Ilustrasi wisatawan di Gili Trawangan. (IDN Times/Muhammad Nasir)
Kusnawan mengatakan saat ini para pengusaha pariwisata di Gili Meno survive di tengah kondisi darurat air bersih. Karena ada yang terpaksa harus membeli air galon dari daratan Lombok dicampur dengan air sumur bor. Dia mengatakan bahwa kondisi ini akan berdampak buruk terhadap investasi dan lingkungan.
"Kalau kita kan maunya apapun caranya, air itu ada. Ini kan sebenarnya kepentingan publik. Masyarakat di Gili Meno itu menolak dengan adanya SWRO. Karena dikhawatirkan akan merusak terumbu karang. Nah sekarang menurut saya tinggal pemerintah saja melakukan ekspose. Apakah lebih banyak mudaratnya atau lebih banyak manfaatnya," ujarnya.
Sebelumnya, Perwakilan warga Gili Meno mendesak Gubernur NTB Lalu Muhamad Iqbal mengambil kebijakan untuk pemasangan pipa air bersih bawah laut untuk mengatasi krisis air bersih di destinasi wisata dunia yang berada di Gili Meno. Mereka mengaku sudah menderita hampir dua tahun akibat krisis air bersih di Gili Meno.
Menurut warga, air bersih merupakan kebutuhan pokok masyarakat yang harus segera dipenuhi. Untuk memenuhi kebutuhan air bersih, saat ini warga harus mengusahakan sendiri dengan membeli air galon.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) NTB Amri Nuryadin mengatakan akses air bersih di Gili Meno, berubah menjadi kemewahan. Sejak pertengahan 2024, pasokan air dari PT GNE dan PT BAL terhenti, memaksa warga membeli air galon dengan harga tinggi, bahkan ternak mati kehausan.
Di tengah krisis itu, proyek PT Tiara Cipta Nirwana (PT TCN) melalui skema Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) mengoperasikan instalasi sea water reverse osmosis (SWRO) yang menyuling air laut, sembari merusak 16 are terumbu karang di Gili Trawangan.
Aliansi Meno Bersatu yang terdiri dari Walhi NTB, Wanapala NTB, Meno Lestari melaporkan kasus ini ke berbagai lembaga negara. Hasilnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencabut izin operasional PT TCN pada Oktober 2024. Kemudian Gakkum Kementerian Lingkungan Hidup menyegel fasilitas SWRO PT TCN pada Februari 2025.
Selanjutnya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menjatuhkan denda Rp12 miliar kepada PT TCN dan PDAM Lombok Utara. Namun ironisnya, kata Amri, Pemda Lombok Utara tetap berlindung di balik kontrak KPBU dan tidak menindak lanjuti rekomendasi DPRD yakni pembangunan pipa bawah laut Gili Air–Meno–Trawangan.
Secara hukum, kata dia, kontrak KPBU tidak boleh menegasikan hak dasar publik. Berdasarkan Pasal 6 ayat (2) UU No. 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, pengelolaan air harus menjamin hak rakyat atas air untuk kebutuhan pokok sehari-hari. Untuk itu, dia meminta Gubernur NTB segera menginisiasi pertemuan dengan Bupati Lombok Utara dengan menghadirkan masyarakat Gili Meno.
Karena krisis air bersih di Gili Meno sudah berlangsung lebih dari satu tahun, tanpa ada upaya konkret Pemda untuk memasang pipa bawah laut untuk mengalirkan air bersih dari Gilo Air ke Gili Meno. Sementara, Gubernur NTB Lalu Muhamad Iqbal berjanji menyelesaikan persoalan di kawasan Gili Meno, Gili Trawangan dan Gili Air secara komprehensif.
Iqbal menyatakan Pemprov NTB akan mencarikan solusi permanen terkait persoalan krisis air bersih di Gili Meno. Dia juga akan membuat Satgas untuk menyelesaikan berbagai persoalan di kawasan tiga Gili yang menjadi tujuan wisatawan domestik dan mancanegara.
"Saya berjanji bahwa Satgas tidak hanya memikirkan aset provinsi, itu bagian nomor dua bagi saya. Tapi yang penting penyelesaian dari semua persoalan di tiga gili saat ini. Segera menginisiasi pertemuan dengan bupati Lombok Utara dan masyarakat," kata Iqbal.