rakyat dan mendegradasi lingkungan hidup.
Amri menyebutkan penguasaan lahan, ruang hidup dan ruang kelola rakyat untuk berbagai proyek strategis nasional di Pulau Lombok, terutama untuk pariwisata. Secara keseluruhan di Pulau Lombok mencapai 16.279,30 hektare yang sebagian besarnya berada di kawasan pesisir. Yaitu Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten Lombok Timur, Kabupaten Lombok Utara, dan Kabupaten Lombok Tengah.
Secara khusus di Kabupaten Lombok Tengah, hampir seluruh pesisir laut pantai selatan adalah wilayah pariwisata. Kawasan Ekonomi Khusus (KEK Mandalika sendiri, menguasai lahan hingga 1.250 hektare. Mencakup sekitar 18,14 Km bibir pantai, dan menghilangkan ratusan hektare rawa dan hutan mangrove. Serta hilangnya akses rakyat atas 8 teluk menjadi wilayah private yang sebelumnya adalah wilayah kelola rakyat, baik untuk aktivitas nelayan dan budidaya rumput laut.
Amri menambahkan, hilangnya ruang hidup dan ruang kelola rakyat, serta ancaman perusakan lingkungan hidup, juga terjadi di Gili Trawangan, Meno dan Air. Ia menyebut, PT. Tiara Cipta Nirwana (PT. TCN) adalah perusahaan pemegang kontrak kerjasama pemerintah dengan badan usaha (KPBU) tentang investasi pengelolaan air bersih di tiga gili, sejak tahun 2017. Dengan pengolahan menggunakan teknologi Sea Water Reserve Osmosis (SWRO) atau sistem penyulingan air laut.
Saat ini, PT. TCN sedang dalam proses pembangunan fasilitas SWRO-nya di Gili Trawangan. PT. TCN membuat bangunan bawah tanah yang sangat besar, tepat di bibir/sempadan pantai utara Gili Trawangan sebagai tempat penampungan air laut dan pompa intake dilengkapi dengan 3 turbin besar.
Tempat tersebut sebelumnya merupakan lokasi penangkaran penyu, dan merupakan spot menyelam (diving) dan wilayah tangkap nelayan. Pembangunan fasilitas saat ini dan operasinya ke depan berpotensi meninggalkan dampak perusakan yang serius atas lingkungan dan air bersih akibat intrusi air laut.
Sedangkan Gili Meno, lanjut Amri, kerusakan lingkungan, khususnya di kawasan konservasi mangrove untuk pembangunan hotel oleh PT. BASK. Keberadaan hotel PT. BASK memberikan ancaman kerusakan ekosistem mangrove yang dalam jangka panjang dapat menyebabkan abrasi pantai dan ancaman risiko bencana lainnya di pesisir Gili Meno.
Selain itu, ancaman kerusakan lingkungan dan ruang hidup serta ruang kelola nelayan juga disebabkan oleh maraknya investasi di wilayah pesisir. Selain untuk pariwisata seperti pembangunan akomodasi, dan infrastruktur lainnya, juga disebabkan oleh pembangunan yang tidak mengindahkan ketentuan-ketentuan perlindungan sempadan pantai dan wilayah-wilayah konservasi laut.
Salah satunya investasi untuk tambak, seperti tambak udang di Labuan Lombok yang dibangun di atas lahan seluas 30 hektare. Di mana wilayahnya telah ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Lombok Timur sebagai salah satu desa wisata.