PHK Akibat Pandemik, Terpaksa Jadi Buruh Bangunan hingga Jual Cilok

Kisah pekerja free dive di Gili Air yang di-PHK

Lombok Utara, IDN Times - Syarif Hidayatullah (29) adalah seorang pekerja di salah satu perusahaan di Lombok Utara sebelum pandemik covid-19. Sebelumnya, dia selalu menerima gaji dari tempatnya bekerja di perusahaan Free Dive Flow di Gili Air Desa Gili Indah. Gajinya kala itu sebesar Rp6 juta dalam satu bulan. 

Uang sebesar Rp6 juta dalam sebulan itu kini tak lagi dia dapatkan. Setelah di-PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) dari perusahaan itu, dia menjadi pedagang cilok keliling di Sigar Penyalin Kecamatan Pemenang, Kabupaten Lombok Utara.

1. Kena PHK akibat COVID-19

PHK Akibat Pandemik, Terpaksa Jadi Buruh Bangunan hingga Jual CilokKena PHK di Lombok Utara IDN Times/Ahmad Viqi

Gondrong sapaan Syarif menjadi salah satu warga Lombok Utara, Provinsi NTB yang tidak memiliki pekerjaan alias menganggur akibat pandemic COVID-19. Bukan hanya dia saja, beberapa orang temannya juga turun di-PHK karena tidak ada tamu yang berkunjung ke gili sejak pandemik

"Iya saya langsung kena PHK. Awalnya kita tidak tahu kalau ada COVID-19 di Lombok Utara," cerita Gondrong menjawab pertanyaan IDN Times, Jumat (10/12/2021).

Perusahaan Free Dive Flow awalnya tidak memberhentikan Gondrong. Dia hanya dipindahkan tempat kerja ke bagian cleaning service di sebuah anak perusahaan milik Free Dive Flow di Gili Air. Dari upah sebesar Rp3 juta perbulan dan uang tip Rp3 juta perbulan yang biasa diterima, kini berubah menjadi Rp1 juta dalam sebulan.

Uang sebesar Rp1 juta yang diterima itu lantas tak akan mencukupi kebutuhan anak dan istrinya. Istri dari Gondrong juga bernasib sama, dia kena PHK di salah satu tempat makan yang ada di Gili Trawangan.

"Istri juga kena PHK. Jadi saya putuskan untuk tidak lagi bekerja di Gili Air," kata Gondrong.

2. Menjadi kuli bangunan harian

PHK Akibat Pandemik, Terpaksa Jadi Buruh Bangunan hingga Jual CilokJual Cilok di Lombok Utara IDN Times/Ahmad Viqi

Setelah empat bulan tak bekerja di bawah perusahaan Free Dive kata Gondrong, dia memutuskan untuk pindah haluan dan bekerja sebagai kuli bangunan harian.

Dengan upah harian sebesar Rp100 ribu, kata Gondrong, diyakininya bisa membuat dia bersama istri dan satu orang anaknya bisa menikmati hidup lebih sejahtera.

"Saya juga kerja sebagai mekanik Air Condition (AC). Waktu itu gajinya Rp100 ribu per hari. Tapi tidak menentu kan," tuturnya.

Memasuki awal tahun 2020 lalu, dia memilih berhenti menjadi seorang kuli bangunan. Bekerja sebagai seorang kuli, cerita Gondrong, terlalu mengandalkan jumlah proyek yang akan dibangun.

Pasalnya semenjak gempa bumi 2018 melanda wilayah Lombok Utara, hampir semua bangunan telah berdiri. Hal itu membuatnya kurang job.

"Jadi memang kasus COVID-19 lagi booming kan waktu itu. Mana ada proyek yang jalan juga," tuturnya.

Jalan satu-satunya untuk menghidupi anak beserta istrinya kata Gondrong ialah dengan membangun bisnis, meski kecil-kecilan. "Saya memilih jualan cilok," katanya.

3. Jual cilok dan hidup lebih sederhana

PHK Akibat Pandemik, Terpaksa Jadi Buruh Bangunan hingga Jual Cilokparadizhop.blogspot.com

Mengulas waktu dua tahun silam, kehidupan Gondrong terbilang berkecukupan. Untuk uang jajan anaknya dalam sehari saja bisa sampai Rp50.000. 

Selain pemenuhan kebutuhan uang saku anaknya yang baru duduk di kelas 1 SDN itu, uang belanja untuk kebutuhan sehari-hari tidak kurang dari Rp200 ribu.

"Dulu kan, belum gaji saya, ditambah gaji istri, iya bisa sampai Rp10 juta dalam sebulan," katanya. 

Namun setelah tahun 2020, pola hidup dan pemenuhan kebutuhan sehari-hari Gondrong bersama keluarganya dipangkas. Sebab pemasukan yang tidak menentu dan pekerjaan yang serabutan membuat keuangannya menjadi tidak stabil. 

"Terpaksa saya pangkas. Sekarang anak kedua saya lahir. Jadi saya harus pangkas kebutuhan sehari-hari. Yang tadi Rp200.000 perhari, sekarang jadi Rp50.000, itu pun kalau banyak cilok yang laku," tuturnya.

Pandemi COVID-19 membuat pola hidup Gondrong sangat terdampak. Semestinya setoran rumah subsidi yang dia cicil harus dibayar tiap bulan, kini dia harus mengajukan relaksasi setoran rumah dalam jangka waktu 2 tahun.

Sejak awal tahun 2020 lalu, dia sama sekali tidak membayar setoran rumah karena telah mengajukan surat permohonan relaksasi ke perusahaan BTN Sigar Penyalin Pemenang Lombok Utara.

"Sekarang ini mau 2022. Besok sudah harus setor. Kan waktunya sudah dua tahun," katanya.

"Saya bingung sekarang hasil jualan cilok saja boro-boro dapat Rp2 juta. Mana rumah harus disetor kan. Setoran rumah kan harus saya siapkan Rp1 juta dalam sebulan".

Baca Juga: Jelang Formula 1, NTB akan Lebarkan Jalan Kuta Mandalika-Keruak

4. Mengajukan bantuan modal ke pemerintah

PHK Akibat Pandemik, Terpaksa Jadi Buruh Bangunan hingga Jual CilokIlustrasi uang (IDN Times/Arief Rahmat)

Dari hasil penjualan cilok yang tidak menentu, Gondrong bersama istri tercintanya Melisa (30) pernah mengajukan bantuan ke Pemerintah Kabupaten Lombok Utara.

Pengajuan bantuan itu diharapkan bisa meringankan beban biaya kehidupan rumah tangganya dan bisa menambah modalnya berjualan cilok.

Namun fakta berkata lain. Semenjak mengajukan bantuan dari Dinas Ketenagakerjaan di Kabupaten Lombok Utara awal tahun 2021 lalu, dia tak pernah mendapatkan jawaban yang diharapkan.

"Dulu kan pernah itu saya isi data yang dikasi perusahaan untuk ajukan bantuan. Tapi apa, sampai sekarang tidak ada keluar nama saya. Apalagi nama istri saya," katanya. 

Kini dia sangat kebingungan untuk membangun perekonomian keluarganya seperti awal tahun 2018 silam. Sekarang, katanya, harapan satu satunya pandemi COVID-19 segera berakhir dan kehidupan wisata di tiga Gili (Trawangan, Meno dan Air) ternama Pulau Lombok kembali normal.

"Iya itu harapannya begitu. Selain saya harapkan bantuan dari pemerintah, saya juga harapkan ada uang saku yang diberikan perusahaan setelah saya kena PHK," pungkas Gondrong.

Baca Juga: Meski Mengalami Kenaikan, IPM NTB Masih Urutan ke-29 di Indonesia

Topik:

  • Linggauni

Berita Terkini Lainnya